Sukses

Razia Buku di Makassar dan Ketakutan Bangkitnya Hantu Komunisme

Sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Islam Indonesia diduga merazia buku-buku berbau komunis di salah satu toko buku terbesar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa tersebut viral di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Islam Indonesia diduga merazia buku-buku berbau komunis di salah satu toko buku terbesar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa tersebut viral di media sosial.

Sebuah akun Instagram @tanah.merdeka mem-posting rekaman video tentang peristiwa tersebut. Dalam unggahannya, akun itu menyebut kelompok tersebut tengah menyisir buku tentang Marxisme dan Leninisme.

"Mereka menyisir buku-buku layaknya badan sensor, kemudian membawa beberapa buku yang dituding mengajarkan Marxisme dan Leninisme untuk tidak dijual di Gramedia lagi," tulis akun tersebut, Sabtu 3 Agustus 2019.

Postingan tersebut telah dilihat hingga 30 ribu kali dan mendapat lebih dari 1.000 komentar beragam warganet. Peristiwa tersebut juga viral di Twitter.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Klarifikasi Polisi

Kapolrestabes Makassar Kombes Wahyu Dwi Ariwibowo mengatakan, apa yang dilakukan oleh ormas tersebut bukan suatu bentuk razia. Menurut Wahyu, tindakan itu merupakan sebuah imbuan kepada pengelola toko buku untuk tidak menjual buku-buku berbau Komunisme-Marxisme.

"Kalau razia ndak ada. Itu hanya imbauan, imbauan bukan razia. Belum melakukan razia," ujar Wahyu saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (4/8/2019).

Wahyu juga menyampaikan bahwa kejadian itu baru pertama kali terjadi di wilayahnya. Menurutnya, belum pernah terjadi hal serupa di toko buku lain di Makassar. "Nggak, hanya di situ saja," ucap Wahyu.

 

3 dari 5 halaman

Bertentangan dengan Konstitusi

Anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo menegaskan bahwa aksi penyisiran atau razia buku merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi.

Menurutnya, pelarangan buku haruslah berdasarkan surat perintah dari pengadilan.

"Konsitusi memberikan jaminan melindungi hak intelektual dan hak masyarakat mendapatkan pengetahuan," kata Benny saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Ia mengharapkan supaya aparat kepolisian menindak pihak-pihak yang melakukan razia buku secara semena-mena. Karena, lanjut Benny, hal itu jelas bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila.

Dalam demokrasi Pancasila, kata Romo Benny, terdapat adanya jaminan hak untuk berekspresi dalam bentuk apapun, termasuk dalam wujud tulisan ilmiah.

"Pihak yang tidak setuju hendaknya menggunakan cara demokrasi dengan menggunakan alasan yang ilimiah dan argumentasi yang bisa dipertanggung jawab," jelas Benny.

Romo Benny mengatakan, razia buku mesti berdasarkan keputusan pengadilan dan mengacu pada perundangan-undangan yang berlaku.

Razia juga bukanlah dilakukan oleh warga sipil biasa. Melainkan mesti dilaksanakan oleh aparat keamanan.

"Pelarang buku harus ada mekanisme pengadilan karena masyarakat tidak bisa menggunakan intimidasi tanpa dasar hukumnya," tutup dia.

 

4 dari 5 halaman

Pembiaran Aparat

Setara Institute menentang keras razia buku dan pembiaran aparat negara terhadap tindakan main hakim sendiri atas dasar paranoia pada pemikiran-pemikiran filsafat, politik, dan gerakan kebudayaan. Hal itu diungkapkan Setara menanggapi peristiwa razia buku 'kiri' yang digelar di toko buku dl Makassar, Sabtu, 3 Agustus 2019.

Direktur Eksekutif Setara InstituteIsmail Hasani mengatakan, paranoia terhadap komunisme kembali menyasar kebebasan sipil dan hak atas kebudayaan warga. Dalam catatan Setara, sekurangnya sudah dua minggu berturut-turut razia buku yang dituding berbahaya karena bermuatan komunisme terjadi di masyarakat.

Pertama, dua mahasiswa di Probolinggo pada 29 Juli 2019, ditangkap Polsek Kraksaan karena menggelar lapak buku yang berisi buku biografi tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku tersebut diamankan lalu diambil alih oleh MUI.

Teranyar, aksi razia juga dilakukan oleh sekelompok orang di Makassar pada Sabtu, 3 Agustus 2019, terhadap sejumlah buku yang berisi ilmu pengetahuan tentang paham Marxisme termasuk sejumlah buku ajar.

Menurut Ismail, tindakan aparat kepolisian dan juga kelompok vigilante mencerminkan ketidakpahaman pada muatan buku dan konsep komunisme serta Marxisme yang menjadi alasan tindakan melawan hukum yang mereka lakukan.

"Tindakan ini jelas bertentangan dengan komitmen penegakan HAM, terutama kebebasan berpikir, hak milik pribadi, dan jaminan hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan," kata Ismail dalam pernyataan pers yang diterima Liputan6.com, Senin (5/8/2019).

Ismail menambahkan, Setara Institute juga menegaskan, razia buku yang dilakukan tersebut merupakan pelanggaran serius atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6/PUU-VIII/2010, No. 13/PUU-VIII/2010, dan No. 20/PUU-VIII/2010, yang pada intinya mencabut keberlakuan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Dalam hal ini, Setara Institute juga mendesak Kapolri membuat kebijakan turunan yang memandu aparat Polri di lapangan agar tidak melakukan tindakan melawan hukum dan melanggar konstitusi. Kapolri juga diminta mengambil tindakan hukum pada kelompok masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri.

"Negara tidak boleh membiarkan kelompok masyarakat melakukan razia dan pemberangusan ilmu pengetahuan. Jika dibiarkan, maka sama saja elemen negara merestui tindakan pelanggaran HAM," kata Ismail.

 

5 dari 5 halaman

Buku Pintu Ilmu

Nahdlatul Ulama (NU) melalui Lembaga Ta'lif wa Nasyr/ Lembaga media, penerbitan dan penerjemahan Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan (LTN-NU Sulsel) turut mengecam aksi razia buku 'kiri' yang dilakukan Brigade Muslim Indonesia (BMI) itu.

Buku, menurut LTN-NU Sulsel adalah pintunya ilmu sehingga harusnya dihargai. Salah satu bentuk penghargaan itu dengan membaca, makanya perintah pertama dalam Alquran adalah membaca.

"LTN-NU Sulsel menyayangkan sikap sekelompok orang yang masih senang merazia buku, melarang peredarannya atau meminta toko-toko buku untuk mengembalikan buku tersebut pada penerbitnya," terang Ketua LTN-NU Sulsel, Syamsul Rijal Adhan kepada Liputan6.com, Senin (5/8/2019).

Ia mengatakan jika ada sekelompok orang yang tidak setuju pada gagasan dalam buku yang dimaksud, misalnya karena dianggap berisi ajaran Marxisme, maka seyogyanya dilawan dengan membuat buku juga.

"Tulisan harus dilawan dengan tulisan, bukan dengan merazia. Melakukan tindakan razia, hanya menunjukkan bahwa kita tidak punya gagasan tandingan dan rendah diri," ucap Syamsul.

Dalam peradaban yang maju seperti sekarang ini, menghadang pengaruh satu ideologi yang kita tidak sepakati, tidak bisa dengan cara memberangus buku-buku atau tulisan.

"Tak ada gunanya merazia buku. Orang sudah sangat mudah mengakses berbagai tulisan dari internet. Jalan satu satunya, kita harus membekali diri kita dan umat dengan pengetahuan. Untuk itu kita perlu buku, perlu membaca dan perlu menulis," ungkap Syamsul

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.