Sukses

HEADLINE: Jenderal Polisi Ramai-Ramai Daftar KPK, Dianggap Lebih Menantang?

Hingga Rabu 3 Juli sore, pendaftar capim KPK sudah mencapai 180 orang. Tujuh pendaftar di antaranya berasal dari Polri. Semua berpangkat bintang.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah kaki Anang Iskandar terlihat mantap saat tiba di Sekretariat Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK), Kemensetneg Jalan Veteran Jakarta Pusat, Rabu 3 Juli 2019. Jarum jam kala itu menunjukkan pukul 11.03 WIB.

Senyum mengembang di wajahnya. Datang seorang diri, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu resmi mendaftarkan diri sebagai capim KPK. Tak butuh waktu lama untuk menyerahkan persyaratan di lantai 2 Kemensetneg, kurang dari 30 menit.

"Jadi, saya memenuhi kewajiban saya untuk hadir mendaftar capim KPK," kata Anang di lokasi.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu mengaku mendapat dorongan dari banyak pihak untuk maju sebagai capim KPK.

Kata dia, tak ada strategi khusus yang disiapkan. Semua keputusan tergantung pada Pansel Capim KPK. Namun, pengalaman selama 34 tahun bekerja di Korps Bhayangkara diyakini bisa menjadi bekal agar lolos sebagai komisioner lembaga antikorupsi.

"Saya punya pengalaman menjadi seorang guru, saya juga punya pengalaman penyidik, pengalaman menjadi atasan penyidik korupsi, atasan penyidik TPPU (tindak pidana pencucian uang)," ujar Anang sebelum mendaftar.

Anang memastikan, tidak ada campur tangan dari kepolisian soal pencalonannya. Dia  mengaku maju sebagai masyarakat biasa, karena sudah pensiun sejak tiga tahun lalu. Sama sekali tidak ada surat rekomendasi dari Polri.

Sementara itu, hingga Rabu 3 Juli sore, pendaftar capim KPK sudah mencapai 180 orang. Tujuh pendaftar di antaranya berasal dari Polri.

"Polisi 7 orang. Jaksa atau hakim ada 12 orang. Dan paling banyak dari akademisi dan advokat," kata anggota Pansel Capim KPK, Al Araf saat dikonfirmasi Liputan6.com, Rabu (3/7/2019).

Dari Polri, ada sembilan perwira tinggi (Pati) yang direkomendasikan mendaftar sebagai capim KPK.

Brigjen Muhammad Iswandi Hari, salah satu nama yang disebut masuk dalam rekomendasi pendaftar capim KPK, enggan berkomentar banyak mengenai pendaftaran tersebut.

Dia tak mau menjelaskan apakah sudah mendaftar atau belum mendaftar sebagai capim KPK. Mantan Kepala BNN Provinsi Sumatera Selatan ini memilih tertawa.

Disinggung mengenai alasannya mendaftar sebagai capim KPK, dia pun menjawab singkat.

"Hahaha, wah pertanyaan mendalam nih. Ya untuk memperkuat saja lah. Paling itu saja, demi memperkuat," kata Iswandi saat dihubungi Liputan6.com, Rabu 3 Juli 2019.

Lalu apa persiapannya agar bisa terpilih? "Ya kita mempersiapkan diri lah," ujar Iswandi.

Sementara itu, Kejaksaan Agung sudah menyerahkan surat rekomendasi berisi lima nama jaksa yang diusulkan untuk mengikuti seleksi capim KPK periode 2019-2013.

Surat tertanggal 2 Juli 2019 itu ditujukan kepada ketua panita seleksi capim KPK dan ditandatangani Jaksa Agung HM Prasetyo.

Lima jaksa tersebut adalah Sugeng Purnomo, dengan pangkat jaksa utama madya (IVd) yang menjabat Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus - Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan.

Selanjutnya Johanis Tanak dengan pangkat jaksa utama madya (IVd) yang menjabat Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha.

Ada pula nama M Rum, dengan pangkat jaksa utama madya (IVd) yang menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Kemudian ada Ranu Mihardja, dengan pangkat jaksa utama madya (IVd) yang menjabat kepala pusat diklat manajemen dan kepemimpinan pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI.

Terakhir,  Supardi dengan pangkat jaksa utama muda (IVc) yang menjabat Koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Mukri membenarkan daftar lima nama jaksa yang diusulkan mengikuti seleksi calon pimpinan KPK.

Menurutnya, lima nama itu sudah melalui proses seleksi internal Kejaksaan. Namun, dia tidak menyebutkan persis proses seleksi yang dilakukan.

"Pokoknya sudah mulai diseleksi sudah dilakukan oleh Kejagung. Sudah lama," kata Mukri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Syarat Integritas

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo memastikan bahwa sembilan capim KPK dari Polri, yang direkomendasikan Kapolri, memiliki integritas yang tinggi.

Hal itu, tambah Dedi, berdasarkan penilaian yang dilakukan internal Polri terhadap nama-nama yang akan maju capim KPK tersebut.

"Orang-orang yang nanti terpilih, ada persyaratan fundamental di pansel itu, yakni nilai yang tertinggi apa? Nilai yang tertinggi adalah integritas. Artinya dia sudah lolos asesmen dengan nilai integritas," kata Dedi di Kantor Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Selasa 2 Juli 2019.

Dedi melanjutkan, di internal Polri sendiri, bagi anggota yang menjabat Pati otomatis memiliki asesmen yang mumpuni. Untuk jabatan selevel Eselon 2 A saja, dia menambahkan, mesti mendapatkan nilai asesmen komponen integritas empat dari maksimal enam.

"Kalau di polisi, untuk menduduki jabatan Eselon 2A nilai integritas harus 4. Di bawah 4 maka dia akan terseleksi mana yang terbaik," ucap Dedi.

Dedi juga menyampaikan, asesmen yang dilakukan pihaknya memiliki tingkat akurasi tinggi dibandingkan tes psikologi.

"Asesmen itu ya tingkat akurasinya lebih tinggi dibanding tes psikologi. Kalau psikologi 50-60%, kalau asesmen tingkat akurat 70-75% artinya tingkat keakuratan sudah sangat tinggi kalau asesmen," kata dia.

Maka, menurut Dedi para Pati Polri sudah tidak diragukan lagi integritas untuk menyalonkan diri sebagai capim KPK. "Kalau sudah nilai integritas 4 sudah ekselen, kalau kuliah sudah cum laude," katanya.

Dedi menyampaikan, sembilan nama pejabat tinggi Polri (Pati) yang akan mencalonkan diri sebagai capim KPK sudah melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurutnya tidak mungkin ada petinggi Polri yang tidak menyerahkan LHKPN.

"Seluruh petinggi minimal pernah menyampaikan LHKPN, wajib," kata Dedi di Kantor Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Selasa.

Bagi anggota Polri, LHKPN adalah suatu kewajiban. Hal itu telah diatur dalam peraturan yang terkait. Dia menegaskan, tidak mungkin petinggi Polri yang hendak mencalonkan diri sebagai Capim KPK bisa mendaftar tanpa memiliki LHKPN.

"LHKPN itu kan suatu kewajiban secara personal baik yang diatur melalui peraturan Kapolri maupun kewajiban internal," kata Dedi.

Beberapa nama perwira tinggi yang direkomendasikan ke KPK, di antaranya menduduki jabatan penting di kepolisian. Dalam Surat Kapolri bernomor B/722/VI/KEP/2019/SSDM tertanggal 19 Juni 2019, dari daftar nama itu terdapat nama-nama yang tidak asing di tengah masyarakat.

Para jenderal tersebut adalah Wakabareskrim Irjen Antam Novambar, Irjen Dharma Pongrekun yang saat ini bertugas di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Irjen Coki Manurung yang merupakan Widyaiswara Lemdiklat, Analis Kebijakan Utama bidang Polair Baharkam Irjen Abdul Gofur.

Selain itu, Brigjen Muhammad Iswandi Hari yang bertugas di Kemenakertrans, dosen Sespim Polri Brigjen Bambang Sri Herwanto, Brigjen Agung Makbul di Divisi Hukum Polri, Analis Kebijakan Utama Lemdiklat Brigjen Juansih, serta Wakapolda Kalbar Brigjen Sri Handayani.

Namun demikian, Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan bahwa nama-nama tersebut belum final.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan, tidak masalah anggota Polri aktif bersaing untuk menjadi calom pimpinan KPK.

"Jangankan sembilan nama, 10 atau 15 nama tidak masalah," kata Alex di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 18 Juni 2019. 

Alex menyebut nama tersebut bakal mengalami proses seleksi di panitia seleksi (Pansel) KPK.

"Nanti pansel akan menyeleksi. Itukan mekanisme seperti itu. Siapa tahu Bu BP (Basaria Panjaitan) mencalonkan lagi," ucap Alex.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, proses seleksi pimpinan KPK yang bersih hingga menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan independen, memang akan jadi titik yang rawan tahun ini. Rawan bagi nasib pemberantasan korupsi ke depan jika proses seleksi ini gagal memilih orang yang tepat.

Dia mengatakan, sejak awal KPK berdiri aspek independensi dan integritas merupakan dua hal krusial yang tidak bisa ditawar. Memberantas korupsi di Indonesia semestinya, kata dia, dilakukan dengan pendekatan luar biasa, karena korupsi merupakan extraordinary crime.

"Jika keduanya tidak ditemukan, apalagi nanti yang dipilih adalah orang bermasalah, maka bukan tidak mungkin KPK akan runtuh dari dalam," kata Febri kepada Liputan6.com, 3 Juli 2019.

"Oleh karena itulah, pimpinan KPK yang memiliki loyalitas tunggal merupakan keniscayaan. Loyalitas pada pemberantasan korupsi, bukan pada kolega atau institusi sebelumnya ia bekerja," imbuh Febri.

Sebelumnya Febri mengatakan, pada dasarnya sembilan Pati Polri itu pernah melaporkan LHKPN ke KPK. Pelaporan ada yang dilakukan pada tahun 2007, 2008, 2011, 2013, 2014, hingga 2019.

"Namun terdapat beberapa nama yang belum atau sudah melaporkan namun terlambat melaporkan LHKPN secara periodik untuk tahun 2018 lalu," tutur Febri dalam keterangannya, Selasa (2/7/2019).

Dua nama yang telah melaporkan LHKPN periode 2018 adalah Antam Novambar dan Dharma Pongrekum. Meski begitu, keduanya terlambat yakni lewat batas masa pelaporan 31 Maret 2019.

3 dari 3 halaman

Harus Ada Wakil Polri di Komposisi Pimpinan KPK?

Mantan pimpinan KPK Antasari Azhar mengusulkan, komisioner lembaga antirasuah ada yang berasal dari unsur polisi dan jaksa. Menurut dia, kerja KPK yang kolektif kolegial membutuhkan sosok dari dua institusi tersebut.

Hal tersebut disampaikan Antasari usai diundang Pansel Capim KPK di Gedung Kemensetneg, Jakarta, Selasa 2 Juli 2019 untuk meminta masukan terkait proses seleksi.

"Zaman saya dulu adalah, komposisi lima orang (pimpinan). Nah ini satu jaksa, satu penyidik kepolisian, dan tiga profesional di bidang lain. Seperti lawyer, akuntan, dan bidang manajemen. Kenapa? karena ini kerjanya kolektif. Jadi bisa saling sharing pendapat," kata Antasari di lokasi.

"Kenapa perlu jaksa dan polisi? Supaya tahu lah tentang perkara. Tidak dibohongi anak buah nanti," sambungnya.

Sementara itu, mantan pimpinan KPK lainnya, Mochamad Jasin menyarankan agar pimpinan KPK berikutnya memiliki kemampuan manajerial yang baik. Sehingga, para pimpinan dapat mengatasi persoalan di dalam internal KPK.

Selain itu, pimpinan KPK juga harus memahami soal penindakan, pencegahan, serta koordinasi dan supervisi dengan institusi hukum lainnya. Pimpinan KPK berikutnya juga diharapkan dapat mengerti soal reformasi birokrasi di kementerian dan lembaga.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, siapa saja boleh mendaftar sebagai calon pimpinan KPK termasuk dari Polri. Apalagi, rekrutmen dilakukan secara terbuka.

Namun, kata dia, jangan dibangun mitos bahwa seakan-akan pimpinan KPK harus ada unsur jaksa dan polisi.

"Kan tidak harus, bukankah di dalam KPK sendiri sudah ada jaksa dan polisinya. Penyidiknya tuh banyak polisi, penuntut umumnya semuanya jaksa, jadi representasi rasa, potret, cara pandang kejaksaan dan kepolisian sebenarnya sudah ada," kata Zainal kepada Liputan6.com, Rabu 3 Juli 2019.

Dia menegaskan, unsur pimpinan KPK harus ada dari polisi atau jaksa adalah mitos. Menurut dia, paling utama dilihat dari seorang calon pimpinan KPK adalah kapabilitas dan integritas, bukan asalnya.

"Yang saya khawatirkan kemudian orang diloloskan karena seakan-akan harus ada calon dari polisi, harus ada calon dari jaksa. Ya tidak bisa, tetap harus integritasnya yang diperdebatkan nomor satu," kata dia.

Dosen di Fakultas Hukum UGM ini menjelaskan, dengan mengatakan dosen lebih mampu dari polisi, polisi lebih disiplin dari dosen. Dosen lebih bersih pun mitos. Yang harus dibangun di KPK itu adalah nilai dan integritas. Semua harus diukur berdasarkan parameter yang sama.

Dia mengatakan, dalam jabatan publik yang penting adalah integritas, kapabilitas, dan aksestabilitas. Integritas dan kapabilitas, tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun.

Zainal menuturkan, bisa jadi dengan adanya pimpinan KPK dari Polri akan meredam konflik kedua lembaga ini yang kerap terjadi. Tapi, kata dia, belum tentu bisa meredam. "Atau malah alih-alih meredam, yang terjadi malah domestikasi kan. Penjinakan," kata dia

Zainal mengatakan, perkelahian antara polisi dan KPK harus dilihat siapa yang salah. Jangan karena bertengkar kedua pihak didamaikan. "Harusnya ditegur, siapa yang salah dia dijewer. Bukan kemudian logikanya mengatakan bahwa 'oh karena mereka sering berantem maka harus ada unsur perwakilannya'," kata dia.

Dia mengatakan, berdasarkan undang-undang, KPK adalah lembaga pengkoordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi. Maka dengan konsep itu, kejaksaan dan kepolisian harusnya ikut dengan mereka, jangan dibalik logikanya bahwa kemudian kejaksaan dan kepolisian harus diikuti oleh KPK.

Zainal mengatakan, banyak yang harus difokuskan KPK ke depan. Dari hilir, mulai dari perbaikan sumber daya manusia di internal dan soal kelembagaannya. Pencegahan korupsi harus dilakukan selain pemberantasan rasuah yang terus berjalan.

"Karena dalam 4 tahun mau berantas semua korupsi kan mustahil, harusnya ada wilayah yang mau dia tekankan, wilayah yang dia mau kuatkan, itu harus dipikirkan," kata dia.

Zainal menambahkan, idealnya harus ada orang lama yang kembali mendaftar KPK supaya tetap berkesinambungan untuk periode berikutnya . Akan tetapi, lanjut dia, hal ini tidak bisa dipaksakan.

"Banyak yang menurut saya lumayan, harusnya bisa mendaftar kembali itu. Pak Agus (Ketua KPK Agus Rahardjo), dengan segala catatan, menurut saya lumayan, harusnya bisa mendaftar kembali. Pentingnya orang lama itu ada supaya mereka punya kesinambungan kerja. Yang kedua baru bicara soal pengetahuan di luar-luar itu, ada banyak kok tokoh-tokoh baik, menarik, yang menurut saya, pantas untuk ke KPK," kata dia.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir menilai, tidak perlu ada unsur Polri di pimpinan KPK. Sebab, Polri sudah ada jatah penyidik.

"Mestinya wakil dari kepolisian itu cukup di situ saja. Jadi tidak perlu lagi komisioner dari unsur polisi, kan mereka sudah punya itu, semua penyidik adalah polisi sebagian besar penyidik polisi, jadi wakil kepolisian cukup di penyidik," kata dia kepada Liputan6.com. Rabu (3/7/2019).

Dia menilai, dengan adanya unsur pimpinan dari Polri maka sama saja KPK bagian dari kepolisian. Karena itu, sebaiknya, tidak ada unsur Polri di KPK supaya lembaga antikorupsi tersebut benar benar menjadi lembaga yang bisa mengevaluasi lembaga kepolisian dan kinerja kejaksaan.

Muzakir mengatakan, komposisi pimpinan yang tepat adalah dari kalangan independen dan tidak terikat pada eksekutif.

"Karena dia independen maka mereka berani melakukan pemeriksaan terhadap oknum polisi yang gunakan wewenang yang melakukan korupsi, oknum jaksa yang melakukan korupsi dan oknum penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah eksekutif yang korupsi," kata dia.

Dia pun mengatakan, ke depan, KPK harus fokus dalam pencegahan. Akan tetapi, bila gagal, KPK harus melakukan penindakan dengan serius.

"Harus digeser lebih banyak ke pencegahan, tapi kalau sudah dicegah masih berbuat korupsi, gebuk sekeras kerasnya itu diproses dan dihukum seberat beratnya karena sudah diberikan kesempatan untuk mencegah tapi masih berbuat itu," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.