Sukses

KPK dan Kejaksaan Berpacu Ungkap Korupsi, Siapa Kuat?

Meski sama-sama punya kewenangan mengungkap kasus korupsi, posisi KPK dan Kejaksaan tidaklah sejajar.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang berpacu mengungkap kasus besar korupsi. Pekan lalu, KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) menangkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan menetapkan empat tersangka.

Selasa kemarin, giliran Kejaksaan Agung menangkap dan menahan lima orang tersangka dalama kasus raibnya uang perusahaan di asuransi Jiwasraya. Kejagung mencatat, hingga akhir 2019, kas perusahaan tak sanggup membayar tunggakan klaim sebesar Rp 12,4 triliun.

Yang berbeda dari sebelumnya, OTT KPK kali ini mendapat sejumlah catatan negatif. Hal itu lantaran penyidik KPK diduga kesulitan melakukan penggeledahan usai penangkapan, padahal kewenangan serta fasilitas yang dimiliki lembaga ini sangat besar.

Sedangkan lembaga kejaksaan yang memiliki banyak keterbatasan, dinilai berani menetapkan tersangka dalam kasus kakap di Jiwasraya. Bahkan, Istana pun mengapresiasi apa yang dilakukan kejaksaan ini.

Catatan itu jelas membuat Kejaksaan naik pamor, meski dibandingkan KPK lembaganya masih keok dalam urusan pengungkapan kasus korupsi.

Lantas, apa sebenarnya yang membedakan kedua lembaga yang sama-sama diberikan kewenangan mengusut kasus korupsi ini dalam mengendus pelaku rasuah?

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Penyadapan

Suatu kali, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pernah mengeluhkan perbedaan wewenang antara Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya terkait dengan wewenang penyadapan.

"KPK punya kewenangan lebih dari kejaksaan," ujar Prasetyo di kantornya, Jalan Sultan Hasanudin Nomor 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa 9 Januari 2018.

Berbeda dengan Kejaksaan yang hanya bisa melakukan penyadapan pada tahap penyidikan, KPK diperbolehkan menyadap sejak tahap penyelidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Padahal, saat penyelidikan itu, kita perlu bukti-bukti awal yang cukup, tapi apa boleh buat karena undang-undangnya mengatakan begitu kita harus ikuti," ujar Prasetyo.

Untuk urusan penyadapan, KPK memang memiliki kewenangan lebih. Jika lembaga lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian harus mendapat izin dari pengadilan (Pasal 83 KUHAP) untuk melakukan penyadapan dalam skala terbatas, tidak demikian dengan KPK. Lembaga ini bisa melakukan penyadapan dengan bukti awal dan berdasarkan UU baru KPK, cukup mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas KPK.

3 dari 6 halaman

2. Hanya Kasus Tertentu

Tidak semua kasus korupsi bisa diusut KPK. Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mensyaratkan dan membatasi kasus korupsi yang bisa diambil KPK, yaitu hanya untuk kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.

Kemudian, kasus itu haruslah yang mendapat perhatian serta meresahkan masyarakat. Terakhir, kasus yang akan diungkap KPK haruslah menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Sementara untuk kejaksaan, tak ada batasan seperti itu. Apakah kasus itu kecil atau besar, kejaksaan bisa mengusut. Demikian pula dengan kerugian negara, tak ada batasan jumlahnya.

Namun, kejaksaan tetap memiliki keterbatasan dalam mengusut semua kasus korupsi itu jika sudah berhadapan dengan KPK. Sebab KPK juga berfungsi sebagai supevisi dalam setiap kasus korusi yang dikerjakan kejaksaan.

4 dari 6 halaman

3. Ambil Alih Perkara

Sejak awal, pembuat undang-undang memang sudah mengisyaratkan kalau KPK bakal menjadi lembaga yang super dan berada di atas lembaga penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan. Hal itu terbukti dengan diberikannya KPK kewenangan mengambil alih perkara korupsi yang tengah ditangani Kejaksaan dan Polri.

Pasal 9 UU KPK menyebutkan, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan itu harus dengan alasan adanya laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti atau proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Alasan lainnya adalah jika penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya atau penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi. Kemudian, adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

Dengan kata lain, KPK bisa mengambil alih penanganan kasus korupsi yang tengah ditangani Kejaksaan jika memenuhi unsur-unsur di atas. Sebaliknya, Kejaksaan tak memiliki kewenangan serupa terhadap kasus-kasus yang sedang ditangani KPK.

5 dari 6 halaman

4. Kejaksaan Harus Mengalah

Dalam mengusut sebuah kasus korupsi, KPK selalu menjadi yang terdepan. Misalnya, jika dalam hal suatu tindak pidana korupsi KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan, wajib memberitahukan kepada KPK.

Kemudian, penyidikan kasus korupsi oleh Kejaksaan itu wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK. Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

Demikian pula dalam hal penyidikan yang dilakukan secara bersamaan oleh Kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan Kejaksaan tersebut harus segera dihentikan.

Artinya, meski sama-sama memiliki kewenangan mengusut kasus korupsi, KPK lah yang menjadi penentu dan didengar titahnya.

6 dari 6 halaman

5. Jumlah Penyidik

Dari sekian banyak kewenangan dan kelebihan yang dimiliki KPK, ada satu hal di aman lembaga antirasuah harus mengakui kehandalan Kejaksaan, yaitu dalam hal jumlah sumber daya. Demikian pula dengan cakupan kewilayahan di mana Kejaksaan bisa menjangkau wilayah terkecil seperti kota dan kabupaten. Sementara KPK hanya ada di ibu kota negara.

Dikutip dari laman kejaksaan.go.id, jumlah jaksa di seluruh Indonesia hampir 8.000 ribu orang, di mana sekitar 10 persennya bertugas di Kejaksaan Agung. Selebihnya ditempatkan di kantor-kantor kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri seluruh Indonesia.

Namun, harus dicatat bahwa semua jaksa itu tentu tidak bertugas mengusut kasus korupsi, karena jaksa juga berfungsi menjadi penuntut untuk kasus-kasus hukum lainnya, seperti kriminal umum.

Sementara di kantor KPK, gedung Merah Putih di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, saat ini dihuni 135 orang penyidik dan 83 orang jaksa KPK. Jumlah itu termasuk penambahan 18 penyidik asal Polri dan 7 orang jaksa baru pada Agustus tahun lalu.

Dengan perbandingan SDM dan jaringan antara KPK dan Kejaksaan yang sangat tidak imbang itu, wajar kalau mantan Jaksa Agung Prasetyo pernah meminta agar lembaganya diberikan kewenangan serupa KPK agar bisa bergerak lebih lincah.

Prasetyo mengatakan, jika Kejaksaan Agung diberikan wewenang yang sama dengan KPK, dia yakin lembaganya akan menangani kasus korupsi dengan lebih baik. Terlebih lembaganya memiliki pengalaman, sumber daya manusia, serta jaringan yang luas dibandingkan KPK.

Tapi, cukupkah hanya dengan alasan itu kemudian penanganan kasus korupsi jadi makin trengginas?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.