Sukses

Nasdem: Jika Ingin KPK Kokoh, Kekuasaannya Harus Dibatasi

Menurut dia, tidak boleh ada lembaga yang kekuasaannya tidak terbatas demi menghindari penyalahgunaan wewenang.

Liputan6.com, Jakarta - Partai Nasdem menorehkan prestasi gemilang dalam Pileg 2019. Partai besutan Surya Paloh itu sukses mengantarkan milenial ke Senayan.

Terhitung dari total 59 Anggota DPR terpilih, 10 di antaranya berasal dari milenial yang berusia 23-38 tahun atau 17%, bahkan 6 di antaranya adalah perempuan.

Ini menjadi bukti Partai Nasdem berhasil regenerasi kader sehingga tonggak perjuangan Restorasi untuk Indonesia Maju akan terus berlanjut sekaligus menegaskan eksistensi Partai NasDem sebagai partai pilihan anak muda.

Hal itu terungkap dalam dialog Selasa yang digelar Partai Nasdem dengan tema ”Milenial NasDem Goyang Senayan” pada Selasa 17 September 2019.

Pada dialog kali ini, Partai Nasdem pertama kali menghadirkan para Anggota DPR muda NasDem terpilih periode 2019-2024 yang menjadi nara sumber. Di antaranya Eva Stefany Rataba (Dapil Sulawesi Selatan III), Rian Firmansyah (Dapil Jawa Barat II), Yessy Melanie (Dapil Kalimantan Barat II), dan Hillary Brigita Lasut (Dapil Sulawesi Utara).

Selain itu, tentang undang undang baru KPK, Hillary berpendapat KPK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dan daya paksa yang kuat. Sehingga harus tetap dibatasi dengan aturan.

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Jika kita ingin KPK kokoh, kekuasaannya juga harus dibatasi agar tetap ada check and balance,” ujar Hillary, Selasa 17 September 2019.

Lulusan Magister Hukum Washington University ini menjelaskan, tidak boleh ada lembaga yang kekuasaannya tidak terbatas, demi mencegah korupsi dan penyalahgunaan kewenangan di dalam lembaga itu sendiri.

"Ini juga dibuat untuk melindungi KPK yang di dalamnya diisi manusia yang masih bisa khilaf," ucap dia.

Sedangkan Yessy Melania menyoroti pernikahan anak di bawah umur. Dia yang sejak awal concern terhadap perempuan merasa miris dengan fenomena keterhimpitan ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan yang menyebabkan perempuan harus dirampas hak-haknya, seperti hak mengenyam pendidikan dan ruang untuk pengembangan kualitas diri menjadi hilang.

Ada tiga solusi yang ia tawarkan dalam hal ini. Pertama, terus dorong pemerintah maupun pihak-pihak terkait untuk mensosialisasikan revisi UU pernikahan yang terbaru.

"Kedua, mendorong pemerintah untuk terus mengontrol pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun," ucap dia.

Ketiga, mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk menggalakkan sosialisasi bahaya kesehatan reproduksi pada pernikahan di bawah umur yang bisa berdampak pada tumbuh kembang janin dan bahkan risiko kematian ibu melahirkan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Revisi UU Perkawinan

Untuk itu, ia menyambut revisi UU Perkawinan namun itu dirasa terlambat. Masalah ini sudah mengakar di masyarakat dari tahun 1974 dan baru sekali direvisi, yaitu pada tahun ini.

Topik lain yang tak kalah menariknya yaitu mengenai konsep wisata halal yang akan diterapkan di sejumlah tempat wisata. Eva Stevany Rataba menilai, sistem pelaksanaan wisata halal itu sendiri perlu diperjelas kembali.

“Kalau wisata halal itu sama dengan wisata syariah maka tentu akan berpotensi menimbulkan pergesekan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mengapa? Karena tentu nilai-nilai kearifan lokal budaya, tradisi, adat istiadat, dan kehidupan masyarakat akan terganggu,” lanjut Eva.

Ketua Garnita NasDem Toraja Utara ini menegaskan, kalau yang dianggap wisata halal adalah hanya menyiapkan tempat dan makanan yang dikelola saudara-saudara Muslim, maka tidak perlu mencanangkan wisata halal pada suatu wilayah tertentu, semisal wilayah dengan masyarakat mayoritas non-muslim.

Sedangkan mengenai bonus demografi yang terjadi di Indonesia pada 2030-2040, Rian Firmansyah menilai bonus demografi jangan kemudian menjadi beban karena tidak seimbangnya supply dan demand antara angkatan kerja dan kesempatan kerja.

"Pemerintah harus semakin mendorong aktivitas kegiatan yang dapat memperluas kesempatan kerja, memberikan insentif bagi lahirnya industri-industri kreatif dan dalam tataran internasional dapat semakin meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain untuk dapat menerima tenaga kerja kita," ujar dia.

Ketua KONI Kabupaten Bandung Barat ini menambahkan, dampak era Revolusi Industri 4.0 yang menyebabkan kelompok produktif dengan low skill workers atau yang bekerja dengan pola refetitif akan mudah sekali tergantikan oleh teknologi komputer dan kecerdasan buatan.

“Pemerintah harus ada langkah dan upaya yang melibatkan semua komponen pada peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan relevansi kuantitas dan kualitas SDM berpendidikan tinggi serta peningkatan kemampuan iptek dan inovasi,” jelas Rian.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.