Sukses

Perppu KPK, Desakan Itu Makin Kuat

Presiden Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan mencabut UU KPK. Namun, sejumlah pihak menilai penerbitan perppu harus dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Tak ada alasan bagi Presiden Jokowi menunda mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang KPK. Hal tersebut lantang diucapkan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris.

Dia menilai, Jokowi tidak perlu khawatir dengan ancaman pemakzulan apabila dirinya menerbitkan Perppu tentang KPK. Yang menyatakan Presiden bisa dimakzulkan karena menerbitkan Perppu tentang KPK, lanjut dia, tidak paham konstitusi.

"Jadi tidak ada alasan bagi presiden untuk menunda terbitnya Perppu KPK. Presiden tidak perlu khawatir ancaman banyak pihak dengan pemecatan atas presiden," ujar Syamsuddin di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).

Dia menjelaskan, pemberhentian terhadap presiden bisa saja dilakukan karena beberapa hal. Misalnya, presiden terbukti melanggar hukum dengan melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, dan sebagainya. Hal tersebut juga harus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jadi konyol penerbitan Perppu dihubungankan dengan impeachment," ucap Syamsuddin.

Desakan untuk Jokowi pun menguat setelah Lembaga Survei Indonesia (LSI) membeberkan hasil survei opini publik terhadap gerakan mahasiswa dan perppu KPK.

Tujuan dari survei ini salah satunya untuk mengetahui apakah masyarakat menerima atau menolak UU KPK.

Hasilnya, sebanyak 70,9 persen responden setuju bahwa UU KPK hasil revisi dapat melemahkan kinerja lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi.

"Sebanyak 70,9 persen publik yang tahu revisi UU KPK, yakin bahwa UU KPK yang baru melemahkan KPK, dan yang yakin sebaliknya hanya 18 persen," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan di Erian Hotel Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).

Menurut dia, 76,3 persen publik kemudian meminta agar Presiden Jokowi menerbitkan perppu KPK. Sementara itu, yang menolak perppu KPK hanya 12,9 persen.

"Lebih 3/4 publik yang mengetahui revisi UU KPK, menyatakan setuju Presiden keluarkan perppu. Aspirasi publik menilai UU KPK melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Jalan keluarnya adalah mengeluarkan perppu. Dan (perppu) itu kewenangan presiden," jelas Djayadi.

Sebagai informasi, survei dilakukan pada 4 hingga 5 Oktober 2019. Responden dalam survei ini dipilih secara acak dari responden LSI sebelumnya yang jumlahnya 23.760 orang dan mempunyai hak pilih.

Responden dipilih secara stratified cluster random sampling. Dari total sebanyak 23.760, LSI kemudian memilih responden yang memiliki telepon, dan jumlahnya 17.425.

Dari total yang mempunyai telepon tersebut dipilih secara acak sebanyak 1010 orang. LSI menilai jumlah responden itu cukup terdistribusi secara proporsional untuk kategori-kategori demografi utama.

Desakan agar Jokowi mengeluarkan perppu KPK juga datang dari koalisi masyarakat sipil yang bergabung dalam Koalisi Save KPK. Menurut mereka, lahirnya UU KPK hasil revisi merupakan ancaman bagi KPK.

"Kami menuntut agar presiden menerbitkan Perppu tersebut," tegas Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi di Kantor YLBHI, kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (6/10/2019).

Koalisi Save KPK juga meminta agar jajaran pemerintah mendukung langkah presiden untuk menerbitkan Perppu.

"Untuk membatalkan UU KPK dan kembali memberlakukan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ucap Fajri.

Menurut Fajri, ada beberapa alasan yang semakin menguatkan pihaknya untuk mendesak presiden supaya menerbitkan Perppu tersebut. Misalnya, UU KPK hasil revisi tersebut menurutnya bermasalah secara formil. Sebab, kata Fajri, revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019.

"Selain itu, dalam proses pembahasannya tidak melaksanakan tahap penyebarluasan dokumen terkait," ungkap Fajri.

Padahal, penyebarluasan dokumen draf UU merupakan amanat dari Pasal 88 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan.

Kata Fajri, UU KPK hasil revisi tersebut memiliki masalah dalam substansi. Masalah tersebut misalnya di dalam UU KPK memuat adanya Dewan Pengawas (DP).

Selain adanya pasal bermasalah lain seperti kewenangan KPK menerbitkan SP3, hingga mencabut status penyidik pada pimpinan KPK.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kapan Baiknya?

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK. Menurut dia, sebaiknya Jokowi menerbitkan perppu setelah pelantikan Presiden atau 17 Oktober.

"Memang pilihan yang baik bagi Pak Jokowi adalah menunggu 17 Oktober. Maka perppu KPK bisa dilakukan setelah 17 Oktober. Nah sesudah itu kapan? Bisa sebelum dan sesudah pelantikan presiden," kata Syamsuddin di Hotel Erian Jakarta Pusat, Minggu (6/10/2019).

Dia mengatakan, pada 17 Oktober tepat satu bulan sejak revisi UU KPK disahkan pada 17 September. Apabila Jokowi tak menandatangani revisi UU KPK hingga 17 Oktober, UU KPK baru tetap dinyatakan sah.

Syamsuddin mengatakan, Jokowi bisa menerbitkan perppu KPK setelah 17 Oktober, tetapi sebelum pelantikan Presiden. Namun, apabila opsi ini dipilih, maka dikhawatirkan pelantikan Presiden 20 Oktober mendatang akan terganggu.

"Misalnya ada parpol yang tidak hadir di Senayan (pelantikan presiden)," ucap dia.

Jokowi, kata dia, juga bisa memilih opsi lain yaitu menerbitkan perppu setelah 17 Oktober dan pelantikan presiden namun sebelum pembentukan kabinet. Syamsuddin menilai waktu ini paling ideal apabila Jokowi memutuskan menerbitkan perppu KPK.

"Memang yang paling aman sesudah pelantikan presiden, tapi sebelum pembentukan kabinet itu waktu yang paling pas. Setelah 17 Oktober dan setelah pelantikan presiden dan sebelum pelantikan kabinet," ujarnya.

Dia menjelaskan jika perppu KPK diterbitkan sebelum pembentukan kabinet, Jokowi akan memiliki legitimasi yang lebih kuat. Syamsuddin meyakini bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu bakal menerbitkan perppu.

"Sehigga kita mesti bersabar, tapi ya saya ingin optimis bahwa presiden nanti bisa menerbitkan perppu setelah pelantikan dan sebelum penyusunan kabinet," tutur Syamsuddin.

 

3 dari 3 halaman

Jokowi Masih Pertimbangkan

Sebelumnya, Presiden Jokowi mempertimbangkan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini diputuskan usai Jokowi mendengar masukan dari sejumlah tokoh yang diundang ke Istana Merdeka, Jakarta.

"Akan kita kalkulasi, kita hitung, pertimbangkan, terutama dalam sisi politiknya," ujar Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Kamis 26 September 2019.

Setelah melakukan kalkulasi, Jokowi akan meminta saran kepada sejumlah tokoh senior. Dia berjanji kajian soal Perppu akan dilakukan secepat-cepatnya.

"Secepat-cepatnya dalam waktu sesingkat-singkatnya," ucap Jokowi.

Pada kesempatan itu, Jokowi juga menegaskan komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan bahwa kebebasan berpendapat masyarakat harus dijaga dan dipertahankan.

"Saya ingin menegaskan kembali komitmen saya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia. Bahwa kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan," ujar Jokowi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.