Sukses

Berpotensi Kembali Digugat, Perpres Kenaikan Iuran BPJS Dinilai Bakal Rugikan Pemerintah

Fahri Bachmid menilai Beleid Presiden Jokowi terkait penaikan iuran BPJS Kesehatan berpotensi melanggar kaidah hukum.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II. Adapun untuk kelas III baru akan naik pada 2021.

Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Terkait hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Fahri Bachmid menilai Beleid Presiden Jokowi terkait penaikan iuran BPJS Kesehatan berpotensi melanggar kaidah hukum.

"Perpres kenaikan Iuran BPJS Kesehatan itu sedikit bermasalah tentunya jika dilihat dan dikaji dari sudut ilmu hukum," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/5/2020). 

Menurut Fahri Bachmid, Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan putusan dalam merespon kebijakan Jokowi dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan beberapa waktu yang lalu.

Dalam perkara Hak Uji Materil Nomor: 7P/HUM/2020 itu diputuskan oleh Majelis Hakim yang diketuai Hakim Agung Supandi dengan anggota Yosran dan Yodi Martono Wahyunadi. Oleh Majelis Hakim MA, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 itu pada prinsipnya dinilai bertentangan dengan ketentuan norma pasal 23A, pasal 28H dan pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.

Selain norma konstitusional tersebut, Perpres a quo juga dinilai bertentangan dengan ketentuan pasal 2, pasal 4, pasal 17 ayat (3) UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), serta ketentuan pasal 2, pasal 3, pasal 4 UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ketentuan pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 171 UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 

"Dengan konsekuensi setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75/2019 terkait aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka kembali ke tarif iuran sebelumnya seperti diatur dalam ketentuan pasal 34 Perpres No. 82 Tahun 2018,2," kata Fahri Bachmid.

Fahri menjelaskan bahwa didalam ketentuan Perpres nomor 82 Tahun 2018, memang menyaratkan bahwa iuran ditinjau paling lama dua tahun, tetapi berdasarkan pertimbangan hukum, hakim MA yang mengadili perkara a quo telah menegaskan untuk melihat kondisi riil daya beli masyarakat.

Dengan demikian, kata Fahri, hal ini perlu dilakukan agar sejalan dan selaras dengan hak konstitusional rakyat untuk mendapatkan jaminan kesehatan. 

Menurut Fachri, pada hakikatnya putusan MA telah membuat kaidah hukum terkait pelarangan kepada pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah telah bersifat final dan mengikat. Sifat putusan itu adalah “ergo omnes” yang pada dasarnya adalah mengikat lembaga negara, termasuk lembaga kepresidenan, sehingga tidak dapat ditafsirkan lain selain daripada yang telah ditentukan oleh MA dalam putusan itu.

“Suka atau tidak suka, itu telah menjadi hukum, sehingga putusan MA itu wajib dijalankan sebagaimana mestinya, tidak boleh membuat tafsiran lain," jelas Fahri Bachmid,

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kewenangan Konstitusional Presiden

Fahri memgingatkan, jangan sampai presiden sebagai “adresat (subjek norma) dikualifisir telah melakukan perbuatan “constitution disobediance” atau “law disobediance” sehingga sangat merugikan pemerintahan karena mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang sebelumnya MA sudah mengeluarkan putusan tidak ada kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. 

Fahri mengakui, presiden memang mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk memastikan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup layak dan meningkatkan martabatnya menuju masyarakat indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, sebagai mana dijamin dalam konstitusi.

"Secara yuridis, jika dilihat dari keberlakuan Perpres No. 64 Tahun 2020 ini sangat potensial untuk digugat kembali (diuji meteril) ke MA oleh pihak-pihak yang berkepantingan jika materi muatan yang ada didalam Perpres ini dinilai masih bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam konteks ini adalah UU RI No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU RI No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial, serta UU RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan," tutup Fahri Bachmid.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • BPJS Kesehatan merupakan salah satu badan hukum yang bertugas menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

    BPJS Kesehatan