Sukses

Peneliti Sebut Risiko Kematian Akibat Corona di Wilayah Polusi Tinggi Lebih Besar

Selama penerapan PSBB, visual langit Jakarta terlihat membaik. Namun hal itu tidak bisa dijadikan acuan kualitas udara Jakarta sehat.

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti iklim dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Budi Haryanto mengatakan, risiko kematian tinggi akibat pandemi virus corona Covid-19 ada di wilayah berpolusi udara dengan tingkat polutan partikulat 2,5 (PM 2,5). Data ini ia kutip dari hasil penelitian di Universtas Harvard pada April 2020.

Dalam satu diskusi, Budi mengatakan, data tersebut menunjukkan bahwa persentase kematian akibat pandemi virus corona Covid-19 dengan tingkat polusi di atas PM 2,5 cukup besar, yakni 15 persen.

"Risiko kematian Covid-19 4,5 kali lebih besar di wilayah PM 2,5. Jadi setiap peningkatan polusi itu potensi kematiannya 15 persen," papar Budi, Kamis (30/4/2020).

Dia mengakui selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), visual langit Jakarta terlihat membaik. Namun hal itu tidak bisa dijadikan acuan kualitas udara Jakarta sehat.

Untuk memastikan sumber polusi, Budi mengatakan, harus ada penelitian lebih lanjut. Sebab polusi tidak hanya bersumber dari emisi bahan bakar kendaraan, namun juga bisa bersumber dari emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Lebih lanjut, Budi menuturkan, hasil penelitian tersebut sedianya bisa dijadikan referensi bagi Jakarta yang merupakan zona merah virus corona Covid-19 untuk terus meningkatkan kualitas udara.

"Ini penelitian di kota-kota di Amerika, tapi kenapa kita gunakan penelitian yang sudah ada," tututnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sumber Polusi di Jakarta

Secara terpisah, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Prof Haryoto Kusnoputranto melihat, cuaca udara di Jakarta selama diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah cukup membaik. Indikator awan adalah langit yang kelihatan lebih biru.

Haryoto menekankan, penyumbang polusi udara di Jakarta paling besar oleh kendaraan bermotor. Ada sekitar 65 persen sampai 70 persen polusi disebabkan kendaraan bermotor. Dia menepis, kalau pembangkit tenaga uap listrik (PLTU) dijadikan sebagai faktor penyumbang polusi udara di Jakarta.

Menurut dia, PLTU tidak menyumbang polutan di ibu kota. Karena, ada dua yang menjadi sumber cuaca udara di Jakarta buruk.

"Pertama sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Sumber bergerak itu kendaraan bermotor, menyumbang sekitar 65-70 persen. Tidak bergerak itu ada industri dan sebagainya. Sumbernya hanya itu. Jadi kalau kendaraan bermotor tidak ada, saya yakin udara bersih dan sehat,” tegasnya.

Sedang untuk mengukur kualitas udara, ada istilah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Indikatornya adalah lima polutan utama. Dia menegaskan, perhitungan tidak lah bisa dilakukan sembarangan.

"ISPU itu kita bisa mengukur apakah kondisi udara saat ini sehat (baik), sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya. Ada 5 polutan yang bisa dipegang jadi parameter, yaitu partikel debu (PM10), karbon monooksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan Ozon Permukaan (O3)," katanya.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.