Sukses

HEADLINE: Polemik Penghentian Operasional KRL Jabodetabek saat PSBB, Apa Plus Minusnya?

Para kepala daerah harus memiliki data jumlah kegiatan dan jumlah pegawai yang tetap harus berkegiatan di masa PSBB.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang memutuskan tidak memberhentikan sementara kegiatan operasional KRL Jabodetabek saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditanggapi dingin. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta dan Jabar serta 5 bupati dan wali kota di wilayah Jabar tak banyak berkomentar atas beroperasinya KRL di awal pekan ini.

Wajar, karena usulan agar KRL menghentikan sementara operasionalnya tak lain bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kini, dengan tetap lajunya sepur membawa penumpang, diyakini bakal mengganggu efektivitas penerapan PSBB.

Namun, tak semua kalangan sepakat dengan gagasan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil serta jajaran di bawahnya itu. Pengamat transportasi Darmaningtyas adalah salah satunya. Bahkan, dia terang-terangan mengaku termasuk yang menganjurkan agar KRL tetap beroperasi, bahkan dengan jadwal normal.

"Mengapa? Kalau KRL tidak beroperasi, maka orang-orang yang ada urusan (kerja) ke Jakarta dan sekitarnya akan memilih menggunakan transportasi umum (bus reguler) yang tidak mungkin akan memenuhi protokol kesehatan," ujar Darma kepada Liputan6.com saat dihubungi, Senin (20/4/2020).

Sebaliknya, lanjut dia, mereka justru akan menampung penumpang sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi atas sepinya penumpang selama satu bulan terakhir, sehingga protokol kesehatan berupa jaga jarak tidak akan terpenuhi.

"Kalau kita baca Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 tentang PSBB maupun Peraturan Menteri Kesehatan dan Peraturan Menteri Perhubungan memang tidak ada amanat penghentian operasional, yang ada pembatasan operasional," papar Darma.

Apalagi di Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 tentang PSBB itu juga masih dimungkinkan adanya pergerakan sejumlah sektor yang dikecualikan di dalam PSBB. Mereka itu tentu memerlukan fasilitas layanan transportasinya.

"Dengan jumlah penumpang KRL yang turun sampai 60% dan bila dioperasikan dengan standar normal, maka protokol jaga jarak akan terpenuhi. Yang penting, pengecekan suhu badan bagi calon penumpang tidak hanya dilakukan secara sampling saja di beberapa stasiun, tapi diberlakukan untuk semua stasiun," ujar Darma.

Dia paham kalau cara ini akan menambah cost bagi operator, tapi tidak masalah karena KRL Jabodetabek itu BUMN. Jadi, kalau ada kerugian akibat bencana, bisa dimintakan bantuan kepada Pemerintah. Yang jelas, dia melihat tetap beroperasinya KRL Jabodetabek bukan persoalan politis, tapi teknis.

"Tidak ada alasan politis KRL tetap beroperasi. Transjakarta yang dalam koridor juga beroperasi kan? Jadi semua itu untuk kepentingan transportasi saja, bahwa kenyataannya masih banyak yang melakukan kegiatan di luar," jelas Darma.

"Coba Anda keliling Jakarta, jalanan ramai. Tadi lewat Cawang BNN ya ramai. Artinya, andaikan KRL tidak beroperasi, warga tetap akan berkegiatan di luar dengan menggunakan kendaraan pribadi," pungkas dia.

 

Infografis Polemik Operasional KRL Jabodetabek saat Pandemi Corona. (Liputan6.com/Abdillah)

Pendapat berbeda disampaikan pengamat transportasi lainnya, Djoko Setijowarno. Menurut dia, sesungguhnya usulan penghentian layanan transportasi umum antarwilayah memang bisa menjadi salah satu pilihan realistis dalam upaya menekan atau memotong persebaran wabah Covid-19.

"Tetapi, mengingat masih ada aktivitas layanan yang tetap diselenggarakan berdasar Pergub DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020 (8 sektor tetap beroperasi), hal ini pun menjadi pertimbangan KRL untuk tetap dioperasikan," ujar Djoko kepada Liputan6.com, Senin (20/4/2020).

Ditambah lagi, lanjut dia, pemberlakuan PSBB untuk menekan penyebaran virus Corona ternyata tidak menyurutkan pelaju dari Bodetabek untuk tetap menyerbu Ibu Kota. Karena itu, untuk mengetahui perkiraan kapasitas pengguna KRL Jabodetabek, dia menyarankan para kepala daerah memiliki data jumlah kegiatan dan jumlah pegawai yang tetap harus berkegiatan di masa PSBB.

"Tujuannya, agar upaya penghentian sementara layanan transportasi umum antarwilayah memiliki dasar yang kuat. Bukan sekadar dilandasi data perkembangan jumlah OPC (Orang Positif Corona), apalagi kalau hanya karena emosi belaka," papar Djoko.

Misalnya, Pemprov DKI Jakarta mendata jumlah dan lokasi usaha-usaha yang masih diijinkan beroperasi berikut jumlah pegawai dari masing-masing kegiatan usaha yang sehari-hari menggunakan angkutan umum, bukan hanya KRL, sehingga bisa dibuat prakiraan kebutuhan angkutan umum.

"Jika sejumlah pengusaha itu masih tetap beroperasi, diwajibkan memberikan fasilitas kendaraan antar-jemput atau menginapkan pegawainya di hotel di Jakarta selama PSBB. Dengan begitu pengusaha hotel mendapatkan pemasukan," ujar Djoko.

Misalnya, ratusan perusahaan yang masih beroperasi atas izin Kementerian Perindustrian di tengah PSBB. Izin tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Perindustrian No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Operasional Pabrik Dalam Masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019.

Ia menyebut, berkat SE Menperin tersebut, banyak pabrik atau industri termasuk 200 industri non-esensial tetap beroperasi.

"Yang jadi biang kerok penambahan kegiatan adalah SE Menperin yang mengizinkan perusahaan tetap beroperasi asal memenuhi protokoler kesehatan dan jaga jarak, padahal perusahaan tersebut di luar 8 sektor yang diizinkan sesuai Pergub DKI, tapi tidak memperhitungkan mobilitas pekerjanya menggunakan KRL," sesal Djoko.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

KRL Datang, Penumpang Menghilang

Stasiun kereta rel listrik (KRL) Bogor pada Senin (20/4/2020) pagi terpantau sepi penumpang. Padahal, Stasiun Bogor biasanya dipadati penumpang pada hari kerja. Namun, pagi ini tidak terpantau adanya antrean calon penumpang, baik di loket, pintu masuk stasiun, maupun di peron.

Petugas keamanan dari unsur TNI dan Polri tampak bersiaga di stasiun tersebut guna mengawasi penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB) di Kota Bogor yang memasuki hari keenam. Satu per satu calon penumpang diperiksa suhu tubuhnya sebelum masuk ke peron.

Pihak stasiun juga menyediakan tempat cuci tangan bagi penumpang guna mengantisipasi penyebaran virus corona Covid-19 di transportasi umum. Tak hanya itu, tempat parkir sepeda motor yang biasanya sudah penuh sejak subuh nyaris kosong.

Meskipun tampak sepi, sejumlah pedagang dan pengemudi angkot serta ojek pangkalan masih terlihat cukup ramai menunggu calon penumpang di sekitar Stasiun Bogor.

Sepinya penumpang yang menggunakan moda transportasi massal itu diduga disebabkan penerapan kebijakan PSBB di Jakarta kemudian diikuti Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek) yang dimulai sejak Rabu, 15 April 2020. Hal tersebut untuk mengantisipasi penyebaran virus corona atau Covid-19 di Tanah Air.

"Sampai jam 6 pagi ini sudah ada 14 kereta yang diberangkatkan dengan jumlah penumpang kurang lebih 1.600 orang. Kalau dilihat rata-rata harian terjadi penurunan jumlah penumpang sebanyak 85 persen," kata Direktur Prasarana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kemenhub Edi Nursalam, usai meninjau Stasiun KRL Bogor.

Ia bersyukur jumlah penumpang menurun signifikan sehingga target PSBB di Jabodetabek untuk mengantisipasi penyebaran virus corona Covid-19 di KRL dapat tercapai secara optimal.

"Mudah-mudahan penurunan jumlah penumpang ini bisa memutus mata rantai virus corona," terang Edi.

Padahal, untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 itu, Pemprov DKI Jakarta dan Jawa Barat serta lima kabupaten/kota di wilayah itu sebelumnya mengusulkan penghentian operasi KRL selama PSBB. Namun, usul itu ditolak Kemenhub.

"Kewenangan operasional KRL kan ada di pusat, dan pusat ingin itu tetap beroperasi, nah itu yang kita taati. Kita taat dan patuh dengan ketetapan dari pusat, itu saja," ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo kepada Liputan6.com, Senin (20/4/2020).

Dia tak menampik kalau sebelumnya Pemprov DKI dan 5 kabupaten/kota di Jabar ingin operasional KRL berhenti sepanjang penerapan PSBB. Namun, kini tugasnya adalah mengamankan putusan pemerintah pusat.

"Itu kan kewenangan antarkota di Jabodetabek ada di Kemenhub. Kemarin Bodebek atau 5 kabupaten/kota mengusulkan, termasuk Provinsi DKI Jakarta, kemudian itu tentu dikaji oleh pusat dan ditetapkan saat ini tetap beroperasi. Ya kita patuh dengan itu. Kita mengamankan kebijakan itu," ujar Syafrin.

Kendati Kemenhub tak setuju, dia menegaskan bahwa Pemprov DKI punya tujuan yang sama, yaitu ingin memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Jabodetabek.

"Sebagai upaya untuk mengurangi risiko penularan di angkutan umum, kita mengusulkan untuk dihentikan layanan itu. Tentu pemerintah pusat punya pandangan lain dan sekarang setelah ditetapkan kita harus mengamankan kebijakan itu," papar Syafrin.

Sekarang, dengan adanya putusan itu, tinggal lagi bagaimana langkah untuk tetap mencegah Covid-19 menyebar tanpa melanggar regulasi yang ada.

"Kita berharap bahwa prinsip pengetatan protokol kesehatan di sarana maupun prasarana transportasi itu dijalankan, contohnya hari ini di Bodetabek itu seluruh stasiun dan kereta diupayakan untuk ada jarak aman antarpenumpang," jelas Syafrin.

"Seluruh penumpang menggunakan masker, kemudian selalu menjaga kebersihan diri, cuci tangan, dan melakukan seluruh protokol kesehatan dalam rangka PSBB ini dengan baik, dan kita di lapangan tentu akan memastikan itu semua berjalan dengan baik," imbuh dia.

Dia pun bersyukur karena dari pemantauan hari, tak ada ledakan penumpang di pagi hari. Meski KRL tetap beroperasi, pemandangan horor di stasiun kereta pada minggu lalu tak ditemukan di awal pekan ini.

"Sekarang sudah tidak ada lagi kejadian itu. Hari ini kita melakukan pemantauan di Bodetabek, semua berjalan dengan baik," pungkas Syafrin.

3 dari 3 halaman

Dari Anies hingga Emil

Semuanya bermula awal pekan lalu. Sejumlah kepala daerah mendesak pemberhentian layanan KRL selama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek. Desakan ini muncul dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Emil dan juga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Keduanya mendesak Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) untuk menyetop layanan KRL selama penerapan PSBB.

Anies menyampaikan usulan itu kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut B Pandjaitan, Selasa (14/4/2020) lalu, dalam rapat virtual bersama Tim Pengawas DPR RI untuk Penanggulangan Covid-19.

"Saya dua hari yang lalu mengusulkan kepada Pak Menhub Ad Interim untuk operasi kereta Commuter dihentikan dulu selama kegiatan PSBB berlangsung," ujar Anies, Kamis (16/4/2020).

Usulan yang sama juga disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Emil. Berbeda dengan Anies, Emil menyampaikan usulan penyetopan operasional KRL kepada PT KCI sebagai operator.

Hal ini sebagai langkah tindak lanjut dari usulan lima pimpinan kepala daerah tingkat kota dan kabupaten di Bogor, Depok, Bekasi terkait penghentian sementara pengoperasian KRL selama penerapan PSBB yang akan dimulai Sabtu (18/4/2020).

"Hasil kajian dari KCI kemungkinan akan tanggal 18 (April) berbarengan dengan PSBB Tangerang. Kalau sekarang dilakukan, (sedangkan) Tangerang belum PSBB, nanti enggak sinkron lagi. Nanti kita lihat hasil evaluasi. Bukan dari saya, dari KCI," ujar Emil kepada wartawan di Depok, Rabu (15/4/2020).

Dalam kesempatan berbeda, Wakil Wali Kota Bogor Dedie Rachim menyampaikan, usulan penghentian izin operasional KRL diharapkan mampu menekan penyebaran Covid-19.

Pasalnya, situasi penumpukan penumpang yang terjadi di beberapa stasiun KRL pada beberapa hari lalu merupakan bukti masih lemahnya penerapan protokol Covid-19. Kondisi itu bisa meningkatkan risiko penularan virus corona di dalam kereta dan area stasiun.

"Kenapa ditutup, karena risikonya terlalu besar. Dengan kondisi seperti sekarang, di mana pengendaliannya lemah kita tidak bisa menjamin pembatasan social distancing di dalam kereta bisa terwujud," ujar Dedie.

Sementara itu, Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto berharap PT KCI ikut mendukung pengoptimalan penerapan PSBB di Jabodebek ini. Menurut Tri, ada dua usulan skenario yang disampaikan kepada PT KCI terkait pengoptimalan penerapan PSBB. Skenario pertama, aktivitas transportasi KRL diberhentikan sementara. Sedangkan skenario kedua adalah pengurangan jadwal KRL.

"Jadi permintaannya sama apa yang disampaikan dengan Wakil Wali Kota Bogor, yakni permintaan pertama adalah pemberhentian aktivitas KRL, skenario kedua pengurangan jadwal kereta api," ujar Tri.

Tak perlu menunggu lama, permintaan kepala daerah di Ibu Kota dan daerah penyangga itu langsung terjawab. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan tidak akan menghentikan operasional kereta rel listrik ( KRL) commuterline selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di Jabodetabek.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Zulfikri mengatakan, KRL tetap dioperasikan untuk melayani warga yang bekerja di sektor-sektor usaha yang tetap boleh beroperasi selama PSBB.

"Untuk KRL di Jabodetabek yang telah ditetapkan PSBB, pengendalian yang dilakukan adalah dengan pembatasan, bukan menutup atau melarang sama sekali, khususnya untuk melayani kegiatan dan pekerjaan yang dikecualikan selama PSBB," ujar Zulfikri melalui siaran pers, Jumat (17/4/2020).

Dia mengatakan, pengendalian yang dilakukan adalah membatasi jumlah penumpang dan waktu operasional. KRL hanya boleh beroperasi pada pukul 05.00 sampai 18.00 WIB. Sementara jumlah penumpang dibatasi maksimal 35 persen dari kapasitas normal. Sebab, KRL dikategorikan sebagai kereta api perkotaan.

"(Penumpang) KA perkotaan maksimum 35 persen dari kapasitas penumpang. Tidak boleh ada yang berdiri, semuanya menerapkan physical distancing," kata Zulfikri.

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.