Sukses

HEADLINE: Wajah Baru Jakarta, Kado Ulang Tahun ke-492 DKI

Hari ini Kota Jakarta merayakan HUT ke-492. Apa saja kemajuan yang sudah dicapai kota ini untuk warganya?

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tersenyum dan semringah sepanjang peresmian beroperasinya Moda Raya Terpadu (MRT) Fase I, Minggu 24 Maret 2019. Tampil necis di Bundaran HI, Anies dalam sambutannya memastikan Jakarta telah menjadi kota modern dengan beroperasinya infrastruktur di bidang transportasi itu.

"Moda Raya Terpadu ini adalah salah satu terobosan infrastruktur kelas dunia yang menempatkan Jakarta sebagai kota megapolitan modern. Jakarta sebagai ibu kota sebuah negara anggota G-20 haruslah menjadi kota global yang maju, sejajar dengan berbagai kota utama dunia lainnya," ujar Anies ketika itu.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini berharap, kehadiran MRT bisa membuat masyarakat DKI semakin disiplin. Warga Jakarta sebagai pengguna MRT, kata dia, juga harus mampu membentuk karakter diri sebagai warga dunia yang maju.

"Selamat menjadi warga kota global. Mari kita manfaatkan MRT ini sebaik-baiknya, dengan turut menjaganya sebagai aset bersama," tegas Anies.

Kebanggaan Anies terhadap MRT pun berlanjut saat menyambut peringatan HUT ke-492 Kota Jakarta. Dia memilih ikut mengecat mural di terowongan Jalan Kendal, Menteng, Jakarta Pusat. Pemilihan lokasi ini bukan tanpa tujuan.

Dipilihnya terowongan Jalan Kendal sebagai lokasi pengecatan mural lantaran tempat tersebut kini menjadi salah satu kawasan yang ramai dilalui warga Ibu Kota, khususnya yang berkerja di pusat Jakarta.

Terowongan tersebut merupakan jalur yang kerap dilalui pengguna dua moda transportasi populer di Ibu Kota saat ini, yakni kereta commuter line serta MRT. Ringkasnya, terowongan Kendal merupakan tempat transit pejalan kaki dari Stasiun Sudirman ke Stasiun MRT Dukuh Atas.

"Inilah salah satu contoh bahwa wajah baru Jakarta bukan sekadar tampilan fisik, tapi mindset-nya juga dibarukan," ujar Anies di terowongan Kendal, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

Dia mencontohkan pembangunan fasilitas transportasi. Dulu prioritas pertama adalah pembangunan fasilitas untuk kendaraan pribadi, kendaraan umum, sepeda, dan pejalan kaki. Sekarang, semuanya berubah dan dibalik.

"Sekarang diubah, nomor satu adalah fasilitas untuk pejalan kaki, kemudian untuk sepeda, kendaraan umum, baru kendaraan pribadi," jelas Anies.

 

Infografis Wajah Baru Jakarta (Liputan6.com/Abdillah)

Pesatnya pembangunan di Jakarta diamini Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi. Banyak hal yang sudah dilakukan untuk warga Ibu Kota, yang juga membuat berubahnya sikap serta perilaku warga.

"Setahun terakhir kita bisa saksikan masifnya pembangunan di Jakarta. Sukses besar menjadi tuan rumah Asian Games. MRT mulai beroperasi dan pelan-pelan mengubah cara bertransportasi warganya. Sekarang warga lebih bisa menepati janji karena waktu perjalanan sangat terukur," ujar Edi kepada Liputan6.com, Jumat malam.

Tak berhenti di situ, pembangunan yang dilakukan juga terus disempurnakan dengan meneruskan tahapan pembangunan. Targetnya, pembangunan bisa dirasakan oleh seluruh warga Jakarta, bahkan bagi mereka yang tinggal di pinggiran Ibu Kota.

"Kita pun akan melanjutkan ke fase 2 (MRT), mulai dari Bundaran HI sampai Kota. Harapan kita agar Jakarta menjadi kota yang setara dengan kota-kota besar di dunia sudah semakin nyata," ujar Edi.

Karena itu, melihat pesatnya perkembangan serta kemajuan Jakarta, dia yakin tak akan ada yang bisa menghalangi Ibu Kota menjadi salah satu kota modern berdampingan dengan kota lainnya di dunia, khususnya dalam hal ekonomi.

"Yang mau saya katakan, kalaupun nanti pusat pemerintahan pindah, pusat perekonomian tidak akan bergeser. Masih tetap di Jakarta. Justru Jakarta bisa makin leluasa tumbuh karena berkurangnya beban seperti kemacetan," jelas Edi.

Dia menjelaskan, banyak pihak punya peran dalam membuat kemajuan Jakarta, terutama para gubernur.

Dia menyebut perubahan itu berawal sejak 2012 atau saat era pemerintahan Gubernur Joko Widodo atau Jokowi yang dilanjutkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

"Sekarang Jakarta dipimpin Gubernur Anies Baswedan, sudah dua tahun berjalan. Sesuai tema HUT DKI Jakarta tahun ini, Wajah Baru, tentunya kita sangat berharap tema itu betul-betul mewujud, Jakarta sebagai kota metropolis," pungkas Edi.

Pertanyaannya sekarang, meski Jakarta sudah sangat maju dan modern menurut mereka yang mengelola kota ini, masih adakah masalah yang belum tuntas?

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pekerjaan Rumah 'BMKG'

Wakil Presiden Jusuf Kalla punya pandangan menarik tentang Jakarta, usai meninjau kondisi Ibu Kota dari udara, Senin 28 Januari 2018. Dengan menumpang helikopter, JK terbang di atas kawasan Jalan MH Thamrin, Cawang, Kampung Melayu, hingga Tanjung Priok di pinggiran Teluk Jakarta.

Dari atas JK menyaksikan hal berbeda, Jakarta yang metropolis dan gemerlap dan jalanan Ibu Kota yang belum sepenuhnya tertata rapi. JK bahkan memberi perbandingan antara Jalan Thamrin yang seperti di Singapura dengan Tanjung Priok yang mirip Bangladesh.

"Ada ketimpangan yang luar biasa, yang mewah dibanding daerah kumuh seperti Tanjung Priok dan Kampung Melayu yang sering terkena musibah dan terbakar," kata JK saat ditemui di Kantor Wakil Presiden sehari kemudian, Selasa 29 Januari 2018.

Pandangan JK diamini pengamat tata kota Nirwono Joga. Menurut dia, pembangunan infrastruktur di Jakarta terlihat cukup pesat menjelang usianya yang ke-492. Hanya saja, ada hal yang sepertinya dilupakan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan atau menetapkan prioritas pembangunan.

"Wajah Jakarta banyak berubah, namun pembangunan belum merata karena masih terfokus di kawasan Sudirman-Thamrin. Belum ada penyelesaian mendasar dari masalah utama Kota Jakarta, yaitu penanganan banjir dan penguraian kemacetan lalin, serta penataan permukiman kumuh," ujar Nirwono kepada Liputan6.com, Jumat petang (21/6/2019).

Yang menarik, dia mengatakan pembangunan yang begitu gencar digenjot Pemprov DKI Jakarta sebenarnya tidak sejalan dengan apa yang sudah direncanakan.

"Pembangunan Jakarta dalam 1-2 tahun terakhir justru semakin menjauh dari apa yang sudah direncanakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Jakarta 2030," jelas Nirwono.

Tak hanya menjauh dari perencanaan, pembangunan di Jakarta juga dinilainya cenderung menyalahi aturan yang berlaku. "Seperti pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar, tidak disertai penataan PKL yang benar," ujar Nirwono.

Masalah lainnya, lanjut dia, pembangunan yang dilakukan juga melenyapkan ciri khas kota atau kawasan tertentu di Ibu Kota. Akibatnya, keterkaitan kawasan tersebut dengan masa lalu menjadi hilang yang sekaligus membuat sejarah kota atau wilayah tersebut menjadi sulit dikenali.

"Kawasan bersejarah seperti Kota Tua, kampung tradisional, dan kawasan lama seperti Menteng dan Kebayoran Baru sudah mulai banyak berubah. Secara perlahan tapi pasti identitas dan ciri khas Betawi sudah mulai memudar," jelas Nirwono.

Pembangunan dan perubahan yang terjadi memang tak lepas dari RDTR DKI Jakarta. Setelah disahkan DPRD DKI Jakarta pada 18 Desember 2013, akhirnya Perda RDTR DKI Jakarta menjadi dokumen hukum dengan nama Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (PZ).

RDTR dan PZ merupakan dokumen acuan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah DKI Jakarta. Dokumen RDTR yang dilengkapi dengan Peta Zonasi ini merupakan penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2011-2030 dengan peta skala 1:5.000.

Sayangnya, Perda RDTR-PZ sedang dalam tahap revisi di tahun ini. Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno dalam sebuah kesempatan mengatakan, salah satu hal yang bakal direvisi terkait dengan larangan melaksanakan bisnis di lingkungan perumahan.

"Perda ini akan ditinjau ulang karena kami ingin memberikan kemudahan bagi pelaku bisnis, khususnya pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Ibu Kota," kata Sandiaga di Balai Kota Jakarta, Senin 12 Februari 2018.

Padahal, menurut Nirwono, membangun Jakarta menuju arah yang benar itu tidak sulit dan tak harus dengan merevisi Perda RDTR-PZ.

"Menata Jakarta itu mudah, tinggal mengikuti apa yang sudah direncanakan dalam RTRW dan RDTR Jakarta 2030 dan mematuhi aturan hukun yang berlaku, maka kota akan tertib, manusiawi dan berkelanjutan," tegas Nirwono.

Ketika ditanyakan apa pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta di masa depan, dia menyebut bahwa masalah Ibu Kota dari tahun ke tahun masih tak beranjak dari persoalan klasik.

"Fokus saja pada 'BMKG', yaitu menangani Banjir, mengurai keMacetan lalin, mengurangi Kemiskinan, dan membangun tanpa mengGusur," pungkas Nirwono.

Hal senada diungkapkan sejarawan JJ Rizal. Dia mengatakan, Jakarta terus dibangun dan berkembang, tetapi, Jakarta jalan di tempat sebab, tidak berkembang sebagai kota, melainkan sebagaimana Batavia dulu, hanya lebih terasakan sebagai markas dagang.

"Misalnya, paling gampang dilihat adalah Rencana Tata Ruang tinggal menjadi Rencana Tata Uang. Rencana masa depannya perkembangan jakarta dengan kota di sekitarnya ada di kantor properti. Sutradara perubahannya bukan gubernur tetapi konglomerat properti," tegas Rizal kepada Liputan6.com, Jumat malam.

Karena itu, dia melihat Jakarta belum berada di jalur perubahan yang benar menuju masa depan sebagaimana kota-kota lainnya di dunia.

"Gubernur belum sepenuhnya menjadi sutradara perubahan Kota Jakarta. Sekaligus lalu menjadi medium partisipasi publik dalam arti menjadikan publik bukan hanya tempat mendulang suara tetapi juga mendulang ide pemikiran menuju kota masa depan," ungkap Rizal.

Lebih miris lagi, lanjut dia, lokasi atau kawasan yang menjadi ciri khas serta memiliki nilai sejarah mayoritas tak terurus. Bahkan, situs sejarah yang diragukan kebenaran historisnya mendapat gelontoran dana miliaran dan di tempat lain diresmikan menjadi cagar budaya dalam waktu dua hari.

"Meskipun sudah ada UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, tampaknya apa isinya diabaikan. Museum tidak punya materi presentasi yang baik. Masih ditargetkan pada jumlah pengunjung, bukan apa yang bisa didapat setelah ke museum. Saya pikir kekacauan ini bermula dari digabungnya kebudayaan dengan pariwisata dalam satu dinas. Maka hasilnya, kebudayaan dihadapi dengan konsep kerja apa untungnya, bukan apa benarnya," tandas Rizal.

3 dari 3 halaman

Jakarta, Riwayatmu Dulu

Jauh sebelum bernama Jakarta, kota ini telah mengalami banyak pergantian nama. Yang pertama adalah Sunda Kelapa. Bukti mengenai adanya permukiman penduduk bernama Sunda Kelapa adalah Prasasti Tugu, yakni peninggalan yang tertanam di wilayah Jakarta Utara.

Prasasti Tugu memiliki hubungan dengan empat prasasti lain yang diyakini berasal dari zaman kerajaan Hindu, yakni Kerajaan Tarumanegara ketika dipimpin oleh Raja Purnawarman.

Empat prasasti tersebut adalah prasasti Kebon Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Lebak, dan Prasasti Jambu. Nama 'Sunda' dari kata Sunda Kelapa yang muncul pada Abad ke-10 terdapat dalam Prasasti Kebon Kopi II yang diperkirakan ada pada 932 Masehi.

Pada 1030-1579 berdiri sebuah Kerajaan bernama Padjajaran di wilayah Jawa Barat. Keberadaan Kerajaan Padjajaran diketahui tepatnya di daerah Batu Tulis yang kini bernama Kota Bogor. Letak ibu kota kerajaan ini dinyatakan dalam prasasti Batu tulis tahun 1433 Masehi.

Bangsa Portugis tiba di Sunda Kelapa ketika Kerajaan Padjajaran tengah berkembang pada 1513 Masehi yang dipimpin oleh De Alvin. Tujuan bangsa Portugis ke Indonesia tak lain ingin mencari rempah-rempah yang sangat dibutuhkan di wilayah Eropa yang memiliki musim dingin dengan mendirikan benteng perdagangan.

Benteng perdagangan itu pun akhirnya berhasil didirikan pada 1522 setelah Portugis melakukan perjanjian yang disebut Luso Sundanese Padrao dengan Prabu Surawisesa, Raja Padjajaran. Benteng perdagangan itu berada di wilayah Sunda Kelapa.

Setelah perjanjian tersebut, kekuasaan Portugis mengalami perkembangan yang membuat kerajaan-kerajaan lain merasa terganggu. Pada 1526-1527 Kerajaan Demak yang dibantu Kerajaan Cirebon di bawah kepemimpinan Pangeran Fatahillah menyerang Portugis.

Portugis kalah dalam serangan tersebut dan Sunda Kelapa jatuh ke tangan Pangeran Fatahillah yang kemudian pada 22 Juni 1527 mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Pada tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai hari lahir Kota Jakarta.

Kota Jayakarta berkembang sebagai kota pelabuhan yang sibuk, di mana para pedagang dari Cina, India, Arab dan Eropa serta dari negara-negara lainnya saling bertukar barang-barang atau komoditi.

Tahun 1619, Pemerintahan Belanda (VOC) di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta dan dengan serta-merta membangun kota baru yang terletak di bagian barat Sungai Ciliwung, yang dia namakan Batavia, nama yang diambil dari Batavieren, nenek moyang bangsa Belanda

Batavia direncanakan dan dibangun nyaris mirip dengan kota-kota di Belanda, yaitu dibangun dalam bentuk blok, masing-masih dipisahkan oleh kanal dan dilindungi oleh dinding sebagai benteng, dan parit.

Batavia ini selesai dibangun pada 1650. Batavia tua adalah tempat tinggal bangsa Eropa, sementara bangsa China, Jawa dan penduduk asli lainnya disingkirkan ke tempat lainnya.

Di masa-masa kejayaannya Batavia yang terkenal sebagai Permata dari Timur, diduduki oleh VOC dan kemudain akhirnya diduduki pemerintah Belanda yang terbentang luas di Kepulauan Hindia Timur.

Kemudian pada masa penjajahan Jepang di tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi Jakarta. Nama itulah yang bertahan hingga usianya menginjak 492 tahun.

Untuk merayakan usia Kota Jakarta yang ke-492, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menggelar serangkaian acara yang mengusung konsep ekonomi kreatif dan seni. Puncak perayaan akan digelar pada Sabtu 22 Juni 2019 di kawasan Jalan MH Thamrin dan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.

Untuk keperluan acara ini, akan dilakukan penutupan jalan dan pengalihan arus lalu lintas dari arah Sarinah sampai Dukuh Atas. Jalan MH Thamrin atau tepatnya di depan Sarinah sampai Dukuh Atas akan ditutup dan dialihkan pada hari Sabtu, 22 Juni 2019 pukul 15.00-24.00 WIB.

Perayaan sendiri akan digelar di Bundaran HI, yang memadukan unsur tradisional dan teknologi, dengan menampilkan tari tradisional, lagu dan kostum tradisional secara kolosal, serta pertunjukan video mapping, water screen, dan immersive.

Acara dibagi dalam tiga babak, mulai dari Jakarta tempo dulu, Jakarta membangun, hingga wajah baru Jakarta. Acara ini dimeriahkan oleh penampilan penyanyi Pasha, Kotak, Siti Badriah, dan Wali.

Perayaan akan berlanjut di lokasi yang sama pada Minggu 30 Juni dengan menggelar Jakarnaval pada pukul 15.30-22.00 WIB. Jakarnaval ini meliputi parade budaya, parade modern, parade kendaraan hias, hingga penampilan sejumlah musisi seperti Krisdayanti, Iwa K, dan Ada Band.

Peserta Jakarnaval 2019 akan terbagi menjadi 2 rute. Parade berjalan kaki akan dimulai dari Kedutaan Besar Amerika mengarah ke Jalan MH Thamrin, dan berakhir di Pintu Silang Barat Daya Monas. Sedangkan parade kendaraan hias akan dimulai dari Kedutaan Besar Amerika Serikat mengarah ke Jalan MH Thamrin, berputar di Bundaran HI, dan berakhir di depan kantor RRI.

"Tahun ini kita rayakan HUT Jakarta dengan pesta di Bundaran HI. Insyaallah besok, hari Sabtu malam, semua warga Jakarta mensyukuri apa yang sudah kita dapat dari Jakarta dan apa yang sudah kita kerjakan untuk Jakarta. Insyaallah ke depan lebih baik lagi," ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di terowongan Kendal, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/6/2019).

Jadi, ayo rayakan hadirnya Jakarta yang makin modern.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.