Sukses

Penggugat: Perppu Covid-19 Dianggap Tak Punya Dasar untuk Terbit

Salah satu pemohon Dewi Anggraini juga menyebut, dalam upaya penanganan virus Covid-19 telah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagaimana Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 memang memiliki hak konstitusional untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Namun, dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Covid-19, alasan dasar diterbitkannya aturan tersebut dipandang tidak ada. Hal ini disampaikan oleh salah satu pemohon uji materi Perppu Covid-19 dalam persidangan pendahuluan Mahkamah Konstitusi.

"Bahwa saat ini tidak ada kondisi yang dikategorikan kegentingan yang memaksa, hanya ada ancaman virus Corona. Apakah ancaman virus Corona telah dapat ditafsirkan Presiden sebagai hal ihwal kegentingan memaksa?" kata salah satu pemohon Dewi Anggraini dalam persidangan, Selasa (28/4/2020).

Selain itu, dalam upaya penanganan virus Covid-19 telah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jadi menurutnya tidak sepatutnya dikeluarkan Perppu yang juga menangani Covid-19.

Dewi juga menyatakan, ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perppu Keuangan Negara, dinilai tidak memiliki arah yang jelas.

"Yaitu, apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19," tuturnya. 

"Muatan materi Perppu Keuangan Negara terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan pandemi Covid-19," lanjut dia.

Pemohon dengan nomor permohonan 23/PUU-XVIII/2020 ini, mengutip pertimbangan Perppu, yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 merupakan penyebab dari segala kemungkinan terjadinya ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.

"Artinya, apabila permasalahan pandemi Covid-19 dapat segera diatasi, maka ancaman bahaya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan juga dengan sendirinya menjadi tidak ada. Sehingga akar masalah ini, yaitu penanganan memerangi pandemi Covid-19, yang seharusnya menjadi tumpuan utama dalam menetapkan Perppu Keuangan Negara. Tetapi, butir penting ini tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Keuangan Negara," ungkap Dewi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Perppu Covid Membuat Wewenang Presiden Berlebihan

Selain itu, masih kata dia, persyaratan kegentingan yang memaksa juga tidak tercermin dari dimensi waktu. Kegentingan yang memaksa harus dapat diatasi secepat-cepatnya, dengan cara luar biasa.

Namun, dengan adanya klausal defisit anggaran tanpa batas dalam Perppu tersebut selama 3 tahun, itu tak mencerminkan adanya kepentingan yang memaksa.

"Batas waktu 3 tahun harus disikapi juga sebagai tindakan berbahaya untuk menggunakan kesempatan di tengah musibah nasional pandemi Covid-19 yang patut dicurigai demi kepentingan para sekelompok pribadi tertentu tersebut dalam Perppu Keuangan Negara. khususnya dihubungkan dengan pasal kekebalan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Perppu Keuangan Negara. Dengan demikian, masyarakat patut curiga terhadap iktikad pembuatan materi seperti ini," tegas Dewi.

Dia juga menyampaikan, setiap kaIi terjadi krisis ekonomi yang memerlukan penanganan khusus yang melibatkan peningkatan anggaran secara luar biasa besarnya atau menggunakan bailout, maka diikuti dengan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara secara besar-besaran juga.

"Ini terjadi pada krisis 1998 dan krisis 2008. Bailout 2020 yang sudah diumumkan pemerintah saat ini jauh lebih besar dari sebelumnya. Sehingga pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut sudah selayaknya diperketat. Bahkan setiap orang yang melakukan korupsi atas keuangan sehubungan dengan penanganan pandemi Covid-19 selayaknya dihukum seberat-beratnya, termasuk kemungkinan hukuman mati sesuai undang-undang," tukasnya.

Selain itu, dia melihat Perppu Covid, khususnya Pasal 28, membuat wewenang Presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang.

Dirinya pun mengutip sejarahwan, politisi dan penulis Inggris, John Emerich Edward, yang memandang kekuasaan cenderung korup dan sewenang-wenang, dan kekuasaan absolut membuat kerusakan dan kesewenang-wenangan secara absolut juga.

"Berdasarkan hal tersebut menunjukan bahwa Perppu No 1 Tahun 2020 lebih mencerminkan constitutional dictatorship, dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.