Sukses

IJTI Tolak RUU KUHP yang Mengancam Kebebasan Pers

Pasal di RUU KUHP yang mengancam kebebasan pers antara lain Pasal 219 tentang Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dan Pasal 241 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menolak rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) bila disahkan DPR pada akhir September 2019.

"Jika RUU KUHP ini disahkan menjadi Undang Undang, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang tengah tumbuh dan berkembang di tanah air," ujar Ketua Umum Pengurus Pusat IJTI Yadi Hendriana, Senin (23/9/2019).

Yadi mengatakan, pasal-pasal dalam RUU KUHP akan berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan melindungi kerja-kerja jurnalis. Yadi menduga, jika revisi tersebut disahkan dan menjadi undang-undang, maka tak menutup kemungkinan pers akan dibungkam seperti saat orde baru.

"Tanpa kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi maka demokrasi yang telah diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, akan berjalan mundur," kata dia.

Adapun pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers menurut Yadi adalah Pasal 219 tentang Penghinaan Terhadap Presiden atau Wakil Presiden, kemudian Pasal 241 tentang Penghinaan Terhadap Pemerintah.

Ketiga, yakni Pasal 247 tentang Hasutan Melawan Penguasa, keempat Pasal 262 tentang Penyiaran Berita Bohong, kelima Pasal 263 tentang Berita Tidak Pasti, keenam Pasal 281 tentang Penghinaan Terhadap Pengadilan.

Ketujuh, yakni Pasal 305 tentang Penghinaan Terhadap Agama, kedelapan Pasal 354 tentang Penghinaan Terhasap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara, sembilan Pasal 440 tentang Pencemaran Nama Baik, terakhir yakni Pasal 444 tentang Pencemaran Orang Mati.

Presiden Joko Widodo sendiri sudah meminta agar pengesahan RUU KUHP ini ditunda, namun, jika DPR tetap bersikeras mengesahkan RUU KUHP ini, maka akan tetap berlaku meskipun presiden sebagai kepala negara tidak menandatanganinya.

"Situasi ini menunjukkan adanya darurat kebebasan pers. RUU KUHP ini bisa akan dijadikan alat untuk membungkam pers yang kritis," kata Yadi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jokowi Minta Pengesahan Ditunda

Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta agar pengesahan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditunda. Jokowi pun meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikannya ke DPR.

"Saya telah perintahkan Menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI, yaitu agar pengesahan RKUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019).

Jokowi pun berharap agar DPR memiliki sikap yang sama. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan agar Menkumham menjaring masukan dari kalangan masyarakat sebagai bahan penyempurnaan KUHP.

"Saya juga memerintahkan Menkumham untuk menjaring masukan dari kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan rancangan RKUHP," tandas Jokowi.

Para anggota DPR sepakat untuk menunda pengesahan RUU KUHP. Hal ini disampaikan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet saat menghadiri acara di Hotel Sultan dengan tema Merawat Golkar Sebagai Rumah Besar Kebangsaan (Indonesia).

Kendati demikian, Bamsoet menegaskan kalau pengesahan itu bukan dibatalkan melainkan ditunda.

"Jadi bukan dibatalkan tapi untuk menunda, pemerintah sudah menyampaikan melalui presiden meminta kepada DPR agar pengesahan RUU KUHP di tunda atau di-hold sementara karena ada beberapa pasal yang masih pro dan kontra," katanya di lokasi, Jumat (20/9/2019).

Atas hal ini, Bamsoet meminta seluruh pimpinan fraksi untuk sepakat mengkaji kembali apa yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.