Sukses

KPK Periksa Anak Setya Novanto Terkait Kasus E-KTP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa putri terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto, Dwina Michaella.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi KPK akan memeriksa putri terpidana kasus korupsi e-KTP Setya Novanto, Dwina Michaella.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, Dwina akan dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka Paulus Tanos (PLS).

"Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi tersangka PLS," tutur Febri di Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Dwina tiba di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, sekitar pukul 10.00 WIB. Dia ditemani seorang wanita dan penjaga.

Tanos sendiri merupakan satu dari empat tersangka baru dalam kasus korupsi E-KTP.

Mereka adalah mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura, Miryam S Haryani; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP, Husni Fahmi; dan Dirut PT Shandipala Arthaputra, Paulus Tanos.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut keempatnya memiliki peran masing-masing dalam kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Menurut Saut, peran Miryam yakni meminta USD 100 ribu kepada mantan pejabat Kemendagri Irman yang sudah divonis 15 tahun penjara atas kasus korupsi e-KTP.

"Setelah RDP (rapat dengar pendapat) antara Komisi II DPR RI dan Kemendagri dilakukan, MSH (Miryam) meminta USD 100 ribu kepada Irman untuk membiayai kunjungan kerja Komisi II ke beberapa daerah," ujar Saut dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Saut mengatakan, Irman menyanggupi permintaan Miryam dan menyerahkan uang tersebut di SPBU Pancoran. Uang itu diterima orang kepercayaan Miryam. Uang diduga berasal dari bancakan proyek e-KTP.

Tak hanya itu, menurut Saut, sepanjang tahun 2011-2012, Miryam diduga menerima uang beberapa kali dari Irman dan Sugiharto. Sugiharto merupakan anak buah Irman di Kemendagri dan sudah dijerat 15 tahun penjara dalam kasus ini.

"Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, Miryam diduga diperkaya USD 1,2 juta terkait proyek e-KTP ini," kata Saut.

Sementara Dirut PNRI Isnu Edhi Wijaya (ISE) sempat menemui Irman dan Sugiharto ketika tahu akan adanya lelang proyek e-KTP. Isnu Edhi menemui Irman dan Sugiharto ditemani oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi divonis 13 tahun penjara dalam kasus ini.

"Setelah ada kepastian dibentuknya beberapa konsorsium, tersangka ISE (Isnu) dan Andi menemui Irman dan Sugiharto agar salah satu dari konsorsium dapat memenangkan proyek e-KTP," kata Saut.

Atas permintaan Isnu dan Andi, Irman menyetujui dan meminta komitmen pemberian uang kepada anggota DPR RI. Kemudian Isnu bersama dengan Paulus Tanos dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk Konsorsium PNRI.

Menurut Saut, pemimpin Konsorsium disepakati berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PNRI, agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai Konsorsium yang akan memenangkan lelang proyek e-KTP.

Pada pertemuan selanjutnya, Anang Sugiana Sudihardjo selaku Dirut PT Quadra Solution bersedia untuk bergabung di Konsorsium PNRI. Kemudian Ansi, Paulus Tanos, dan Isnu Edhi menyampaikan apabila ingin bergabung dengan Konsorsium PNRI maka ada komitmen fee untuk pihak di DPR RI, Kemendagri, dan pihak lain.

"Tersangka ISE (Isnu) bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp 5,8 triliun," kata Saut.

Sementara peran Husni Fahmi yakni diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Padahal Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.

"Pada Mei atau Juni 2010, HSF (Husni) ikut dalam pertemuan di Hotel Sultan bersama Irman, Sugiharto, Andi Agustinus. Dalam pertemuan tersebut diduga terjadi pembahasan tentang proyek e-KTP yang anggaran dan tempatnya akan disediakan oleh Andi Agustinus," kata Saut.

Saut mengatakan, dalam pertemuan tersebut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, Rencana Anggaran Biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark up. Setelah itu, Husni sering melapor kepada Sugiharto.

Husni juga diberi tugas berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek e-KTP dan pernah diminta oleh Irman mengawal konsorsium PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. Husni ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya dipastikan lulus.

"Tersangka HFS diduga tetap meluluskan tiga konsorsium, meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS)," kata Saut.

Dalam fakta persidangan dengan terdakwa Setya Novanto, Husni diduga diperkara USD 20 ribu dan Rp10 juta.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Peran Tanos

Untuk peran Paulus Tanos, menurut Saut, sebelum proyek e-KTP dimulai pada Tahun 2011, Paulus diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor termasuk dan tersangka Husni dan Isnu di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.

Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa output, diantaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

"HPS tersebut kemudian pada tanggal 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemendagri," kata Saut.

Selain itu, Paulus juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan Isnu Edhi untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban fee yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.

"Sebagaimana di fakta persidangan dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp 145,85 miliar terkait proyek e-KTP ini," kata Saut.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.