Sukses

Izin Dewan Pengawas di OTT Wahyu Setiawan Dinilai Masih Multi Tafsir

Fahri menilai, ada sedikit persoalan teknis regulasi yang tidak cukup gamblang mengakomodir ketentuan peralihan dalam undang-undang KPK yang baru

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) dalam sebuah penerbangan. Yang menjadi polemik, adanya sejumlah prosedur yang mengharuskan tindakan pencegahan , penggeledahan harus atas izin Dewan Pengawas KPK yang baru dibentuk Jokowi.

Terkait hal itu, pengamat Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengatakan peristiwa tersebut mempunyai persoalan multi tafsir yang berpotensi menjadi celah untuk dilakukan upaya praperadilan atau upaya hukum.

"Sesuai UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pasal 69D disebutkan bahwa sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang - undang ini diubah" ujar Fahri di Jakarta, Senin (12/1/2020).

Mengenai penggeledahan yang dilakukan KPK setelah Dewan Pengawas terbentuk, apakah harus tetap atas persetujuan lembaga tersebut?

Fahri juga menerangkan bahwa hal tersebut sedikit memantik perdebatan yang serius sehingga celah hukum ini dapat digunakan oleh para tersangka untuk mempersoalkan hal ini melalui instrumen ajudikasi Pengadilan.

"Jika merujuk pada ketentuan norma pasal 70C UU RI No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK disebutkan bahwa pasa saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai, harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Menurut Fahri, ada sedikit persoalan teknis regulasi yang tidak cukup gamblang mengakomodir ketentuan peralihan dalam undang-undang KPK yang baru, sehingga dapat menimbulkan ragam tafsir (multi tafsir) dan persepsi subjektif dari pihak pihak yang berkepentingan.

Secara gamblang Fahri Bachmid memaparkan  bahwa atas ketidakpastian hukum tersebut maka salah satu langkah serta opsi konstitusional yang harus dilakukan adalah mengajukan upaya judicial review pasal 69D dan pasal 70C UU No. 19/2019 ke Mahkamah Konstitusi.

“Hal tersebut dilakukan agar MK dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut secara adil, sekaligus dapat memberikan tafsir konstitusional atas masalah tersebut,” Fachri menandaskan.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

2 OTT Tanpa Persetujuan Dewan Pengawas

Sebelumnya, selama dua hari berturut-turut KPK menjerat para penyelenggara negara yang diduga terlibat transaksi haram. Namun semuanya ternyata tanpa diketahui oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

OTT pertama dilakukan KPK pada Selasa, 7 Januari 2020 malam terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. Dia diduga terlibat transaksi suap terkait pengadaan barang dan jasa di daerahnya. OTT kedua berlangsung pada Rabu, 8 Januari 2020. Komisioner KPU Wahyu Setiawan juga diduga terlibat transaksi suap.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kemudian memberikan penjelasan bila penyadapan berkaitan dengan OTT untuk Bupati Sidoarjo sudah berlangsung jauh sebelum Dewas KPK dilantik. Untuk itu penyadapan tersebut tanpa seizin Dewas KPK.

Dewas KPK memang memiliki peran lebih dalam kinerja KPK saat ini. Aturan baru itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari UU KPK lama, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2002. Dalam UU baru itu terdapat peran Dewas KPK berkaitan dengan pemberian izin penyadapan.

Setidaknya dalam Pasal 12E dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU KPK tercantum mengenai izin penyadapan oleh Dewas KPK. Berikut ini isinya:

 Pasal 12E

 (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan diajukan.

(4) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyadapan dilakukan paling lama 6 bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama.

 Pasal 37B ayat (1) huruf b

 Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.