Sukses

Dampak yang Bisa Ditimbulkan dari Gerhana Matahari Total

Tak hanya tanggal 2 dan 3 Juli 2019, diperkirakan gerhana matahari total juga akan muncul kembali pada 14 Desember 2020, 4 Desember 2021, 20 April 2023, dan 8 April 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Gerhana matahari total kembali muncul. Kali ini hanya negara Chille dan Argentina yang bisa melihat fenomena alam ini. Tak hanya tanggal 2 dan 3 Juli 2019, diperkirakan gerhana matahari total juga akan muncul kembali pada 14 Desember 2020, 4 Desember 2021, 20 April 2023, dan 8 April 2024.

Meskipun gerhana matahari total terlihat menakjubkan, ternyata ada dampak-dampak penting yang mempengaruhi kondisi Bumi maupun kesehatan makhluk hidup lainnya.

Berikut dampak-dampak yang disebabkan munculnya gerhana matahari total:

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Pengaruhi Gravitasi Bumi

Gerhana matahari total bisa mengganggu gravitasi Bumi. Caranya dengan menghambat pemanasan dan proses ionisasi di lapisan ionosfer atmosfer Bumi. Efek tersebut ternyata pernah diamati oleh beberapa ilmuwan.

Ada sejarah panjang saat mengamati fenomena terkait gravitasi selama gerhana matahari total.

Pada tahun 1954, dan tahun 1959, Maurice Allais melaporkan pengamatan tentang gerakan aneh yang sulit dijelaskan selama gerhana matahari terjadi. Efek ini ia namakan efek Allais.

3 dari 6 halaman

2. Bisa Merusak Mata

Gerhana matahari total tidak bisa dilihat secara langsung dengan mata telanjang. Efeknya bisa merusak retina mata karena sinar ultraviolet (sinar UV). 

Kerusakan pada mata tanpa disadari akibat terlalu lama melihat gerhana matahari total. Pada saat itu jumlah radiasi sinar UV yang mendarat di retina jauh meningkat dan membuat lebih rentan mengalami kerusakan mata.

Kondisi ini dikenal dengan fotokeratitis. Biasanya muncul beberapa jam setelah kerusakan terjadi dan menyebabkan produksi air mata berlebihan, mata merah dan meradang.

Kacamata hitam tidak cukup melindungi mata dari pancaran sinar UV yang dipantulkan sinar matahari saat terjadi gerhana total. Ada baiknya menggunakan kacamata atau filter kamera yang dirancang khusus untuk gerhana matahari.

Lensa khusus ini dapat mengurangi intesitas cahaya yang masuk ke mata hingga ke taraf aman.

4 dari 6 halaman

3. Berdampak pada Sistem Tenaga Listrik

Kejadian ini sempat terjadi di wilayah sekitar benua Eropa dan Britania Raya saat gerhana matahari total 20 Maret 2015. Saat itu dampaknya pada sistem tenaga listrik di negara tersebut.

Wilayah benua Eropa dan Britania Raya diperkirakan memiliki sekitar 90 gigawatt tenaga surya dan diperkirakan bahwa produksi akan turun hingga 34 GW dibandingkan dengan hari langit saat cerah.

5 dari 6 halaman

4. Terjadi Pasang Surut Bumi

Gerhana matahari total mengakibatkan terjadinya daya tarik planet ketika posisi matahari dan bulan berada pada satu garis. Pasang surut bumi juga bisa dirasakan. Namun, secara kasat mata tidak nampak.

"Akan terjadi pasang surut bumi, ini karena daya tarik planet. Tapi tidak bisa dilihat seperti kita melihat yang terjadi pada laut, nilainya signifikan," ujar Ketua badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Andi Eka Satya.

6 dari 6 halaman

5. Pengaruhi Perilaku Satwa

Gerhana matahari total pernah terjadi di Indonesia pada Maret 2016. Ternyata fenomena alam ini membawa pengaruh pada perilaku satwa. 

"Satwa-satwa yang kami amati di antaranya kelompok mamalia kecil, kelompok burung paruh bengkok, serta binatang melata atau herpetofauna," ujar Hari Sutrisno, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Dia menjelaskan, secara umum respon satwa-satwa memang menunjukkan perilaku seolah-olah sudah senja atau malam.

"Kemungkinan besar bagi wilayah yang mengalami penurunan intensitas cahaya secara signifikan akan menunjukkan hasil yang lebih positif," jelas Hari.

Untuk kelompok mamalia, kukang dianggap memberikan respon paling positif.

"Hewan nokturnal yang aktif di malam hari ini tadinya pada pukul 05.00 WIB sebelum ada cahaya matahari masih aktif, kemudian mulai tidur saat matahari terbit. Namun, beberapa menit saat GMT, intensitas cahaya berkurang dan kukang bangun lagi dan melakukan aktivitas," terang Wartika Rosa Farida dari Laboratorium Nutrisi dan Penangkaran Satwa Liar Pusat Penelitian Biologi LIPI.

 

Repoter: Fellyanda Suci Agiesta

Sumber: Merdeka 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.