Sukses

Ekosistem Ketenagakerjaan Indonesia Masih Kaku, Menaker: Perlu Transformasi

Transformasi itu berkaitan dengan ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Karakter pekerjaan, tuntutan keterampilan pada dunia kerja dapat mengubah industri meski ada tantangan perubahan ketenagakerjaan yang masif dan dinamis. Demikian dikatakan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri dalam acara Indonesia Investmen & Trade Summit (ITIS) 2019 bertema The Future in Now di Jakarta, Selasa (15/10).

Hanif mengatakan, perubahan di era revolusi industri 4.0 yang juga mengakibatkan perubahan karakter pekerjaan, tak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi, seperti penggunaan mesin dan robotisasi.

"Untuk itu, agar Indonesia tetap eksis, maka kunci utamanya yakni merespon perubahan secara cepat pada sisi ketenagakerjaan dan sisi skill pada dunia kerja," kata Hanif saat menjadi panelis acara yang digelar Apindo.

Hanif menjelaskan perubahan industri yang terjadi di luar banyak di-drive untuk perkembangan Teknologi Informasi yang masif dan pada akhirnya akan mempengaruhi hubungan industrial. "Ini harus direspon secara cepat juga baik oleh pemerintah, dunia usaha dan serikat pekerja," kata Hanif.

Hanif menambahkan prioritas pembangunan SDM tahun ini, membutuhkan SDM berkualitas dengan jumlah memadai dan persebaran yang relatif merata di seluruh Indonesia. Namun kondisi faktual saat ini yakni adanya ketimpangan skill, yang sesungguhnya bukan hanya persoalan pemerintah, tetapi juga masalah bagi serikat pekerja dan pengusaha.

"Untuk mengatasi persoalan ketimpangan skill tersebut, pemerintah pro aktif meningkatkan masifikasi pelatihan vokasi, baik hard skill maupun soft skill kepada angkatan kerja agar bisa terserap di pasar kerja dan menjadi wirausahawan."

Hanif mengatakan untuk menghadapi tantangan terbatasnya pekerja yang memiliki skill berkualitas dengan jumlah banyak dan tersebar merata, pemerintah terus membenahi dua aspek penting. Yakni ekosistem ketenagakerjaan dan jaminal sosial bagi pekerja.

Hanif menilai saat ini ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia masih kaku. Salah satunya aturan dalam bekerja yang masih kaku dan berdampak pada terhambatnya produktivitas bagi pekerjanya itu sendiri.

"Maka dari itu saya ingin menegaskan perlunya mentransformasikan ekosistem yang kaku tadi menjadi lebih fleksibel atau flexibility labour market," kata Hanif.

Hanif menambahkan setelah ekosistem ditransformasikan lebih fleksibel, maka perlindungan sosial perlu diperkuat. Hal ini diperlukan, agar ke depan, para pekerja harus bisa merasakan konsep pembelajaran seumur hidup (long life learning and long life education). Yakni kondisi di mana seseorang bisa belajar terus menerus, meningkatkan skill-nya terus menerus, beradaptasi skill-nya terus menerus, dan bisa bekerja secara terus menerus dengan dinaungi perlindungan sosial

"Jadi di sini pentingnya menyeimbangkam keduanya, agar selaras dengan tujuan yang sama sama kita harapka. Di saat skill/keterampilan menjadi hal wajib dalam menghadapi dunia ketenagakerjaan yang semakin dinamis/fleksibel, maka semua orang harus bisa mengalami long life learning melalui berbagai bentuk skilling, upskilling, dan reskilling,"jelas Hanif. 

Sementara Ketua Umum Apindo Haryadi B. Sukamdani mengatakan ITIS 2019 digelar pada momentum yang tepat. Apalagi menjelang dimulainya pemerintahan baru periode 2019-2024 sehingga dapat membangun optimisme baru untuk pemerintahan baru.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini