Sukses

Polemik IMB Reklamasi, KPK Diminta Buka Kasus Korupsi Raperda

Marthin melihat lemahnya komitmen dari Gubernur Anies Baswedan yang janji menghentikan reklamasi secara keseluruhan.

Liputan6.com, Jakarta - Isu reklamasi teluk Jakarta kembali menghangat. Pemicunya, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta. Kritik pun langsung diarahkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dalam janji kampanyenya akan menghentikan reklamasi.

Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata meminta KPK turun tangan melihat penerbitan IMB yang dinilainya janggal ini.

Marthin juga mengingatkan soal kasus Raperda Zonasi yang sempat terbukti menimbulkan kasus suap terhadap mantan anggota DPRD DKI Muhammad Sanusi. KPK didesak membuka kembali kasus tersebut. Terlebih, di dalam sidang banyak fakta yang belum ditindaklanjuti.

"KPK harusnya membuka kembali kasus reklamasi. Termasuk menyelidiki kemungkinan adanya korupsi dalam terbitnya IMB reklamasi," kata Marthin kepada Merdeka.com, Jumat (21/6/2019).

Marthin melihat lemahnya komitmen dari Gubernur Anies Baswedan yang janji menghentikan reklamasi secara keseluruhan. Dia menilai, IMB terbit tanpa adanya kesesuaian fungsi bangunan dengan rencana tata ruang.

"Artinya penerbitan IMB dilakukan tanpa ada dasar hukum yang jelas terkait peruntukan dan alokasi ruang Pulau C dari Pulau D," tambah Marthin.

Dia juga menekankan, dalam syarat penerbitan IMB jelas harus ada kesesuaian fungsi bangunan sesuai dengan rencana tata ruang. Tapi, sampai dengan saat ini belum ada rencana peruntukan ruang di atas pulau-pulau reklamasi yang telah terbangun.

"Padahal setiap pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya didasarkan pada Perda mengenai RZWP-3-K," kata Marthin menambahkan.

Sementara itu, dukungan KPK kembali mengungkap kasus Raperda reklamasi juga didorong oleh Henry Subagiyo dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Dia menilai, lembaga antirasuah itu harus mengembangkan kasus tersebut.

"Sebaiknya KPK terus kembangkan karena soal suap DPRD itu kan terkait dengan Raperda yang ada kaitannya juga dengan reklamasi," tambah Henry di lain kesempatan.

Sebanyak 932 IMB diterbitkan oleh Dinas PTSP DKI mengacu pada Pergub Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, serta Pergub Nomor 206/2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

IMB itu diterbitkan PTSP DKI atas nama PT Kapuk Naga Indah, pengembang Pulau D pada November 2018.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Klarifikasi Anies

Anies Baswedan menjelaskan alasannya IMB itu diterbitkan. Menurutnya, IMB terbit setelah pihaknya memastikan PT Kapuk Naga Indah, selaku pengembang Pulau D, menyelesaikan kewajiban mereka kepada Pemprov.

"Pihak yang bangunannya mengalami penyegelan harus diproses secara hukum oleh penyidik kami, lalu dibawa ke pengadilan, hakim kemudian memutuskan denda sesuai dengan Perda yang berlaku," ujar Anies.

Anies menerangkan, saat ini pengembang sudah merampungkan kewajibannya dan membayar denda seperti yang diputuskan oleh pengadilan. Dengan berdasarkan pemenuhan kewajiban itu, Anies menerbitkan IMB untuk bangunan di Pulau D. Adapun landasan hukum penerbitan IMB itu, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 Pasal 18 ayat 3.

Peraturan Pemerintah itu menjadi landasan munculnya Peraturan Gubernur Nomor 206 tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) di era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Dalam Pergub itu disebutkan 35 persen areal reklamasi hak penggunanya ada di pihak swasta.

"Jadi suka atau tidak suka atas isi Pergub 206 tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat," ujar Anies.

 

Reporter: Randy Ferdi Firdaus

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

4 dari 4 halaman

Kasus Reklamasi di KPK

Dalam kasus reklamasi, mantan anggota DPRD DKI M Sanusi divonis 10 tahun penjara di tingkat kasasi pada 29 Agustus 2017 lalu. Awalnya, politikus Gerindra itu divonis 7 tahun penjara.

Sanusi dinilai terbukti menerima suap Rp 2 miliar dari bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, pada Maret 2016. Uang tersebut terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta di Balegda DPRD DKI.

Di dalam persidangan juga terungkap sejumlah fakta pada 17 Juli 2016. Jaksa Ali Fikri sempat memutarkan percakapan salah satu saksi persidangan, yakni Manajer Perizinan Agung Sedayu Group, Saiful Zuhri alias Pupung, dengan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, pada 17 Maret 2016.

"Gini Bang, jadi kalau misalnya nanti jam 14.00 lewat tidak ada apa-apa, saya lapor Bos (Aguan), supaya dia bisa tekan Pak Prasetio lagi," kata Pupung kepada Sanusi, dalam rekaman percakapan yang diperdengarkan di Pengadilan Tipikor.

Prasetio yang dimaksud adalah Ketua DPRD DKI Jakarta yang turut diperiksa KPK terkait dugaan sebagai perantara dalam membagi-bagikan uang suap kepada anggota DPRD DKI terkait dengan pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi.

Namun dalam kesaksiannya di persidangan kasus tersebut, Prasetio membantah terlibat dan membagikan uang kepada anggota DPRD DKI. Menurut dia, pemberitaan yang menyebutkan dirinya sebagai eksekutor bagi-bagi uang kepada anggota DPRD DKI tidak benar.

"Saya enggak tahu, Yang Mulia. Kalau saya lihat di media sosial seakan-akan saya eksekutor bagi-bagi uang di DPRD. Tapi bisa anda tanyakan lagi ke Pak Sanusi dan Pupung," ujar Prasetio. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.