Sukses

Nasdem Kaji Pemilihan Kepala Daerah Tidak Dilakukan Langsung

Hal itu masih menjadi pembicaraan di tingkat pengurus pusat Nasdem.

Liputan6.com, Jakarta - Mendagri Tito Karnavian meminta sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk dikaji ulang. Partai Nasdem sedang mengkaji hal tersebut secara matang.

"Nasdem sangat membahas itu secara matang, pilkada ini kita sudah melihat penelitian orang sangat berbiaya tinggi dan kita juga lihat banyak kepala daerah yang kemudian ditangkap KPK, Kejaksaan dan lain-lain," kata Ketua DPP Nasdem Charles Meikyansah di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Senin (11/11/2019).

Dia menyebut, salah satu opsi yang dipertimbangkan Nasdem adalah Pilkada ke depan tidak berbiaya mahal. Hal itu masih menjadi pembicaraan di tingkat pengurus pusat Nasdem.

"Belum tentu model sekarang ini akan dipilih kader terbaik tapi berbiaya tinggi sudah pasti, ada mahal buat apa-apa. Nah ini kita upayakan bagaimana pimpinan di daerah itu adalah yang terbaik tapi bisa mengurangi biaya politik," ucapnya.

Partai pimpinan Surya Paloh itu pun sudah mewacanakan soal kepala daerah dipilih oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung. Kemudian, soal gubernur yang bukan lagi perwakilan pusat.

"Apakah kemudian yang dipilih itu hanya bupati atau walikota. Itu masih digodok oleh kepenguruan baru ini dan itu akan menjadi sikap Nasdem," pungkasnya.

Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian meminta sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk dikaji ulang. Dia mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.

"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Banyak Mudaratnya

Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.

"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.