Sukses

Cekungan Bandung Alami Penurunan Tanah Tercepat di Dunia, Ini Buktinya

Jakarta ternyata bukan lagi kota dengan penurunan tanah tercepat di dunia. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa wilayah Bandung lebih parah. Banjir meluas hingga krisis air bersih membayang.

Liputan6.com, Jakarta - Selama ini Jakarta selalu disebut sebagai kota yang penurunan tanahnya yang paling parah di dunia. Namun, penemuan baru dari tim peneliti Kampus Institut Teknologi Bandnng (ITB) menunjukkan bahwa kondisi penurunan tanah di Bandung Raya ternyata jauh lebih parah di bandingkan Ibu Kota. Bahkan, bisa dikatakan sebagai yang tercepat di dunia sekarang ini.

Beberapa dampak yang bisa dirasakan ialah meluasnya wilayah banjir, retaknya infrastruktur seperti bangunan dan jalan, serta defisit air bersih. Pakar geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menjelaskan, penurunan tanah atau land subsidence di Bandung Raya sudah tercatat sejak tahun 1980.

Menurutnya, fenomena ini adalah suatu hal yang harus diwaspadai oleh penduduk wilayah Bandung Raya.

"Penurunan tanah itu berkorelasi dengan daerah-daerah industri ya. Nah ini ada penurunan tanah sekitar 1-20 cm, juga bahkan sudah ada yang sampai 1 meter dalam kurun waktu 10 tahun dari 1980-1990," tutur Heri saat bertemu dengan Liputan6.com di kantornya, Kampus ITB, Bandung, Jumat (24/1/2020).

"Kemudian di tahun 2010 ini sudah lebih meluas lagi, dan magnitude-nya lebih besar, ini sudah ada yang sampai 2 meter lebih," lanjut dia.

Penurunan tanah sendiri disebabkan oleh tujuh faktor. Yakni kompaksi alamiah, pembebanan infrastuktur, eksploitasi air tanah berlebihan, eksploitasi minyak dan gas bumi, eksploitasi tambang bawah permukaan, pengeringan lahan gambut, dan proses tektonik.

Heri menjelaskan, dalam kasus di Bandung Raya, eksploitasi air tanah berlebih dan kompaksi alamiah adalah dua faktor utama penyebab land subsidence. Wilayah yang paling terdampak pun adalah kawasan perindustrian. Sebab, lokasi tersebut adalah tempat di mana air tanah paling banyak dieksploitasi.

Akibatnya, kawasan penduduk di sekitar wilayah perindustrian akhirnya juga ikut mengalami penurunan tanah.

"Biasanya ketika terjadi penurunan tanah, kemudian karena itu menjadi cekungan banjir, banyak terjadi banjir, akhirnya pada ditinggikan tuh infrastrukturnya," ungkap dia.

"Jalan ditinggikan, nah ada rumah juga ikut ditinggikan, tapi ada yang tidak ditinggikan. Sehingga, seolah-olah itu menjadi amblas (tenggelam). Itu bukti penurunan tanah," sambungnya.

 

Saksikan videonya berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bangunan Turun dan Area Banjir Meluas

Penurunan tanah ini adalah suatu hal yang masih belum begitu dikenal baik oleh warga Bandung Raya. Banyak dari masyarakat yang tak menyadari bahwa wilayah mereka sebenarnya mengalami penurunan akibat eksploitasi air tanah berlebih

Berdasarkan peta penurunan tanah Cekungan Bandung periode 1980-2016, beberapa wilayah yang paling terdampak saat ini adalah Cimahi, Kopo, Pasir Koja, Dayeuh Kolot, Cibaduyut, Sayati, Gedebage, dan Rancaekek. Di sana, penurunan tanah telah mencapai 2 hingga 3,8 meter dalam periode itu. 

Ambil saja kawasan Dayeuh Kolot sebagai contoh, lebih tepatnya di Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah. Di sana, area banjir semakin meluas dan bisa mencakup 2 kecamatan. Menurut pengakuan warga, ketinggian air pun terkadang bisa mencapai 1 hingga 2,4 meter bila curah hujan sedang tinggi.

"Awalnya banjir itu 5 tahun sekali, jadi periodik lima tahun itu banjir, tapi sekarang ini setiap musim hujan. Jadi dalam setahun itu musim hujan dua kali, ya dua kali banjir," ujar Ketua RT 01 Kampung Ciputat, Bambang Supriyanto kepada Liputan6.com.

"Nah sekarang dari 2010-an itu kok hampir setiap tahun, setiap musim hujan. Bahkan tidak musim hujan pun kalau ada di daerah lain hujan besar itu kita banjir," tambah dia.

Beberapa pagar rumah pun yang semulanya setinggi dada orang dewasa, kini hanya setinggi paha dan bahkan pergelangan kaki.

Bambang mengaku, rumahnya yang semula berada di atas tanjakan sekarang sudah datar dengan jalan. Tak hanya itu, beberapa rumah di daerah Kampung Ciputat ini bahkan terlihat seakan 'tenggelam' ke bawah tanah.

"Itu turun jelas-jelas sekali, (bahkan) bukan turun itu, tenggelam," kata Bambang.

3 dari 4 halaman

Defisit Air Bersih dan Bangunan Retak

Seperti diketahui, salah satu dampak dari penurunan tanah yang paling dirasakan adalah sulitnya air bersih. Bambang menambahkan, sumur di daerahnya pun mulai mengering sejak beberapa tahun belakangan ini.

Menurutnya, selama ini warga Kampung Ciputat, Baleendah memang masih bergantung sepenuhnya pada sumur bor. Hal ini karena Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) tidak terdapat di wilayahnya.

"Kalau sumur kering itu saya alami sendiri. Tahun kemarin 2019 akhir, saya sempat tidak ada air sama sekali. Hampir satu bulan lebih saya ambil air dari masjid," ucap Bambang.

"Jadi sumur-sumur bor yang lama, itu rata-rata kosong. Jadi yang ada itu tinggal sumur-sumur bor yang baru. Tidak ada PDAM di sini, jadi semua dari sumur bor itu tadi jadi air itu sama sekali gak ada, angin aja udah," dia melanjutkan.

Selain sumur kering yang dirasakan warga Kampung Ciputat, Kecamatan Baleendah, hal yang sama juga dialami oleh warga di Jalan Cibogo, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Terlebih karena daerah Cimahi memiliki banyak industri dan pabrik di dalamnya.

"Belum ada pabrik kan biasa enggak kekurangan air. Malahan mah kalau kemarau banyak yang minta air ke sini dari daerah sana. Tahun 90-an berdiri pabrik air mulai berkurangan, terus berdiri pabrik yang di sana (jadi ada) limbah. Jadi tercemar lah. Jadi sumur-sumur meskipun ada, kotor," tutur Atilah, salah satu warga di Jalan Cibogo, Kelurahan Leuwigajah.

Karena keadaan sumur yang sudah tak layak, mereka akhirnya mendapatkan suplai air dari pabrik yang ada di dekat wilayahnya. Melalui sistem pipanisasi, pabrik tersebut mengirimkan air bersih karena warga tak bisa lagi mengambil air di sumur rumahnya.

Namun, masalah pun tak berhenti di sana. Akibat penurunan tanah, sekitar 8 rumah milik warga di Jalan Cibogo, Kelurahan Leuwigajah turut mengalami keretakan pada akhir tahun 2019. Retak ini terlihat pada lantai, dinding, hingga atap rumah.

Bagaimana respons pihak pemerintah?

"Kami berharap agar segera ada peninjauan ke lapangan langsung dari badan geologi, karena memang kami dari BPBD tidak mengetahui seperti apa sih kondisi sesungguhnya, lapisan tanah di wilayah ini seperti apa," ungkap Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Cimmahi, Rezza Rivalsyah Harahap kepada Liputan6.com di lokasi.

4 dari 4 halaman

Bandung Krisis Air Tahun 2050

Penurunan tanah adalah bencana yang nyata. Tak hanya terancam terendam, Bandung Raya kini juga berada di ambang krisis air bersih karena air tanah terus-menerus dieksploitasi.

Pakar geodesi dan geomatika ITB Heri Andreas menegaskan, bila hal ini tak ditangani, maka sangat mungkin Bandung akan mengalami krisis air bersih di tahun 2050 mendatang. Meski begitu, hal ini bisa dihindari bila upaya pencegahan dilakukan.

"Tentunya kalau kita sekarang mengurangi atau mungkin kalau bisa memberhentikan pengambilan air tanah, kemungkinan nanti tidak akan terjadi krisis air di 2050," ungkapnya.

Dia menjelaskan, beberapa upaya yang bisa dilakukan adalah berhenti menggunakan air tanah dan meregulasi pendirian pabrik. Menurutnya, pemerintah harus mulai serius menanggapi adanya bencana penurunan tanah dan potensi krisis air bersih di Bandung.

Solusi lainnya adalah memindahkan lokasi pabrik agar tak begitu dekat dengan pemukiman warga. Namun, hal tersebut hampir tak mungkin dilakukan.

"Ya tentunya kalau paling mudah kan pindah, tapi kita tidak semudah itu berbicara karena di situ juga ada urusan investasi, ekonomi, sehingga boleh saja industri itu tetap di sana tetapi tidak boleh menggunakan air tanah. Pakai suplai air lainnya, itu solusi yang win-win solution," jelas Heri.

Namun, Heri yakin, bila nantinya pabrik tak lagi dibolehkan mengambil air tanah, mereka pun akan menuntut kepada pemerintah atas hal itu. Sebab menurut undang-undang, pemerintah memang wajib menyediakan air.

"Jadi bola panasnya ada di pemerintah untuk solusi ini. Ketika pemerintah bisa menyediakan air selain air tanah, dan pabriknya juga tidak ambil air tanah, maka itu adalah jawaban dari permasalahan subsidence ini sebenarnya," dia mengakhiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.