Sukses

Potensial Picu Masalah, Mantan Kabais Usul Tarik Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme

Maunya ikut melakukan penegakan hukum, namun jadi masalah karena bingkainya ada operasi militer.

Liputan6.com, Jakarta - Polemik seputar Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang pelibatan TNI dalam menangani terorisme masih belum berakhir. Kali ini, pendapat dilontarkan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Soleman B. Ponto, yang bahkan tegas mengusulkan pembatalan R-Perpres tersebut.

"Mumpung masih rancangan, ditarik saja. Enggak usah dilanjutkan daripada menimbulkan masalah," kata Soleman dalam keterangan tertulisnya, Senin 1 Juni 2020

Soleman berpendapat, banyak masalah yang potensial timbul jika Perpres tersebut dibahas, apalagi sampai disahkan.

"Dalam bahasa anak sekarang, lewat Perpres ini seakan-akan TNI mau melakukan sapu jagat lewat operasi militer," jelasnya.

Purnawirawan Laksamana Muda TNI Angkatan Laut ini menyebutkan, ada dua undang-undang yang menjadi acuan manakala hendak melibatkan TNI dalam penanganan terorisme. Yakni, UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam UU No. 5/2018 pasal 43I, pada ayat 1 telah tegas dinyatakan bahwa tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Terkait detailnya, sesuai ketentuan ayat 3, diatur dalam Perpres.

Masalah muncul, kata Soleman, karena saat menyusun R-Perpres sesuai amanat ayat 3, pembuat draf juga merujuk ke ayat 1. Sehingga, pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme kemudian dimaknai harus lewat operasi militer.

Perpres ini pun berpotensi memicu masalah, karena ketentuan di Pasal 6 UU yang sama menyatakan bahwa pelaku terorisme ditindak dengan hukum pidana.

"Sementara, kalau penegakan hukum menggunakan KUHP, itu ranah polisi. TNI bukan ahlinya. Kalau KUHP-nya ditabrak, ya rusak sistem hukum kita," ujarnya.

Pertanyaannya, lantas bagaimana semestinya TNI berperan dalam mengatasi terorisme? Menurut Soleman Ponto, tidak perlu memakai UU No. 5/2018, melainkan menggunakan UU No. 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 7 ayat 2 dan 3.

"Sebab, sesuai dengan tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan, mereka dapat melaksanakan operasi militer selain perang namun harus berdasarkan kebijakan dan keputusan politik," kata Soleman.

Dengan kalimat lain, lanjut Soleman, draf Perpres tersebut akhirnya seperti buah simalakama. Maunya ikut melakukan penegakan hukum, namun jadi masalah karena bingkainya ada operasi militer.

"Pasal-pasal tersebut tumpang tindih. Karena itu, pernah saya bilang, pasal itu jangan dipakai. Tapi ini kan dipaksakan, sehingga akibatnya TNI yang serba salah," sambungnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tidak Ada Manfaat

Masalah lain, demikian Soleman, kalau Perpres sampai disahkan, maka ketentuan itu akan berlaku untuk seterusnya. Sehingga, operasi militer itu menjadi permanen.

"Padahal itu bertabrakan dengan UU 34/2004 Pasal 7 ayat 3, yang menyebut bahwa pelibatan TNI untuk mengatasi terorisme sifatnya insidentil, tidak terus menerus," tegasnya.

Soleman menambahkan, Perpres itu akan berbahaya jika dilanjutkan. Selain merusak sistem hukum (criminal justice system), pelaksanaannya juga akan membawa kita kembali ke otoriter, karena yang dilakukan adalah operasi militer. Belum lagi, bakal muncul perdebatan antara mana urusan yang merupakan kewenangan polisi, dan mana yang TNI.

"Itu akan ramai terus dan masyarakat yang jadi korban, karena yang namanya operasi militer itu tidak menindak pelaku teror ke sidang pengadilan," ujarnya.

Soleman menegaskan, Perpres ini sebenarnya tidak mengatur hal yang urgen saat ini. Apalagi, tanpa adanya Perpres, TNI pun bisa dilibatkan dalam menangani terorisme, sejauh merupakan kebijakan dan keputusan politik. Karena tidak urgen, menurut Soleman, tidak dibuat pun tidak apa-apa.

"Apalagi di tengah pandemi Covid-19, untuk apa bikin barang begituan? Tidak ada manfaatnya."

Selain itu, ibarat pameo: sesama bis kota tidak boleh saling mendahului, ketentuan UU No. 34/2004 tidak bisa mengatur UU No. 5/2018.

"Belum lagi, Perpres tersebut juga memangkas kewenangan DPR untuk melakukan kontrol, karena penerbitan Perpres tidak memerlukan pembahasan dengan DPR. Rusak semua jadinya," pungkas Soleman Ponto.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.