Sukses

Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Teroris Dinilai Membingungkan

Sangat disayangkan jika peran tersebut dipayungi sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara.

Liputan6.com, Jakarta - Polemik keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme terus berlanjut. Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Perpu No. 1 Tahun 2002, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dinilai membingungkan dan penuh muatan politik.

Hal itu disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus. Dia mengatakan peran TNI dalam melalukan operasi militer selain perang antara lain dalam mengatasi penanggulangan terorisme telah diatur dalam UU Nomor 34/2004 tentan TNI. Hanya saja peran tersebut selama nyaris terdengar di mana pemberantasan terorisme lebih banyak dilakukan oleh Polri di bawah payung UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Selama ini peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak diatur secara lebih jelasa dan komprehensif baik melalui UU TNI atau revisi UU TNI,” katanya dalam keterangannya, Sabtu (6/6/2020).

Petrus mengatakan TNI sebagai alat pertahanan negara memang dimungkinkan untuk terlibat dalam fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer selain perang, termasuk dalam mengatasi aksi terorisme. Hanya saja sangat disayangkan jika peran tersebut dipayungi sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i ayat Undang-Undang No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berada pada bagian hilir.

“Secara ilmu perundang-undangan, hal ihwal tentang tindakan hukum berupa penangkalan, penindakan dan pemulihan oleh TNI tanpa diperinci bagaimana seharusnya fungsi itu dilakukan, batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materilnya pelaksanaannya, tidak boleh langsung dengan Perpres tetapi harus diatur terlebih dahulu dengan UU. Apalagi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI belum mengatur secara memadai fungsi TNI untuk penangkalan, penindakan dan pemulihan mengatasi aksi terorisme,” terang dia.

Petrus menegaskan, menarik TNI dalam mengatasi aksi terorisme tanpa memperjelas secara terukur fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan melalui revisi UU TNI, hal itu justru tidak cukup memberi legitimasi terhadap fungsi TNI bahkan mereduksi. Karena itu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak boleh terjebak dalam cara berpikir praktis dan pragmatis ketika menggunakan wewenang membuat kebijakan dan keputusan politik negara, melalui R-Perpres.

“Pasal 3 s/d pasal 12 yang mengatur peran TNI isinya ngambang tidak punya bobot filosofis, sosiologis dan yuridis, karena itu DPR RI sebaiknya kembalikan R-Perpres dimaksud dan dorong agar segera revisi UU TNI terlebih dahulu agar garis regulasinya jelas dan proporsional mana bagian hulu mana bagian hilir,” tukasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tak Menjamin Bekerja Maksimal

Lebih jauh Petrus menilai sebagai sebuah regulasi organik dari Pasal 43i UU No. 5 Tahun 2018, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka R-Perpres mubazir dan tidak menjamin bekerjanya fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan aksi terorisme. Bahkan R-Pepres itu berpotensi menimbulkan overlaping dalam penggunaan wewenang antara TNI dan Polri dalam mengatasi aksi terorisme.

“Fungsi TNI harus jauh lebih kuat dari perkembangan terorisme dan ancaman global yang semakin mengkhawatirkan, karena itu TNI harus mengoreksi keputusan politik negara berupa Perpres yang rancangannya sudah dibuat Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly, selain karena isinya tidak memetakan secara tegas dan terperinci mana tugas yang menjadi domain TNI dan mana yang menjadi domain Polri, juga TNI belum punya hukum acaranya,” katanya.

“Ini jelas Politiking dan membingungkan, terlebih-lebih karena baik TNI maupun Polri dua-duanya memiliki fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan dalam lingkup wilayah yang berbeda yaitu TNI di hulu dan Polri di hilir tetapi di dalam R-Perpres tidak dirumuskan batasan fungsi TNI untuk penangkalan, penindakan dan pemulihan,” imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.