Sukses

Mendobrak Keterisoliran Pendidikan di Tampur Paloh Aceh Timur

Banjir 2006 merupakan momen yang tidak terlupakan bagi warga Desa Tampur Paloh Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Pasalnya, di tahun itu desa mereka sempat hilang terendam banjir meluapnya aliran sungai Aceh Tamiang.

Liputan6.com, Aceh - Banjir 2006 merupakan momen tak terlupakan bagi warga Desa Tampur Paloh Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh. Pasalnya, di tahun itu desa mereka sempat hilang terendam banjir karena meluapnya aliran sungai Aceh Tamiang. Para penduduk terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Meskipun daerah itu terisiolasi dari akses jalan darat.

Pindah menuju tempat yang terisolasi bukanlah hal yang mudah, terutama bagi anak-anak di sana. Mereka terpaksa kesulitan untuk mengakses pendidikan. Desa yang masuk wilayah terdepan, terluar dan terpencil ini, pada saat itu sama sekali tidak memiliki fasilitas pendidikan selevel SMP maupun SMA. Hal ini membuat tingkat pendidikan masyrakat di sana begitu rendah pada saat itu.

Masyarakat tidak mampu memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya usai lulus SD. Mereka yang lebih beruntung harus menyeberangi sungai dengan jarak sekitar dua jam perjalanan untuk bersekolah di SMP maupun setara SMA. Hal itu jugalah yang akhirnya membuat banyak anak di sana menikah secara dini.

Melihat kondis itu, batin Ali Muda Tinendung tergerak. Ia merasa harus berbuat sesuatu bagi anak-anak di Desa Tampur Paloh. Akhirnya dengan tekad yang kuat, ia bersama teman-temannya membangun SMP Merdeka yang merupakan SMP pertama dalam satu kecamatan.

Awalnya ia bergabung dengan tim respons darurat bencana banjir di sana. Usai banjir, di tempat relokasi yang baru, Ali bertugas sebagai tim pendampingan anak-anak korban bencana banjir. "Jadi ngobrol-ngobrol terbentuklah kelompok diskusi. Setelah 6 bulan baru muncul kepikiran sekolah," kata Ali.

Pikiran ini didasari atas kekhawatiran orang tua anak-anak saat itu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Karena kata Ali, ibu dari anak-anak waktu itu merasa khawatir bagaimana nasib anak mereka setelah mengenyam pendidikan SD, kalau belum ada jenjang di atas SD di daereh mereka.

"Berdirilah sekolah ini, tanpa gedung ini. Kami sekolah di mana-mana, di pinggir sungai," kata dia.

Dalam prosesnya, Ali yang merupakan kepala sekolah pertama SMP Merdeka mengaku dana opersional sekolah dibiayai secara patungan. Karena belum ada dana bantuan dari pemerintah. Urunan pun hanya terbatas pada para guru saja.

SMP Merdeka merupakan sekolah menengah yang sampai saat ini masih paling terisolir karena letaknya yang amat jauh ke arah hulu sungai. Posisi Desa Tampur Paloh memang begitu sulit diakses, wilayah sekitar yang masih dikelilingi bentangan perbukitan serta hutan lebat membuat satu-satunya akses menuju wilayah ini ialah melalui sungai Aceh Tamiang. Ibu kota kecamatan sendiri berada lebih ke hilir aliran sungai yang otomatis lebih mudah dijangkau.

Ali beserta kawan-kawannya memang berkomitmen untuk tidak mengambil iuran kepada para siswa. Namun saat kali pertama mendafatrakan diri sebagai siswa, pihaknya meminta para murid untuk membawa selembar papan kayu dan satu tiang.

Hal ini karena Ali melihat hanya kayu yang mudah didapat di desa itu bagi seluruh warga. "Itu yang paling mungkin mereka kasihkan," ucap Ali.

Ali mengakui kondisi masyarakat di sana begitu memprihatinkan, bahkan hanya untuk sekedar makan. Di musim panen seperti ini mereka makan tiga kali sehari, tapi jika musim paceklik bisa hanya dua kali saja sehari.

Karena melihat animo yang begitu besar akan pendidikan, akhirnya Ali dan kawan-kawannya berembuk bersama warga desa untuk membuat sekolah setingkat SMA yakni Madrasah Aliyah (MA). Mereka membentuk MA di sana pada 2016 dan saat ini sudah meluluskan satu angkatan.

Beruntung, MA di sana mendapatkan bantuan pebangunan gedung dari Kemenetrian Agama (Kemenag) dan juga Pertamina. Sedangkan SMP sendiri saat ini telah mempunyai gedung yang dibangun secara swadaya.

"Gedungnya balai-balai gitu, tidak berdinding," kata Ali.

Gedung yang masih dibangun dari kayu itu kurang tepat jika disebut gedung. Lebih pas disebut sebagai panggung kayu karena tidak memiliki tembok sebagai pelindung anak-anak saat belajar dari angin maupun semprotan air hujan.

Para murid juga tidak memiliki ruang kelas. Mereka disatukan dalam satu rombongan belajar (rombel) di panggung tersebut.

Perjuangan para murid di sana juga lebih berat, pasalnya Desa Tampur Paloh belum dialiri listrik sampai saat ini. Ali mengatakan, baru-baru ini PLN memasang infrstuktur listrik, namun belum beroperasi.

Anak-anak setiap malam hanya bisa belajar menggunakan penerangan dari lampu minyak. "Yang pake minyak tanah itu, minyak tanah gak ada lagi pake solar, ya item," canda Ali diikuti gelak tawa.

Karena tidak tersediannya listrik, maka satu-satunya informasi yang dapat diperoleh oleh para murid ialah melalui buku. Atau sesekali Ali mengunduh video dari YouTube terkait materi pelajaran yang berhubungan.

Pria kelahiran 24 November 1974 itu mengaku, selama masa mengabdi di sana salah satu kesulitan paling berat dihadapi di sana adalah mengenai meyakinkan para orang tua agar anaknya bisa sekolah. Karena meskipun ada peningkatan animo, tapi progresnya sangat kecil.

"Sudah besar (animonya) kalau dibanding dengan dulu, karena dulu kan hunting. Tapi kadang-kadang kalau musim panen dikorbankan sekolah untuk kepentingan lain," kata Ali.

Banyak yang bertanya mengenai keputasan besar yang diambil Ali untuk mengabdi di Tempur Paloh. Kkata dia, hal itu demi bermanfaat bagi sesama. Bagi Ali hidup akan kosong bila kita tidak bermanfaat bagi orang lain.

"Khoirunnas anfauhum linnas (Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain)," ucap dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pernikahan Dini

Ali juga mengisahkan di daerah itu marak akan pernikahan dini. Menurut dia, hal itu bagaikan bagian dari budaya di Desa Tampur Paloh.

Pernikahan dini begitu marak disebabkan masa pendidikan anak-anak di sana sejak dahulu begitu rendah. Usia mengenyam SD, anak-anak di sana kerap dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Bahkan kata Ali ada anak yang masih kelas lima SD sudah dijodohkan oleh kedua orang tuanya.

Ia sendiri mengaku sudah bekerjasama dengan berbagai pihak terkait untu membendung itu. Namun karena sedah membudaya, Ali mengaku kesulitan. Oleh karenanya ia hanya melakukan imbuan agar pernikahan dilakukan mana kala sang anak sudah matang, baik secara fiksi maupun psikologis.

"Siap secara fisik, siap secara mental dan siap menjadi orang tua. Artinya kan sama juga kalimat itu yaudah cepat-cepat aja (nikah) tapi sekolah dulu gitu," selorohnya.

Berangkat dari pelbagai permasalahan tersebut, PT Pertamina EP Asset 1 Rantau Field terut membantu Ali dan kawan-kawannya untuk membangun pendidikan anak-anak di Tampur Paloh.

Menurut Arsy Rakhmanissazly selaku CSR Staff PT Pertamina EP Asset 1 Rantau Field, pihaknya memang mempunyai keinginan untuk mengembangkan wilayah tersebut. Pertamina turut membantu Ali serta kawannya sejak 2016. Saat itu, Pertamina ikut membangun fasilitas sanitasi di sana.

"2018 kita kembangkan fasilitas perpustakan, buku-bukunya. Sama kebun sekolah. Di 2019 ini kita bantu 8 fundrising-nya," kata Arsy.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.