Sukses

4 Alasan Polri, BNN dan Kementerian Tak Setuju Ada Ganja Medis di Indonesia

Polri bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga sejumlah kementerian pun menggelar rapat guna membahas wacana ganja medis. Namun, mereka sepakat tak setuju.

Liputan6.com, Jakarta - WHO merekomendasikan agar ganja dikeluarkan dari kelompok narkotika agar bisa digunakan untuk keperluan medis. Polri bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga sejumlah kementerian pun menggelar rapat guna membahas wacana tersebut.

Namun, seluruh peserta rapat, menyatakan tidak setuju dengan adanya ganja medis di Indonesia.

"Seluruh peserta rapat koordinasi tidak menyetujui terhadap rekomendasi WHO 5.4 dan 5.5 tentang rencana legalisasi narkotika jenis ganja," kata Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Siregar dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (27/6/2020).

Menurut dia, ada sejumlah alasan menjadi dasar dari penolakan ganja medis tersebut.

Usulan serupa juga pernah disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Rafli dalam rapat dengar pendapat di DPR, Januari 2020, kendati akhirnya dicabut setelah menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Pada usulannya, dia meminta ganja dijadikan sebagai komoditas ekspor karena menurutnya terdapat nilai medis yang tinggi di dalam tanaman bernama ilmiah Cannabis sativa itu.

Lalu, apa alasan Polri hingga kementerian menolak ganja medis? 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Ganja di Indonesia Berbeda

Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Siregar menuturkan, ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di negara lain, baik Eropa ataupun Amerika.

"Dari hasil penelitian, ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi yakni 18 persen dan CBD yang rendah yaitu 1 persen. Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif," kata Krisno.

Alasan lain, ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan seperti epilepsi misalnya, berasal dari hasil budidaya rekayasa genetik yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.

"Bukan seperti ganja dari Indonesia. Maka ganja yang tumbuh di Indonesia bukanlah jenis ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan," kata Krisno.

3 dari 5 halaman

2. Sesuai Perundangan

Krisno mengatakan, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mengatur ganja sebagai narkotika golongan I.

Pada undang-undang tersebut telah ditentukan sanksi tegas bagi pihak penyalahguna. 

Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, ayat 1 Pasal 8 dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 disebutkan narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kesehatan.

"Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan."

Narkotika golongan I boleh digunakan dalam jumlah terbatas, itupun hanya untuk penelitian.

"Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan."

4 dari 5 halaman

3. Terkait Jumlah Kasus Penyalahgunaan Ganja

Bareskrim Polri dan BNN juga mencatat jumlah kasus ganja masih terbilang cukup besar di Indonesia. Jika dilegalkan, maka akan lebih banyak lagi penyalahgunaan ganja dengan dalih apapun.

"Mereka yang ingin mengonsumsi ganja untuk kebutuhan rekreasi, bisa beralibi untuk kebutuhan medis," ujar Krisno.

 

5 dari 5 halaman

4. Khawatir Timbukan Permasalahan

Krisno mengatakan, dengan adanya rekomendasi ganja medis oleh WHO justru akan menimbulkan permasalahan di Indonesia. Seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya penggunaan ganja.

"Untuk itu, seluruh peserta sepakat untuk menolak rekomendasi WHO 5.4 dan 5.5 sebagai statemen dan sikap Indonesia atas rekomendasi tersebut," Krisno menandaskan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.