Sukses

Momen Mendagri Jadi Imam Salat Jumat di Masjid Cheng Ho Palembang

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menunaikan ibadah Salat Jumat di Masjid Cheng Ho yang nama lengkapnya, yaitu Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang.

Liputan6.com, Palembang Di tengah-tengah kesibukan rangkaian agenda kerjanya di Kota Palembang, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menunaikan ibadah Sholat Jumat di Masjid Cheng Ho yang nama lengkapnya, yaitu Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang dengan nuansa asri Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jakabaring Palembang.

Tito Karnavian merasa kembali bernostalgia di kota kelahirannya Palembang sembari tunaikan tugasnya dan berkesempatan Sholat Jumat sekaligus menjadi Imam serta bersilaturahmi dengan para jamaah Masjid Cheng Ho.

"Tadi setelah menghadiri Rapat Kerja Percepatan dan Pemanfaatan Dana Desa Tahun 2020 sengaja menunaikan Sholat Jumat di Masjid Cheng Ho yang bersejarah ini yang masih berdekatan dengan tempat acara rapat kerja di Jakabaring dan sekalian bisa bersilaturahmi dengan para jamaah serta masyarakat sekitar," ungkapnya. 

Rapat Kerja Percepatan dan Pemanfaatan Dana Desa Tahun 2020 turut dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ceramah Persatuan Bangsa

Lebih lanjut Tito menuturkan bahwa keberadaan Masjid Cheng Ho Palembang dibangun dengan latar belakang untuk menjaga hubungan baik antara masyarakat keturunan Tionghoa dengan masyarakat Palembang pada umumnya ada pesan nilai-nilai toleransi, saling menghargai, menghormati antar masyarakat dengan latar belakang berbeda di dalamnya.

Keberadaan Masjid Cheng Ho di Palembang bukan sekadar untuk mengkultuskan Cheng Ho sebagai seorang tokoh muslim Tiongkok. Lebih dari itu, nama Cheng Ho diharapkan mampu menyadarkan kita akan arti penting meneladani apa yang sudah dilakukannya, yaitu menyebar kedamaian kepada siapapun yang ditemuinya.

Selain menjadi imam salat Jumat, Mendagri juga didaulat memberikan khotbah. Ia pun berceramah dengan tenang dan runut. Tema ceramahnya tentang persatuan bangsa, takdir Allah dan bagaimana jadi hamba yang bersyukur. 

Dalam ceramahnya, Tito berpesan masyarakat jangan mempertentangkan perbedaan ras. Indonesia mestinya bersyukur jadi negara yang memiliki keragaman etnis. Karena tak banyak negara, seperti Indonesia. Singapura misalnya, hanya terdiri dari beberapa etnis saja. Negara lain pun, seperti Afganistan, hanya ada tujuh suku. Berbeda dengan Indonesia. Ada banyak suku, dengan beragam bahasa, tradisi dan budayanya.

"Ini jangan menjadi pemecah, tapi adalah kekayaan bagi kita. Inilah nikmat Allah yang diberikan kepada kita semua," katanya.

Menteri Tito pun kemudian mengutip ayat Al-Qur'an dalam surat Ar Rahman. Kata dia, ada ayat," Fa bi ayyi aalaa'i rabbikuma tukazziban," yang diulang sebanyak 31 kali dalam surah Ar-Rahman tersebut. Menurut Tito, makna dari ayat itu nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Ini Ungkapan yang ditujukan kepada bangsa jin dan manusia. Ayat tersebut bicara tentang nikmat-nikmat Tuhan yang banyak sekali dilimpahkan kepada manusia. Perbedaan etnis atau ras, adalah salah satu nikmat Tuhan, kata Tito.

"Jadi ini lah nikmat Allah beragam suku dan ras, termasuk saudara-saudara kita keturunan Tionghoa, adalah bagian dari kekayaan kita, " katanya.

Tito pun melanjutkan ceramahnya. Kata dia, kyai dan para ulama mengajarkan, Islam itu agama Rahmatan lil Alamin. Agama yang jadi rahmat bagi semesta alam. Jadi, Islam adalah agama yang merangkul atau mengayomi semua pihak dan dalam semua hal. Artinya, agama Islam tak mengajarkan sikap membeda-bedakan ras. Membeda-bedakan etnis. Juga membedakan agama dalam pergaulan.

Justru Islam mengajarkan pemeluknya untuk jadi pencerah. Termasuk kepada orang yang bukan muslim. Dan, ia bersyukur, Mesjid Cheng Hoo, jadi tempat yang bisa mencerahkan orang lain.

"Alhamdullilah di masjid ini hampir tiap hari katanya ada yang jadi mualaf. Ini betul-betul merupkan rahmat dari Allah SWT kepada kita smua sehingga lebih banyak yang mendapatkan hidayah untuk menjadi mualaf masuk ke dakam Islam, menjadi warga muslim, tentu saja kita mensyukuri itu," ujarnya.

Dalam ceramahnya, Tito juga menyinggung soal virus corona. Ia pun mengingatkan, di tengah merebaknya ketakutan akan virus mematikan tersebut, hubungan atau silahturahmi antar sesama anak bangsa harus tetap di rawat. Dijaga. Termasuk membangun hubungan dengan pemerintah. Lalu Tito bicara tentang kesuksesan dan amanah.

Katanya, sebagai umat Islam, ia percaya akan takdir. Apa yang sekarang ia raih. Ia genggam, itu sudah digariskan Sang Khalik. Ia jadi menteri, adalah takdir dari Allah. Dengan begitu, ia jadi hamba yang tetap bersyukur.

"Saya sangat percaya bahwa kita sebagai umat Islam memiliki rukun iman, salah satunya adalah percaya kepada takdir. Saya menyadari bahwa saya bisa seperti ini, Pak Gubernur seperti ini, Pak Kapolda seperti ini, hanya karena takdir dari Allah SWT. Kita hanya bisa berusaha, berdoa kepada Allah SWT dan menerima takdir kepada kita, bahwa kita tulus," ujarnya.

Apa yang diraihnya sekarang, kata Tito, jadi jenderal bintang empat sampai pensiunnya dan kini memanggul amanah sebagai Mendagri, semata itu adalah datangnya dari Allah SWT. Ini adalah amanah atau kepercayaan yang diberikan Allah. Amanah yang harus dilaksanakan sebaik mungkin. Karena amanah itu yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah.

"Ini sebagai amanah dari Allah SWT yang betul-betul harus ditunaikan untuk kepentingan umat dan masyarakat," katanya.

 

3 dari 3 halaman

Orang Sukses Bisa Mengendalikan Diri

Kesadaran bahwa apa yang sekarang diraih dan dimiliki semata dari Allah, kata Tito, ini yang terus ia tanamkan. Karena pada akhirnya saat dipanggil Allah, manusia itu tak membawa apa-apa. Jabatan dan harta, tidak akan dibawanya ke alam Baqa. Jejak kebaikan. Amal baik, itu yang akan diperhitungkan di hadapan Allah. Tito pun lantas bercerita pengalaman yang pernah dialaminya, saat melepas kepergian tiga tokoh nasional.

"Saya menyaksikan, ini bukan sekdar hanya kata-kata. Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri. Tahun lalu saya mengantarkan tiga orang, saya tidak mau sebutkan tokoh nasional yang wafat, yang memiliki kekuasaan besar. Saya mengantarkan sampai ke liang jenazah, ke liang kubur dan saya melihat semua tidak ada apa-apanya, masuk ke dalam, tidak ada satu apapun di dalam, dan setelah itu ditutup dengan tanah, selesai. Semua pulang, hilanglah semua pangkat, semua jabatan, semua kekuasaan dan lain-lain, yang dibawanya amal perbuatan yang baik," katanya.

Dari situlah, ucap Tito, ia kian menyadari, bahwa orang yang sukses itu adalah orang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri. Yang bisa menjaga hubungan baik dengan Tuhannya. Dengan sesamanya. Selalu berbuat baik. Berbuat kebajikan. Itu yang akan diperhitungkan di alam barzah. Di alam Baqa. Jabatan dan pangkat, hanyalah alat untuk berbuat baik.

"Karena itu sukses di alam fana belum tentu sukss di alam baka. Oleh karena itu apa yang sudah kita dapatkan dari Allah SWT ini semuanya kita nikmati saja. Apa pun profesi, pangkat, jabatan, dengan itu kita bisa berbuat amal perbuatan yang baik di semua jabatan, pangkat apapun juga. Justru makin tinggi makin besar bebannya. Semua kembali kepada yang paling penting bagaimana kita bisa berbuat baik untuk bekal di akhirat. Itu yang paling utama. Saya kira itu, terima kasih banyak, Semoga Allah SWT memberikan pahala sebanyak-banyaknya kepada kita semua, sehingga bisa berjamaah pada hari ini dan semoga Allah SWT mengabulkan segala doa-doa kita. Tidak ada yang sulit bagi Allah jika Dia menghendaki, jika Allah menghendaki sesuatu yang terjadi maka terjadilah," kata Tito menutup ceramahnya.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini