Sukses

HEADLINE: Imam Nahrawi Terjerat Korupsi, Siapa Masuk Radar KPK Selanjutnya?

KPK menetapkan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka baru kasus dugaan suap dana hibah KONI pada Rabu 18 September 2019.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan diri masih bertuah. Di tengah sorotan dan polemik penetapan undang-undang dan pimpinan yang baru KPK, Agus Rahardjo Cs membuat kejutan dengan menetapkan satu tersangka baru kasus suap dana hibah KONI.

Lembaga antirasuah itu menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus dana hibah KONI. Imam diduga menerima uang suap miliaran rupiah.

"IMR, Menteri Pemuda dan Olahraga dan NIU, sebagai tersangka," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Rabu 18 September 2019.

Alex menyebut Imam total menerima uang Rp 26,5 miliar. Uang itu diterima terkait pengurusan proposal dana hibah dari pemerintah kepada KONI, kemudian terkait jabatan Imam sebagai Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam selaku Menpora.

"Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak lain yang terkait," kata Alex.

Isyarat penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka mulai tercium sejak KPK menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum pada Rabu 11 September 2019. Sepekan kemudian, KPK pun mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka.

Menpora menjadi tersangka ketujuh kasus dana hibah KONI. Sebelumnya KPK menetapkan lima tersangka, yakni Deputi IV Kemenpora Mulyana, Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Jhony E Awuy dan terakhir adalah asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum.

Lantas, siapa tersangka berikutnya?

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, pihaknya belum bisa memastikan apakan akan ada tersangka baru nantinya. Untuk saat ini KPK masih fokus pada penanganan dua tersangka yang baru, yakni Ulum dan Imam.

"Penanganan kasus ini kan baru kami kembangkan ke pelaku yang baru. Tentu kami fokus dulu pada dua tersangka ini," ujar Febri kepada Liputan6.com, Kamis (19/9/2019).

Hanya, Febri memastikan KPK akan melihat apakah ada pihak lain yang terkait dalam perkara ini nantinya.

Febri menegaskan, penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka baru tidak ada kaitannya dengan situasi terkini KPK. Penyidikan kasus Imam, telah dilakukan sejak 28 Agustus 2019 setelah sebelumnya dilakukan penyelidikan karena KPK menemukan fakta-fakta baru.

"Jadi, sebenarnya yang bersangkutan sudah TSK (tersangka) sebelum RUU KPK direvisi. Tentu masih menggunakan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK," jelasnya.

Febri menyatakan, penetapan tersangka Imam dilakukan melalui proses standar dalam hukum pidana yang berlaku.

"Berikutnya tentu kami akan lakukan pemeriksaan TSK, saksi-saksi lain atau tindakan penyidikan lainnya," jelas dia.

Pihaknya yakin kasus ini akan terus dilanjutkan meski KPK berganti undang-undang dan pimpinan yang baru. "Mestinya tetap berjalan karena penetapan TSK sudah dilakukan sejak sebelum revisi UU KPK," ungkapnya. 

Wakil Ketua KPK Laode Syarif menyanggah jika pihaknya belum mengirim surat pemberitahuan tersangka kepada Imam Nahrawi.

"Saya pikir itu salah karena kita sudah kirimkan. Kan kalau kita menetapkan status TSK seseorang itu ada kewajiban untuk menyampaikan surat kepada beliau dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu lalu," ungkapnya.

Dia menegaskan tidak ada motif politik dalam kasus ini. Sebab, jika memang pertimbangan tersangka adalah motif politik pasti sudah diumumkan sejak ramai-ramai perbincangan revisi UU KPK.

"Kita kan memadukan pencegahan dan penindakan. Sekarang ada penindakan di Kemenpora maka tim pencegahan segera turun, termasuk menyelamatkan aset-aset yang pernah ada," ujarnya.

Infografis Imam Nahrawi Terjerat Skandal Suap. (Liputan6.com/Triyasni)

Imam Nahrawi sendiri memastikan akan patuh kepada proses hukum yang menjeratnya. Dia meminta kepada semua pihak menjunjung tinggi asas hukum praduga tak bersalah. Dia berharap, proses penetapan tersangkanya ini bukan bersifat politik dan di luar hukum.

"Karena saya akan hadapi, kebenaran harus dibuka seluas-luasnya. Saya akan hadapi proses hukum," kata Imam Nahrawi pada Rabu malam, 18 September 2019.

Tak hanya itu, selang hitungan jam, politikus dari PKB itu pun menyatakan lengser dari jabatannya sebagai Menpora. Surat pengunduran diri sebagai Menpora diserahkan langsung ke Presiden Jokowi, Kamis pagi di Istana.

"Tadi sudah disampaikan kepada saya surat pengunduran diri Pak Imam," ujar Jokowi di Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Siangnya, Imam melakukan pertemuan di aula Wisma Kemenpora dengan pejabat Kemenpora. Dalam sambutannya, Imam meminta maaf kepada Presiden Jokowi, Ketua Umum PKB dan Ketua Umum PBNU terkait kasus yang menjeratnya.

"Saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya," ucapnya.

Imam mengaku memutuskan mundur agar fokus dalam menghadapi kasusnya.

"Sekaligus saya mohon doa kepada semuanya, keluarga, guru- guru saya, kiai-kiai saya sahabat-sahabat saya di Kementerian. Semoga saya bisa menghadapi proses hukum ini dengan lancar tentu dengan pertolongan Allah," sambungnya.

Dia berharap para pegawai di Kemenpora tetap bekerja dengan baik dan berprestasi seperti yang sudah ditunjukkan di ajang SEA Games 2017 dan Asian Games 2018.

"Jangan pernah berhenti berkarya, berinovasi mencari terobosan sekaligus bekerja secara penuh kepada negeri ini karena olahraga harus terus bangkit. Tunjukkan Indonesia adalah negara besar yang menjadi rujukan dari negara manapun dalam hal prestasi dan olahraga tanah air," ujar Imam Nahrawi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Siapa Menpora Pengganti?

Mundurnya Imam Nahrawi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) usai jadi tersangka, membuat kursi Menpora kosong. Presiden Jokowi belum memastikan apakah kursi Menpora nantinya diisi menteri baru atau hanya pelaksana tugas (plt).

"Akan kita segera pertimbangkan apakah segera diganti dengan yang baru atau memakai Plt (Pelaksana Tugas)," kata Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Jokowi mengaku menghormati apa yang sudah diputuskan KPK. Dia mengingatkan jajaran menterinya agar lebih berhati-hati menggunakan anggaran. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, setiap anggaran negara yang digunakan akan diperiksa BPK.

"Semuanya hati-hati menggunakan anggaran, menggunakan APBN. Karena, semuanya akan diperiksa kepatuhannya kepada perundang-undangan oleh BPK. Kalau ada penyelewengan misalnya itu ya bisa urusannya dengan aparat penegak hukum," kata Jokowi.

Peneliti Pusat Kajian Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyatakan, sudah sepatutnya Menpora mundur dari jabatannya ketika sudah jadi tersangka. Menurutnya, itu adalah masalah etika pejabat publik.

"Kalau soal reshuffle kabinet atau Plt, terserah presiden ya. Reshuffle atau Plt menurut saya tidak prinsip. Prinsipnya adalah mundur atau diganti," jelasnya.

Kasus ini, sambungnya, Zaenur menunjukkan bahwa korupsi di pemerintahan, apalagi di legislatif masih merebak. Kondisi ini juga menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia levelnya masih sangat gawat.

"Tetapi anehnya justru lembaga pemberantas korupsinya yaitu KPK dikebiri kewenangannya, ditundukkan oleh pemerintah. Ini sebuah ironi," jelasnya.

Dia menyatakan, penetapan tersangka Imam Nahrawi masih menggunakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Itu karena revisi undang-undang KPK sampai sekarang belum berlaku karena belum diundangkan dalam lembaran negara. Begitu juga dengan pimpinan KPK yang menangani ini adalah pimpinan KPK yang lama. Belum pimpinan KPK yang baru yang akan dilantik pada Desember mendatang.

"Jadi ini juga menunjukkan bahwa undang-undang yang lama, pimpinan yang lama, sedikit tetap masih lebih baik daripada undang-undang yang baru," jelasnya.

Zaenur menambahkan, agar kasus ini tidak kembali terulang, Jokowi harus mengutamakan faktor integritas dalam memilih menteri di kabinet berikutnya. Caranya adalah dengan penelitian latar belakang, track record dari orang-orang yang akan dinominasikan menjadi menteri.

"Kalau presiden mengabaikan faktor ini yang akan terjadi kemudian adalah kemungkinannya timbul perkara-perkara di kemudian hari," jelasnya.

Selain itu, perlu pengawasan terhadap menteri-menteri dalam menjalankan tugasnya.

"Ini yang selama ini tidak dilakukan. Seharusnya presiden mengawasi menteri-menterinya untuk memastikan dua hal, yakni menjalankan tugasnya sesuai visi-misi presiden, yang kedua adalah mencegah jika terjadinya penyelewengan penyalahgunaan kekuasaan," ungkapnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Unpar Agustinus Pohan menyatakan, Jokowi tidak perlu melakukan reshuffle kabinet untuk menggantikan Imam Nahrawi yang menyatakan mundur. Pekerjaan menteri bisa dirangkap oleh presiden.

"Atau menunjuk sebagai Plt atau apapun ya. Kalau reshuffle gak ada gunanya juga ya, ini kan waktunya tinggal sebentar lagi, pelantikan kan Oktober, sekarang udah September sehingga tinggal satu bulan," jelasnya.

Agustinus menyesalkan kejadian ini. Komitmen tinggi di awal pemerintahan tidak bisa dijaga untuk seterusnya.

"Tapi harus dilihat juga, beliau (Menpora) kan sudah membuat pernyataan bahwa dia tidak melakukan itu. Dan beliau bilang akan membuktikan bahwa beliau tidak melakukan dan akan mengikuti proses hukum," sambungnya.

Ke depannya, agar kasus menteri terjerat korupsi tak lagi terulang, Jokowi tetap perlu meminta bantuan KPK untuk memilih menterinya.

"Tapi terbatas untuk soal ada indikator korupsi atau tidak ya. Tapi tidak perlu ada publikasi. KPK juga tidak boleh mempublikasikan ya. Jadi boleh dimintakan, siapa tahu KPK punya record," jelasnya.

Bukan cuma KPK, semua penegak hukum, termasuk BNPT, BNN juga perlu dimintai pendapat terkait siapa yang layak jadi menteri.

"Siapa tahu ini ternyata dulu pemakai narkoba. Jadi jangan cuma KPK, tapi juga ditanyakan ke BNN, BNPT, bisa juga ditanyakan ke kepolisian, siapa tahu polisi punya record gitu kan. Tetapi sekali lagi jangan dipublikasikan," pungkasnya.

3 dari 3 halaman

Perjalanan Kasus

Kasus suap dana hibah KONI ini terungkap saat tim penindakan menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 18 Desember 2018. Saat itu tim penindakan mengamankan sembilan orang.

Dari sembilan orang tersebut, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Deputi IV Kemenpora Mulyana, Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora Adhi Purnomo, Staf Kemenpora Eko Triyanto, Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, dan Bendahara Umum KONI Jhony E. Awuy.

Nama Imam dan Ulum tertulis dalam catatan penerima suap dana hibah KONI dari Kemenpora. Hal ini terungkap dalam persidangan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan dibenarkan Sekretaris Bidang Perencanaan dan Anggaran KONI, Suradi.

Dalam BAP itu, Suradi menyebut bahwa pada Kamis, 13 Desember 2018, Fuad Hamidy mengarahkan pembuatan alternatif pembiayaan kegiatan pada KONI sebesar Rp17,9 miliar. Saat itu, Fuad Hamidy meminta Suradi menyusun beberapa alternatif kegiatan agar biaya sebesar-besarnya dikeluarkan KONI Rp 8 miliar dari total Rp 17,9 miliar.

Alasannya, Fuad Hamidy punya kebutuhan untuk memberikan uang kepada sejumlah pihak Kemenpora seperti Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana dan beberapa pejabat lain. Imam tercatat mendapat bagian sebanyak Rp 1,5 miliar.

Selain dalam BAP, penyidik juga menemukan bukti lain keterlibatan Imam dalam kasus suap dana hibah KONI. Penyidik menemukan dokumen, proposal dan catatan pembahasan hingga pencairan dana hibah tersebut saat menggeledah ruang kerja Imam pada 20 Desember 2018.

Berselang satu bulan, KPK pun menelisik dugaan keterlibatan Imam dalam pemeriksaan sebagai saksi. Pada 24 Januari 2018 Imam Diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy.

Enam bulan berselang, KPK pun mulai melakukan penyelidikan atas keterlibatan Imam dalam kasus ini. KPK pernah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Imam pada 31 Juli 2019. Namun Imam mangkir.

Tak hanya sekali, Imam mangkir sebanyak tiga kali saat proses penyelidikan, yakni pada 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019 Imam juga mangkir. Hal ini disesali oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

"KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup untuk IMR (Imam) memberikan keterangan dan klarifikasi dalam tahap penyelidikan," kata Alex.

Selain Imam, dalam proses penyidikan juga KPK pernah memanggil Mantan pemain bulu tangkis Nasional Taufik Hidayat pada Kamis, 1 Agustus 2019. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan Taufik diperiksa dalam penyelidikan.

Febri menyebut bahwa pemeriksaan Taufik untuk mendalami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Taufik selama menjadi pejabat di Kemenpora.

"Taufik Hidayat dimintakan keterangan dalam penyelidikan sebagai Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) dan Staf Khusus (Stafsus) di Kemenpora," kata Febri.

Selain Taufik, dalam proses penyelidikan KPK juga pernah memeriksa Sesmenpora Gatot Dewa Broto. Gatot diperiksa pada Jumat, 26 Juli 2019. Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora.

"KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora," kata Gatot.

Alhasil, KPK pun menemukan bahwa Imam Nahrawi menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang tahun 2014 hingga 2018.

Isyarat penetapan tersangka terhadap Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum pada Rabu 11 September 2019. Saat itu, penetapan tersangka terhadap Ulum belum diumumkan KPK.

Satu pekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka.

Imam merupakan menteri Kabinet Kerja jilid I pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi yang dijerat sebagai tersangka. Sebelumnya ada Menteri Sosial Idrus Marham yang dijerat dalam kasus suap PLTU Riau-1.

Idrus divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Idrus terbukti menerima suap Rp 2,250 miliar. Uang tersebut diberikan oleh pengusaha sekaligus salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Dalam kasus ini, Idrus terbukti menerima suap bersama-sama Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Eni merupakan anggota Fraksi Partai Golkar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.