Sukses

DKI Terapkan PSBB 10 April, Komnas HAM Minta Tak Ada Diskriminasi

Tak hanya itu, Komnas HAM juga mendorong untuk diterapkannya sanksi denda dan atau kerja sosial bagi pelanggaran PSBB.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Terawan menyetujui DKI Jakarta melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB mulai Jumat, 10 April 2020.

Menyikapi hal itu, Komnas HAM meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk tidak melakukan diskriminasi. Utamanya dalam pelaksanaan bantuan sosial ekonomi bagi masyarakat yang terdampak.

"Komnas HAM RI sangat mendukung perhatian pemerintah DKI Jakarta atas bantuan sosial ekonomi kepada masyarakat rentan dan terdampak. Untuk itu, penting memastikan prinsip non-diskriminasi dalam pelaksanaan bantuan sosial ekonomi tersebut," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Rabu (8/4/2020).

Taufan juga mengatakan, pembatasan, pengaturan penikmatan, dan pengurangan HAM dikenal dalam khasanah HAM, khususnya dalam kondisi darurat.

Menjadi pengetahuan umum dan praktik di dunia saat ini diterapkan secara masif imbauan atau kebijakan jaga jarak secara sosial dan fisik sebagai metode penanganan Covid-19. 

Menyimak pidato Gubernur DKI Jakarta, khususnya terkait pembatasan kerumunan maksimal lima orang, kata dia penting untuk diperjelas protokol teknisnya, agar memberikan pijakan legalitas aturan, kejelasan pengaturan, konkret dan tidak menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan umum jaga jarak sosial dan fisik.

"Pentingnya protokol teknis/kebijakan secara detail agar prosesnya akuntabel, termasuk bagi aparat penegak hukum," tegasnya.

 

  

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Terapkan Sanksi Denda

Komnas HAM juga, lanjut Ahmad mendorong untuk diterapkan sanksi denda dan atau kerja sosial bagi pelanggaran PSBB. Ia mengatakan, pengaturan sanksi dalam UU No 6 Tahun 2018 masih membuka peluang penerapan pemenjaraan.

Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk memilih kebijakan penerapan sanksi berupa denda dan atau kerja sosial. Hal ini dengan alasan utama kondisi kapasitas tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang sangat penuh sesak.

"Selain itu, sanksi ini diharapkan menjadi instrumen untuk menumbuhkan kesadaran, tanggung jawab, bermanfaat,dan mendorong solidaritas antara sesama. Oleh karenanya penting untuk membuat aturanterkait sanksi ini," katanya.

Menurut Ahmad, dalam kondisi darurat kesehatan, penegakan hukum dalam kebijakan PSBB tidak hanya menjadi tanggung jawab kepolisian, sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018, tetapi utamanya adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

"Upaya penegakan hukumadalah upaya terakhir, dengan mendahulukan untuk membangun kesadaran masyarakat," katanya.

Dengan adanya penegakan hukum yang terpadu yang melibatkan PPNS, kepolisian, pemerintah daerah, dan dinas kesehatan, kedepannya diharapkan terjadi proses dialogis, membangun kesadaran, dan mendorong semua bertanggung jawab atas kesehatan. Adapun penerapan sanksi bersifat ultimum remedium.

3 dari 3 halaman

Layanan Kesehatan

Komnas HAM juga mendorong layanan kesehatan di Jakarta semakin baik, termasuk memberikan perhatian dalam pelayanan kesehatan selain masalah COVID-19. Hal ini terkait dengan laporan masyarakat yang kesulitan mengakses pelayanan kesehatan selain COVID-19.

"Komnas HAM RI menegaskan pentingnya untuk terus menerus memberikan informasi dan pelayanan kesehatan bagi semua," harapnya.

Komnas HAM juga melihat bahwa salah satu aspek penting dalam pelaksanaan PSBB adalah perlindungan dukungan bagi petugas di lapangan, khususnya dalam kerangka memutus rantai penyebaran COVID-19.

Di samping itu, menurut kajian Komnas HAM, DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang pertama kali menerapkan kebijakan sekolah di rumah dan sampai saat ini masih berlangsung, sehingga telah berlangsung cukup lama. Di sisi lain, menerapkan bekerja dan beribadah di rumah.

Karena itu, lanjut Ahmad perlu ada evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan di rumah guna mendorong penyelenggaraan pendidikan yang tidak menambah beban bagi kehidupan di rumah saat ini, khususnya dalam konteks psikologi.

"Kebijakan penyelenggaraan pendidikan di rumah penting dirumuskan dalam kerangka pendidikan yang menyenangkan, bukan semata-mata memindah beban karena proses pendidikan di sekolah dipindah ke rumah," tuturnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.