Sukses

Dukung Revisi UU KPK, Saut Situmorang Beri Syarat DPR

Banyak pihak menolak revisi UU KPK karena dinilai sebagai upaya melemahkan KPK. Tapi tidak dengan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah pihak menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Revisi yang dilakukan DPR itu dinilai sebagai upaya melemahkan KPK.

Kendati, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang justru mendukung revisi tersebut. Namun dia meminta, revisi tersebut harus memperkuat KPK secara kelembagaan, misalnya dengan menambah jumlah deputi.

"Banyak yang mendukung revisi. Saya juga termasuk, revisi yang memperkuat KPK. Seperti contoh sederhana, tambahin deputinya satu lagi. Saya pengin Deputi Penindakan ditambah lagi unit-unitnya," katanya di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (8/9/2019).

Menurut Saut, lembaga lain memiliki deputi hingga sembilan. Sementara deputi di KPK tak sampai angka tersebut, sehingga harus ditambah agar kinerjanya lebih optimal. Selain itu jumlah personel di KPK kurang dari 2 ribu orang.

"Kita berharap kepada rakyat karena KPK tidak bisa berdiri sendiri. Kami hanya kurang dari 2 ribu orang. Kalau rakyatnya minta seperti itu ya pejuang KPK tidak akan pernah berhenti. Karena kami digaji sesuai UU KPK. Kami digaji dengan kode etik KPK. Kita akan terus berjuang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di KPK," jelasnya.

Saut merespons pendapat yang mengatakan UU KPK sudah terlalu lama sehingga perlu direvisi. Dia mengatakan, UU yang ada saat ini membuat KPK bisa melakukan penangkapan lima hingga 10 orang per hari. Ada sekitar 6 ribu surat pengaduan di KPK dan 30 persennya berpotensi terjadi korupsi.

"Jadi yang kita lakukan OTT kurang dari 200 itu, orang bilang KPK OTT terus. OTT itu kurang dari setengah dari penindakan kita. Dari seribu lebih yang sudah kita penjarakan, kurang 200 yang OTT. Jadi lebih banyak di pencegahan. Jadi Deputi Pencegahannya kita bagi lagi khusus Deputi LHKPN dan sebagainya. Pokoknya yang memperkuat harus kita terima tapi bukan untuk memperlemah," jelasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kenapa Revisi UU KPK di Akhir Periode?

Dia juga enggan berspekulasi terkait isu revisi UU KPK sebagai serangan balik para koruptor terhadap lembaga antirasuah tersebut. Meski begitu, dia mengatakan sesuatu di balik usulan revisi ini dapat dipahami.

"Soal apa background di belakang itu, keinginannya apa, siapa yang bermain, kenapa dia bermain, kenapa di putaran terakhir bermain, itu semuanya sudah bisa dipahami," kata dia.

Namun demikian dia tak ingin berspekulasi lebih jauh. Terpenting saat ini adalah bagaimana memperkuat KPK, bukan sebaliknya.

"Oleh sebab itu saya katakan KPK tidak berspekulasi pada informasi dan analisis-analisis yang tidak jelas. Kita kembali saja ke poin-poin apa sebenarnya yang bisa (membuat) KPK menjadi tidak prudence, KPK menjadi tidak perform, KPK menjadi lebih lemah, KPK menjadi lebih sulit untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, terlebih dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi," jelasnya.

Dia mengakui, masih banyak hal yang harus diperbaiki di dalam KPK. Menurutnya, perbaikan bisa dilakukan dengan menambah sumber daya dan anggaran untuk KPK. Dengan sumber daya yang memadai, maka seluruh surat pengaduan yang masuk bisa ditindaklanjuti.

"Kamu bisa bayangkan gimana perasaan hati orang yang kirim surat itu kalau kami enggak tanggapi. Betul berapa surat itu faktanya sangat sumir itu yang harus kami dalami," ujarnya.

Dia menambahkan, koordinator wilayah dipegang oleh lima orang dan harus mengkoordinir semua wilayah di Indonesia. Hal ini menurutnya tak ideal.

"Jadi kalaupun KPK harus diperbaiki, betul. Supaya dia prudence, supaya lebih perform, supaya rakyat lebih jera, supaya lebih banyak membawa orang ke depan pengadilan kalau dia emang terbukti," ujarnya.

"Jadi upaya upaya untuk perbaikan itu dengan UU yang ada sekarang, kasih resource yang lebih besar. Kami hanya dapat kurang dari Rp 1 triliun per tahun, mengawasi uang Rp 2.600 triliun. Itu doesn't make sense. Oleh karena itu sekali lagi kasih resource yang betul supaya kemudian ada perubahan signifikan di tengah-tengah masyarakat. Karena menunda itu adalah cara mencegah yang paling baik sebenarnya," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.