Sukses

Kisah Soeharto yang Pilih Menteri Sendiri hingga Libatkan Intelijen

Soeharto hampir tidak mengenal kata kompromi politik saat menyusun kabinet.

Liputan6.com, Jakarta - Ada kisah menarik dari Presiden kedua RI Soeharto dalam memilih para menteri yang bakal menjadi pembantunya mengurus negara.

Kisah tersebut dituturkan salah satunya oleh Cosmas Batubara yang 3 kali menjadi menteri pada kabinet pemerintahan Soeharto.

Menurutnya, Soeharto hampir tidak mengenal kata kompromi politik saat menyusun kabinet. Sebab, saat berkuasa, Golkar adalah single majority, sehingga memudahkannya menentukan pilihan.

Selain itu, Soeharto bahkan menggunakan intelijen untuk merekrut menteri-menteri yang akan bekerja mendampinginya.

Dia akan menggunakan data-data dari laporan intelijen untuk melihat data dan latar belakang seseorang.

Berikut kisah menarik Soeharto terkait menteri pilihannya:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Andalkan Jaringan Terpercaya dan Perimbangan Wilayah

Menurut Cosmas, untuk mencari menteri yang terbaik dan bisa dipercaya masuk kabinet, Soeharto biasanya mengandalkan orang-orang yang berada di jaringan yang sangat dipercaya olehnya.

Yang utama adalah mereka yang berasal dari TNI (dulu ABRI) dan Partai Golkar, baru kemudian calon dari kalangan profesional.

Tidak hanya itu, Soeharto juga sangat memperhatikan asas perimbangan wilayah yang ada di Indonesia dengan mencari calon menteri dari latar belakang etnis yang beragam sebagai perwakilan pulau-pulau besar.

Tak sulit bagi Soeharto mencari sosok menteri yang dia inginkan karena dia bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang data-data penting calon terkait.

"Pak Harto memiliki sumber data yang rinci terkait orang yang dicalonkan sebagai menterinya," kata Cosmas.

Cosmas dipanggil Soeharto ke kediamannya di Jalan Cendana pada 1978 setelah sidang MPRS mengangkatnya kembali sebagai presiden.

Soeharto memintanya masuk kabinet dan Cosmas bertahan hingga 15 tahun di kabinet sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat (1978-1988) dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1988-1993).

 

3 dari 6 halaman

Gunakan Intelijen

Mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara di era Soeharto, Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Presiden Soeharto menggunakan jasa intelijen untuk merekrut para menterinya.

Hal ini mengonfirmasi bahwa Soeharto punya sumber data yang rinci terkait calon menterinya.

Soeharto akan menggunakan data-data dari laporan intelijen untuk melihat data dan latar belakang seseorang yang ingin ditunjuknya menjadi menteri. Karena itu, kehidupan calon menterinya sangat diketahui secara detail oleh Soeharto.

"Pak Harto itu memiliki metode untuk mencarikan orang, beliau sering memakai laporan intelijen. Jadi siapa pun yang ingin menjabat, data, latar belakang itu Pak Harto sudah punya, dan cara itu sangat akurat dan profesional," ujar Sarwono kepada Liputan6.com, Minggu 26 Oktober 2014.

 

4 dari 6 halaman

Susun Sendiri Kabinet

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti membenarkan cerita Sarwono. Menurutnya, apa yang dilakukan pada era Soeharto semuanya harus lolos screening atau pengecekan yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN).

"Zaman Pak Harto, itu semuanya harus screening. Mau jadi PNS, menteri, harus screening dulu lewat Badan Intelijen Negara. Barulah nanti terlihat laporan kegiatan itu. Pernah kritik atau tidak? Ikut organisasi apa? Sama dengan Akbar Tandjung dan Pak Sarwono yang terus dipantau BIN," kata Ikrar.

Namun begitu, Ikrar mengatakan meski mendapatkan info dari BIN, Pak Harto menyusun sendiri kabinetnya tanpa orang lain. Menurut dia, Pak Harto dalam memilih selalu melihat benar-benar tentang track record para kandidat.

"Pak Harto itu menyusun sendiri tanpa orang lain. Memang zaman tersebut jelas sangat otoriter. Di mana, Pak Harto memilih yang baik dihitung benar-benar track record-nya," jelas dia.

 

5 dari 6 halaman

Tak Banyak Minta Saran Wapres

Dengan kekuasaan besar yang dimiliki, Soeharto juga tak banyak meminta saran atau tanggapan dari wakil presiden yang mendampinginya.

"Saran saya itu ada yang dia (Soeharto) terima, dia oke. Tapi ada yang dia tidak terima, dan dia marah-marah sama saya," kata mantan Wapres BJ Habibie (Maret 1998-Mei 1998).

Jika sudah terjadi perbedaan pendapat seperti itu, Habibie mengaku tak bisa lagi berbuat banyak. Soeharto akan tetap mengusung nama yang dipilihnya, meski Habibie tidak menyetujuinya.

"Dia (Soeharto) bilang, 'pokoknya menterinya ini. Saya kan presidennya'. Kata saya silakan, tapi saya tahu menurut saya itu salah," kisah Habibie 2014 lalu.

Sikap Soeharto yang tak mau mendengarkan masukan dalam memilih seorang menteri itu sangat disayangkan Habibie. Meskipun memilih menteri adalah hak prerogatif presiden, masukan dari berbagai pihak menurut dia tetap penting untuk didengarkan.

Dengan pola semacam ini, meski dukungan politik nyaris mutlak, Soeharto masih membutuhkan waktu panjang dan proses yang tidak mudah.

Mungkin karena itu, setelah memilih menteri-menterinya, Soeharto hampir tidak pernah merombak kabinetnya di tengah jalan.

 

6 dari 6 halaman

Mengerti Kualitas Anak Buah

Di tempat terpisah, mantan ajudan Soeharto, Letjen (Purn) Soerjadi mengatakan, yang membedakan Pak Harto dari presiden lainnya adalah dia sangat mengerti kualitas anak buahnya, sehingga untuk menyeleksi tidak diserahkan pada orang lain atau tim.

"Tidak diserahkan kepada tim, ditangani sendiri. Ada 1 contoh, tahun 1981 atau 1982, saya mendapat tugas menghubungi 2 orang calon menteri untuk datang ke Pak Harto. Akhirnya ditangani sendiri, dan beliau (Pak Harto) punya record sendiri terhadap orang-orang itu," jelas Soerjadi kepada Liputan6.com.

Dia melanjutkan, dengan berpegang pada data dan pertimbangan yang matang, Pak Harto percaya dan yakin bahwa orang yang dia pilih sebagai menteri bisa melaksanakan pekerjaannya.

"Jadi bukan karena ini pilihan siapa atau masukan siapa," tegas Soerjadi. Pak Harto, kata dia, juga mengandalkan mata batin. Hanya dengan melihat, ia bisa menilai kualitas seseorang.

"Saya pernah ikut beliau kunjungan ke Asem Bagus, Jawa Timur. Ada tentara yang dia (Pak Harto) lihat bagus. Di tengah jalan dia lihat dan ditanya, 'iku sopo?' Namanya Basofi Sudirman. Kemudian dia ditarik jadi Gubernur Jawa Timur," sambung dia.

 

Reporter: Mardani

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.