Sukses

Agnez Mo dan Asal Usul Manusia Indonesia

Pernyataan Agnez Mo dan segala kontroversi yang mengikuti di belakangnya seakan menggiring kita dalam sebuah pertanyaan adakah manusia Indonesia?

Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Agnez Mo dalam sebuah sesi wawancara dengan salah satu program acara TV di Amerika Serikat (AS) beberapa hari ini menuai kontoversi. Agnes yang mengatakan dirinya tidak memiliki darah Indonesia dianggap publik tidak mencerminkan semangat nasionalisme terhadap negaranya.

Pro kontra pun mengemuka dan mendominasi narasi pemberitaan beberapa hari yang lalu. Pernyataan Agnez Mo dan segala kontroversi yang mengikuti di belakangnya seakan menggiring kita dalam sebuah pertanyaan adakah manusia Indonesia?

Pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eijikman, Herawati Sudoyo beranggapan bahwa akar DNA manusia Indonesia sangat beragam. DNA atau asam deoksiribonukleat sendiri merupakan sejenis biomolekul yang menyimpan dan menyandi informasi tentang suatu makhluk hidup.

Menurut Herawati, Indonesia tidak memiliki leluhur tunggal. Sebagai negeri yang terdiri dari banyak pulau, setiap daerah di Indonesia memiliki masing-masing leluhur.

"DNA kita atau manusia Indonesia kita sudah periksa 2.740 untuk dari kromosom XY berarti dari pihak laki-laki. Dari pihak perempuan kurang lebih dua ribu juga ya. Jadi lima ribu data yang udah ada itu menunjukkan bahwa ada kelompokan-kelompokan (manusia Indonesia)," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (28/11/2019).

Menurut Herawati, bangsa Indonesia dahulu mengalami beberapa gelombang kolonialisasi. Dia menyebutkan, kolonialisasi pertama terjadi sekitar 50 ribu hingga 60 ribu tahun yang lalu.

"Gelombang kedua kemudian datang dari Asia daratan, Asia Tenggara 30 ribu sampai 10 ribu tahun yang lalu," kata peraih Habibie Award 2008 itu.

"Gelombang ketiga datangnya dari Taiwan yang membawa bahasa Austronesia," Herawati melanjutkan.

Sedangkan gelombang keempat, kanta Herawati, terjadi pada sekitar awal abad pertama masehi.

Selain itu genetik manusia Indonesia juga terpengaruh oleh para pedagang dari berbagai belahan dunia. Semisal China, Arab, India, bahkan Eropa.

"Itu semua yang membentuk Indonesia. Jadi kalau saya ditanya kaya gimana sih genetik Indonesia? Beragam, membaur tergantung dari tempat di mana kita berasal," papar Herawati.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Konstruksi Politik

Di sisi lain, sejarawan dan juga penulis Api Sejarah I dan II, Ahmad Mansur Suryanegara menganggap manusia Indonesia merupakan suatu konstruksi politik.

Mansur menilai pada era penjajahan Belanda term pribumi merupakan istilah umum yang disematkan kepada bangsa Indonesia yang beragama Islam oleh kaum penjajah.

"Kalau yang dinamakan bangsa-bangsa Timur ada India, China dan Arab (warga negara kelas dua). Kalau warga negara kelas satu itu ada Belanda kemudian Kristen," ungkap Ahmad Mansur saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (29/11/2019).

Menurut Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) itu, saat era penjajahan semua orang yang beragama Kristen diklasifikasikan sebagai bangsa Eropa.

Pra kemerdekaan, menurut dia ruh ke-Indonesiaan sudah kental dalam masyarakat kita. Pasalnya meskipun terdiri dari beragam budaya tapi bangsa yang saat ini Indonesia dikenal sebagai negara yang disatukan dalam corak budaya serupa.

Baru setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia dinaungi oleh satu bendera yang meleburkan berbagai macam embel-embel kesukuan. "Jadi itu upaya-upaya Republik Indonesia untuk menyatukan kesatuan bangsa. Sehingga tidak ada rasa kedaerahan yang membahayakan," papar dia.

Sementara itu, ditinjau dari kacamata sosiologis respons negatif sebagai besar warganet terhadap Agnez Mo dilatarbelakangi oleh sentimen ras. Menurut Guru Besar Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Nanang Martono, hal itu dikarenakan Agnes seorang non-muslim.

"Pemicunya di antaranya adalah karena si Agnes non-muslim, (maaf) keturunan Tionghoa, faktor identitas inilah yg mudah menyulut atau menambah emosi netizen, dan yang lainpun ikut-ikutan," jelas Nanang kepada Liputan6.com, Sabtu (30/11/2019).

"Mereka mudah tersulut komentar-komentar negatif di media sosial. Kadang yang ikut komentar pun tidak tahu akar masalah yang sebenarnya," lanjut Nanang.

Menurut dia, respons wargnet akan berbeda manakala Agnez adalah seorang muslim, atau keturunan Arab dan memiliki simbol-simbol Islam lainnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.