Sukses

Tembus Jantung Pertahanan, Serangan Teroris Dinilai Jadi Warning bagi Negara

Menurut Pengamat Gerakan Islam/UIN Jakarta, M Zaki, para teroris belajar otodidak dan mengalami proses radikalisasi secara personal.

Liputan6.com, Jakarta - Serangan teroris ke Mapolrestabes Medan terjadi pada Rabu 13 November 2019. Serangan itu disebut sebagai lone wolf atau pelaku melakukannya sendiri.

Menurut Pengamat Gerakan Islam/UIN Jakarta, M Zaki, para teroris belajar otodidak dan mengalami proses radikalisasi secara personal. Secara organisasi mereka tidak masuk dalam kelompok jihadis.

"Beberapa pelaku yang melakukan serangan terhadap polisi yang Tanggerang, di Polsek Wonokromo itu secara struktural tidak terkoneksi dengan jihadis maupun perkumpulan jihadis di Tanah Air," ujar Zaki di diskusi Perspektif Indonesia, Sirih Merah, Kebon Sirih, Jakarta, Sabtu (16/11/2019).

Zaki mengatakan mereka mengalami proses radikalisasi secara personal baik itu belajar dari Youtube atau Facebook dan sebagainya. Keterampilannya pun berbeda jauh dengan meraka yang belajar ke Afganistan dan Filipina dalam merancang bom ataupun strategi dalam melakukan aksi teror.

"Sekarang itu skalanya kecil, bomnya dirakit ala kadarnya karena sumber daya yang dimiliki mulai merosot secara signifikan, sebagian yang punya skill sudah pergi jihad atau sedang dipenjara, tersisa adalah yang tidak memiliki keterampilan dan kapasitas sangat lemah sekali," kata Zaki.

Namun Zaki mengatakan bila teroris beraksi sendiri saja bisa menembus jantung pertahanan kepolisian ini merupakan warning bagi keamanan di negara Indonesia.

"Nah kalau yang level KW saja bisa memasuki jantung pertahanan dari institusi keamanan dan menewaskan beberapa polisi, maka saya kira yaitu sedang menjadi alarm bahwa mereka sendiri ternyata belajar tentang strategi-strategi itu," sambungnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tersisa Kelompok Kecil

Zaki menambahkan yang terjadi dari tahun 2014 sampai 2016 Jihadis-jihadis di Indonesia yang terampil yang ideologinya kuat lebih dari 700 berangkat ke Suriah, jadi yang tersisa di Indonesia kini adalah nonstruktural atau kelompok kecil.

"Mereka yang berangkat ke Suriah hampir semuanya mati yang tergabung dalam ISIS, yang tersisa adalah jihadis yang skillnya kurang, sumber daya sangat kecil, karena yang punya keterampilan tinggi dan ideologi kuat itu kalau enggak ada di suriah itu ada di penjara," tutup Zaki.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.