Sukses

HEADLINE: Nasib RUU Kontroversial di Tangan DPR Baru, Lanjut atau Setop?

Ketua DPR Puan Maharani memastikan bahwa DPR adalah lembaga representasi rakyat dan tetap menjadi rumah rakyat.

Liputan6.com, Jakarta - "Karma Nevad Ni Adikaraste Ma Phaleshu Kada Chana, lakukan kewajiban kita tanpa memikirkan untung ruginya,".

Kutipan Kitab Bhagavad Gita berisi nasihat Kreshna pada Arjuna di medan perang Kurusetra itu diucapkan Puan Maharani dalam pidato pertamanya sebagai Ketua DPR.

Selasa, 1 Oktober 2019, berbalut kebaya merah menyala, Puan Maharani tersenyum semringah saat mengangkat palu sidang tanda pengukuhan dirinya sebagai Ketua DPR.

Sebelum pengukuhan, Puan dan keempat wakilnya, Sufmi Dasco, Rahmat Gobel, Muhaimin Iskandar, dan Aziz Syamsuddin diambil sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) M Hatta Ali.

Setelah diambil sumpah, dalam pidato pertamanya, Puan memastikan bahwa DPR adalah lembaga representasi rakyat dan tetap menjadi rumah rakyat. Politikus PDIP itu juga memastikan DPR akan selalu terbuka terhadap aspirasi dan masukan dari masyarakat.

Puan Maharani dan keempat wakilnya diharapkan dapat memegang janjinya. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati minta DPR yang baru dapat memenuhi harapan rakyat, termasuk mahasiswa yang terus menuntut agar anggota dewan mengkaji kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RUU KUHP.

"Kuncinya, mendengarkan rakyat," ujar Asfinawati kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Namun, dalam konteks RUU KUHP, kata Asfinawati, perlu adanya pembaruan pasal-pasal yang mengkriminalisasi kebebasan berpendapat, beragama, dan berkeyakinan.

"Karena itu penting pembaruan KUHP tapi bukan menambah melainkan mengurangi kriminalisasi-kriminalisasi semacam itu," kata dia.

Selain RUU KUHP, Asfinawati menyebut, RUU prioritas yang harus mendapat perhatian khusus DPR adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. Namun, RUU Pekerja Rumah Tangga dan Masyarakat Adat tak masuk dalam prolegnas DPR.

Di samping RUU kontroversial itu, Pimpinan DPR yang baru juga harus menggiring anggotanya untuk penguatan pemberantasan korupsi. "Ini ujian paling menentukan," kata dia.

Sebab, aksi besar yang terjadi dalam beberapa hari ini membawa suara tentang revisi UU KPK.

"Jadi kalau presiden mengeluarkan Perppu dan DPR tidak setuju maka rakyat makin jelas siapa aktor pelemahan KPK, siapa yang melemahkan pemberantasan korupsi," Asfinawati menandaskan.

Jadi, kata Asfinawati, perubahan ke depan ditentukan bagaimana dinamika anggota DPR dan partai politik.

Infografis Wajah Pimpinan DPR dan DPD 2019-2024. (Liputan6.com/Triyasni)

 

Sementara, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pekerjaan utama anggota dewan yang baru adalah mengembalikan kepercayaan publik. 

"Mengembalikan kepercayaan publik tentu tak bisa dilakukan sekejap. Yang jelas parlemen sejak awal mesti tahu bahwa langkah mereka selalu diawasi. Dan oleh karenanya, pascapelantikan, DPR mestinya sudah langsung mulai memperlihatkan geliat untuk langsung bekerja," kata Koordinator Formappi Lucius Karus kepada Liputan6.com, Rabu (2/10/2019).

Dia menuturkan, mengembalikan kepercayaan publik mesti ditunjukkan dalam kualitas kerja, khususnya dalam menyikapi beberapa isu krusial dalam legislasi yang sudah disahkan DPR maupun yang akan disahkan DPR.

"Sikap tegas pertama harus dibuktikan DPR atas komitmen pemberantasan korupsi dengan menyerap aspirasi publik dalam menghadapi proses lanjutan atas pengesahan UU KPK yang kontroversial. Bagaimana sikap parlemen baru atas UU KPK ini," tegas Lucius.

Dia menilai, jika DPR mengabaikan aspirasi publik, sama halnya dengan memupuk benih ketidakpercayaan publik yang bakal semakin besar.

Selain itu, DPR juga harus fokus pada RUU kontroversial yang diwariskan oleh anggota dewan periode sebelumnya. Uji publik yang tak maksimal yang dilakukan sebelumnya harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh DPR baru.

"Kepercayaan publik akan pulih jika pada isu-isu krusial terkait RUU kontroversial, DPR baru mampu melibatkan partisipasi luas masyarakat dan menjadikan masukan publik sebagai pertimbangan utama penyusunan legislasi. Rakyat jangan hanya ditipu oleh basa-basi seremoni sosialisasi seperti selama ini," ujar Lucius.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Jadi Harapan Baru

Direktur eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas menilai pimpinan baru DPR harus lebih terbuka pada masyarakat dalam memproduksi undang-undang. Misalnya, dengan melibatkan ahli dari berbagai universitas, lembaga penelitan dan LSM yang relevan dalam membahas rancangan undang-undang. Apalagi produk RUU yang ditinggalkan anggota dewan sebelumnya menimbulkan kontroversi seperti RUU KUHP. 

"Buka dialog publik lebih luas. DPR akan sangat baik jika bisa memfasilitasi mereka untuk turut menjelaskan ke publik mengenai urgensi dan substansi RUU tersebut," ujar Sirojudin kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Menurut dia, kontroversi terjadi karena perumus RUU di DPR kurang cukup mendengar pemikiran ahli dari spektrum wawasan dan pengalaman yang luas. Nyaris tidak ada ruang bagi kritik atau perbedaan pandangan terhadap alasan dan substansi perubahannya.

Sementara terkait UU KPK yang kadung disahkan, kata Sirojudin, semestinya menjadi pembelajaran DPR dan pemerintah dalam menyusun UU. Perppu KPK, kata Sirojudin, hanya salah satu cara mengatasi kelemahan dan masalah di dalam UU yang baru.

"Tapi intinya, DPR dan pemerintah harus mau membuka pikiran dan hati kepada keberatan dan masukan publik. Memang UU KPK tidak sempurna. Demikian juga orang-orang di KPK buka malaikat semua. Oleh sebab itu, perbaikan terhadap UU KPK dan cara kerja KPK adalah kebutuhan. Tetapi sejauhmana dan kemana perubahan itu diarahkan perlu dipikirkan secara matang. Demikian juga prosesnya," kata dia.

Protes mahasiswa, kata Sirojudin, terjadi sebagai wujud ketidakpercayaan terhadap DPR dan niat di balik revisi UU KPK tersebut.

Meski begitu, anggota dewan yang baru masih mungkin memperbaiki citra. Inilah, kata dia, yang harus jadi perhatian utama pimpinan baru DPR dan pimpinan fraksi-fraksi. Hal ini dapat dimulai dari wujud tanggungjawab jabatan mereka yang bisa dilihat publik. Misalnya kehadiran dalam rapat-rapat, keterbukaan ke publik, dan produktivitas fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran.

Sirojudin menilai, masyarakat masih bisa mengharapkan perubahan dari anggota dewan baru, yang tentu saja sangat tergantung dari pimpinan DPR. Seberapa efektif mereka menciptakan kultur kerja lembaga tinggi negara. 

"Ini kesempatan emas buat Ibu Puan. Jika ia berhasil melakukan itu, maka nama dia akan bersinar sebagai pemimpin nasional baru. Nama dia mungkin diperhitungkan di 2024," tandas Sirojudin.

Peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai yang mendesak saat ini adalah pembahasan RUU KUHP, sebab pemerintah dan DPR memang perlu mengganti UU KUHP lama. Namun, kata dia, pemerintah dan DPR harus mengakomodasi kepentingan publik terhadap pasal-pasal kontroversial.

"Atensi publiknya sangat tinggi merespons isu (RUU KUHP), atensi publik agar pemerintah mengevaluasi pasal-pasal itu tinggi. Yang kedua tidak hanya atensi, protes publik juga tinggi. Demo-demo yang terjadi belakangan ini itu kan terjadi karena dua sebab ya, pertama penolakan terhadap RUU KUHP dan penolakan terhadap revisi UU KPK," ujar Arya kepada Liputan6.com di Jakarta.

Maka jika DPR dan pemerintah memenuhi tuntutan publik terkait RUU kontroversial, maka akan memperbaiki citra DPR. Untuk itu, kata Arya, jika DPR ingin berbenah maka harus memperbaiki kelembagaannya. 

3 dari 3 halaman

Komitmen Pimpinan DPR

Ketua DPR Puan Maharani berjanji akan mengevaluasi UU yang masih diributkan masyarakat seperti RUU KUHP dan RUU bermasalah lainnya.

"Penundaan undang-undang yang kontroversi kemarin tentu saja akan kita evaluasi kembali," kata Puan di Gedung Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).

Puan mengaku akan mendengar banyak masukan dari masyarakat dan ahli terkait penundaan dan penolakan masyarakat itu. "Kemudian mendapatkan banyak masukan dari masyarakat tentu saja ahli-ahlinya dan tokoh-tokoh, yang pasti penundaan ini akan kita cek dulu sampai berapa lama waktu yang kita tunda," katanya.

Mantan Menko PMK itu berjanji tidak akan memaksakan untuk mengesahkan atau menyelesaikan pembahasan UU yang masih bermasalah.

"Tentu kami tidak memaksakan untuk kami selesaikan kalau memang hal itu masih kontroversi," pungkasnya.

Selain itu, Puan juga akan melanjutkan pembahasan RUU yang tertunda di periode sebelumnya sebagai prioritas. Dia menyebut, ada delapan RUU yang akan menjadi prioritas.

Kendati demikian, Ketua DPP PDIP itu tidak menyebut RUU apa saja yang dimaksud. Namun, menurut catatan DPR periode sebelumnya, delapan RUU tersebut adalah RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Perkoperasian, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

"Sudah ada 8 undang-undang yang kemarin dalam periode lalu yang kemudian akan ditunda. Tentu saja itu akan jadi prioritas Prolegnas ke depan," ujar Puan.

Puan berkata, akan melihat dahulu mekanisme dan tata tertib untuk meneruskan pembahasan RUU yang tertunda. Dia akan melihat bagaimana pelaksanaan pembahasan RUU yang sempat tertunda pada periode sebelumnya.

"Saya akan melihat dahulu bagaimana hasil dari kemarin pelaksanaan UU yang kemudian ditunda itu apakah akan kita bahas dalam tata tertib yang seperti apa," ucap Puan Maharani.

Puan juga berjanji, bersama empat pimpinan lainnya yang baru dilantik akan memilah mana RUU yang menjadi prioritas.

Dia menuturkan, DPR ke depan tidak perlu memuat banyak produk RUU. Tetapi hanya akan fokus beberapa saja yang dianggap penting.

"Harapan saya, DPR ke depan itu tidak perlu memuat satu produk UU terlalu banyak. Namun kita pilih yang jadi prioritas dan itu akan jadi fokus bagi DPR ke depan yang berguna untuk bangsa dan negara," ucap Puan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.