Sukses

Pemerintah Dikritik Tak Turunkan Harga BBM di Tengah Pandemi Corona

Harga minyak dunia tengah merosot akibat permintaan industri anjlok setelah merebaknya pandemi corona Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan anggota DPR, Bambang Haryo Soekartono mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak menurunkan harga bahan bakar minyak atau BBM di tengah pandemi Corona Covid-19. Padahal, harga minyak dunia saat ini sedang turun.

Bambang Haryo Soekartono menilai, seharusnya pemerintah membantu masyarakat dengan menurunkan harga bahan bakar minyak atau BBM di tengah pandemi virus Corona Covid-19.

"Pemerintah seperti tidak berdaya mengendalikan harga BBM dan membiarkan manajemen Pertamina saat ini sangat lemah dan tidak profesional," ujar Bambang melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (11/5/2020).

Politikus Partai Gerindra ini menyayangkan sikap pemerintah, khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang tidak mampu mengendalikan PT Pertamina (Persero) agar segera menurunkan harga BBM.

"Padahal, masyarakat dan pelaku usaha di dalam negeri seharusnya bisa memanfaatkan harga BBM murah, khususnya solar, seiring dengan merosotnya harga minyak dunia untuk melindungi usahanya agar tidak hancur, tetapi itu tidak dilakukan Pertamina dan pemerintah terkesan apatis akan kondisi ini," ucap Bambang.

Menurutnya, harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak awal tahun 2020 akibat permintaan industri anjlok setelah merebaknya wabah Corona Covid-19 di Wuhan, China.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Prioritas Perubahan Harga

Bambang menyebut, revaluasi harga BBM harus diprioritaskan untuk solar, baik yang disubsidi maupun nonsubsidi.

Sebab, kata dia, bahan bakar tersebut digunakan secara luas oleh sektor industri, transportasi, perikanan, pariwisata, pembangkit listrik, dan UMKM.

"Jadi apabila harga solar murah, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian. Dunia usaha terbantu untuk bertahan hidup menghadapi dampak corona, sehingga bisa menggerakkan kembali ekonomi dan mencegah PHK massal," papar Bambang.

Bambang menilai, kebijakan Pertamina yang memberikan diskon berupa cashback pembelian Pertamax Series tidak produktif.

"BBM Pertamax lebih ditujukan untuk orang mampu, buat apa diskon. Masyarakat saat ini butuh harga BBM yang transparan dan berdampak luas bagi ekonomi, yakni harga solar yang murah," ucapnya.

Bambang yang merupakan Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur ini mengatakan, sebagai negara penghasil energi primer, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghasilkan sendiri energi sekunder dengan harga lebih murah, seperti halnya listrik.

"Sudah menjadi tugas negara agar semua hasil energi primer bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tentu saja energi itu harus sesuai dengan harga sebenarnya supaya rakyat menikmati dampaknya guna mempertahankan hidup," terang dia.

Bambang pun meminta Presiden Joko Widodo turun tangan dan memperingatkan para menterinya serta Pertamina agar tidak terjebak dalam permainan spekulan atau kartel minyak.

"Ini kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan benar-benar prorakyat. Jika harga solar turun sesuai harga sebenarnya, berarti Presiden telah berani menyikat kartel energi yang membuat harga BBM mahal," jelas Bambang.

 

3 dari 3 halaman

Harga Solar Indonesia Mahal

Bambang mengaku heran, harga solar di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara ASEAN lainnya yang bukan penghasil minyak, seperti Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. Indonesia hanya lebih murah dari Singapura dan Laos.

Dia menegaskan, Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara ASEAN lainnya yang bukan penghasil minyak, termasuk dengan Malaysia yang menjual BBM lebih murah.

"Indonesia termasuk negara penghasil minyak yang cukup besar, bahkan salah satu penghasil gas terbesar Asia," terang Bambang.

Bambang mengingatkan, harga solar yang mahal bisa menghancurkan sektor transportasi beserta sistem konektivitas nasional yang sangat kompleks dan dibangun dengan susah payah.

"Kalau transportasi sampai kolaps, untuk menghidupkannya lagi akan susah. Sebagai negara kepulauan, apabila konektivitas hancur maka NKRI terancam bubar sebab distribusi barang menjadi mandek," jelas Bambang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.