Sukses

Tatib DPD RI Alami Perubahan, Salah Satunya soal Uang Perjalanan Dinas

Masuknya sejumlah pasal dari kode etik dalam Tatib baru tersebut adalah keputusan Pleno Badan Kehormatan, para anggota BK sepakat agar penyusunan tatib didasari juga oleh kode etik DPD.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah poin tata tertib (tatib) DPD RI mengalami perubahan. Dan perubahan itu diklaim untuk mengakomodir senator yang berasal dari provinsi baru hasil pemekaran juga untuk menyempurnakan dari aturan terdahulu yang mengacu kepada Undang-Undang No 2 tahun 2018 hasil revisi Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR DPR DPD dan DPRD (UU MD3).

Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD, Mervin S Komber pun mengamini soal perubahan tatib.

Menurut senator asal Papua itu, masuknya sejumlah pasal dari kode etik dalam Tatib baru tersebut adalah keputusan Pleno Badan Kehormatan, para anggota BK sepakat agar penyusunan tatib didasari juga oleh kode etik DPD.

"Dasarnya itu kode etik DPD. Wajar saja dan tidak berlebihan. Hal itupun telah disepakati seluruhnya," ucap Mervin kepada wartawan di Jakarta, Minggu (22/9/2019).

Dia menegaskan, perubahan tatib ini sebenarnya untuk menyempurnakan tatib sebelumnya agar para anggota DPD kedepan bekerja maksimal sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya.

"Intinya tatib baru ini untuk penegakkan citra dan martabat lembaga. DPD harus menjadi contoh bagi rakyat, karena DPD diisi oleh para tokoh-tokoh daerah yang berkualitas," ujar dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berikut 10 Poin Perubahan Tatib

Bunyi poin pertama pada tatib sebelumnya yakni, 'Provinsi Kalimantan Utara (provinsi baru hasil pemekaran) hanya disebutkan di awal, sehingga tidak bisa ikut dalam pembagian alat kelengkapan di DPD'.

Kemudian dirubah menjadi 'Provinsi Kalimantan Utara secara teknis diatur pada semua alat kelengkapan dan secara otomatis kedudukannya dalam dalam alat kelengkapan sama dengan provinsi lain'.

Kedua, 'Pengambilan perjalanan dinas tidak bisa dilakukan sebelum terbentuknya alat kelengkapan PURT'. Perubahannya yaitu, 'Anggota DPD bisa langsung mengambil perjalanan dinas'.

Kemudian poin ketiga, pada periode ini 'Anggota DPD tidak punya kewenangan menentukan anggaran DPD karena Ketua PURT adalah pimpinan DPD (Ex Officio)' dan di periode nanti menjadi 'Anggota DPD mempunyai kewenangan mengatur anggaran DPD karena anggota yang berhak menjadi pimpinan PURT'.

Poin keempat, yaitu 'Anggota DPD pada alat kelengkapan tidak bisa melakukan kunjungan keluar negeri' dan perubahannya 'Semua anggota DPD di alat kelengkapan manapun dapat melaksanakan kunjungan kerja ke luar negeri'.

Poin kelima adalah 'Untuk DPD yang melaksanakan perjalanan dinas ke provinsi bukan dapilnya hanya mendapatkan uang perjalanan dinas dan tidak mendapatkan uang kegiatan', lalu dirubah menjadi 'Anggota DPD yang melaksanakan perjalanan dinas di luar dapilnya, mendapat uang perjalanan dinas dan uang kegiatan'.

Poin ke enam, 'Untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua, dan Papua Barat tidak diakomodir pengawasan Perdais, Qanun, Perdasi dan Perdasus (PULD)' menjadi 'Untuk Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat telah diatur agar dapat mengevaluasi rancangan Perdais, Qanun, Perdasi, dan Perdasus'.

Poin ketujuh 'dan Pembagian alat kelengkapan menjadi tidak berimbang karena tidak ada aturan yang tegas (hal ini menimbulkan kecemburuan anggota DPD dalam satu provinsi', kemudian dipersingkat menjadi 'Anggota DPD dibagi merata di semua alat kelengkapan'.

Poin kedelapan yang sangat penting dan termaktub 'Pimpinan DPD dapat tidak melaporkan kinerja setiap tahun' dan dirubah 'Pimpinan DPD wajib melaporkan laporan kinerja setiap tahun dalam sidang paripurna'.

Poin ke sembilan sebelumnya berbunyi 'DPD berpotensi dipimpin oleh tersangka seorang pelanggar kode etik, orang yang malas mengikuti kegiatan DPD' dan dirubah bunyinya menjadi 'DPD akan dipimpin oleh pimpinan yang negarawan, tidak cacat etika dan bukan merupakan tersangka'.

Untuk poin terakhir yaitu, 'Anggota lembaga pengkajian MPR bisa bukan berasal dari DPD' dan perubahannya adalah 'Anggota lembaga pengkajian MPR wajib berasal dari DPD'.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.