Sukses

Sidang Sengketa Pilpres 2019 di MK, Tim Prabowo-Sandi Mengacu 4 Negara

Dalam sidang di MK, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi menyebutkan sejumlah negara yang membatalkan pemilu dan memutuskan pemilu ulang, terutama Pilpres.

Liputan6.com, Jakarta - Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga membacakan materi gugatan Pemilu 2019 dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menyebutkan sejumlah negara yang membatalkan pemilu dan memutuskan pemilu ulang, terutama Pilpres.

Anggota Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Denny Indrayana dalam sidang di MK, Jumat (14/6/2019) menyatakan negara-negara tersebut adalah Kenya, Austria, Maladewa, dan Ukraina.

Berikut contoh kasus pembatalan pemilu di negara-negara yang dipaparkan dalam berkas gugatan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi:

1. Kenya 

Di dalam Konstitusi Kenya, Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk menguji keabsahan hasil pemilihan Presiden. Tim BPN mencontohkan, pada tahun 2017, Kenya menyelenggarakan pemilihan presiden yang diikuti oleh dua kandidat yaitu Uhuru Kenyatta melawan Raila Odinga. Hasil akhir dari pemilihan presiden tersebut dimenangi oleh Uhuru Kenyatta selaku petahana dengan memperoleh 54,2 % suara dan penantang Raila Odinga mendapatkan 44,9 % suara.

Raila Odinga selaku penantang menyatakan bahwa Pemilihan Presiden Kenya tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung Kenya agar hasil pemilihan presiden tersebut dibatalkan

Mahkamah Agung Kenya kemudian mengeluarkan putusan penting atau landmark decision dengan membatalkan hasil Pemilihan Presiden Kenya dan memerintahkan untuk mengadakan pemilihan ulang secara nasional. Pemilihan Presiden Kenya dibatalkan karena tidak dijalankan sesuai prinsip-prinsip Pemilihan Presiden yang diatur dalam Konstitusi Kenya. 

2. Austria

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi Austria, Mahkamah Konstitusi Austria memiliki wewenang untuk menguji keabsahan pemilihan Presiden Federal Austria.

BPN mencontohkan, pada tahun 2016, Austria melaksanakan pemilihan presiden yang diikuti oleh dua kandidatyaitu Alexander Van der Bellen dan Norbert Hofer. Dalam pemilihan umum yang dilaksanakan pada Bulan Mei 2016, Van der Bellen mengalahkan Hofer dengan selisih kemenangan yang tidak terlalu jauh, hanya 0,6 persen.

Norbert Hofer kemudian mengajukan keberatan atas kekalahan dia ke Mahkamah Konstitusi Austria dikarenakan terdapat berbagai macam pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan presiden tersebut.

Di dalam permohonannya ke Mahkamah Konstitusi Austria, Hofer menyebutkan bahwa terdapat pelanggaran yang terjadi, terutama pengiriman surat suara melalui pos. Kemudian Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilihan umum yang dilaksanakan di Bulan Mei 2016 tidak konstitusional dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Austria untuk melaksanakan pemilihan ulang di seluruh wilayah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

3. Maladewa

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi Maladewa, Mahkamah Agung Maladewa memiliki kewenangan untuk mengadili segala kasus yang berhubungan dengan pemilihan umum.

Pemilihan Presiden di Maladewa dilaksanakan pada 7 September 2013. Pemilihan tersebut diikuti  empat kandidat dan tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas. Dikarenakan kondisi tersebut seharusnya diadakan putaran kedua dengan diikuti oleh dua kandidat dengan perolehan suara terbanyak di putaran pertama, yaitu Abdulla Yameen dan Mohammed Nasheed.

Namun, kandidat ketiga, Qasim Ibrahim, mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung Maladewa dengan tuduhan terdapat berbagai macam pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Pada September tahun 2013, Mahkamah Agung Maladewa menganulir pelaksanaan dan hasil pemilihan umum Maladewa putaran pertama tersebut. Kemudian Mahkamah Agung Maladewa memerintahkan untuk melaksanakan pemilihan ulang pada Bulan Oktober 2013.

4. Ukraina

Pada November 2004, Ukraina menyelenggarakan pemilihan presiden putaran kedua yang diikuti oleh Viktor Yushchenko dan Viktor Yanukovych. Pada putaran pertama di Bulan Oktober 2004, kedua kandidat tersebut merupakan kandidat dengan suara terbanyak namun belum mendapatkan jumlah suara signifikan sehingga harus mengikuti pemilihan putaran kedua.

Menurut hasil pemilihan presiden putaran kedua yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Ukraina, Viktor Yanukovych mendapatkan suara sebanyak 49,46 persen sedangkan Viktor Yushchenko mendapatkan 46,61 persen, yang kemudian Viktor Yanukovych dinyatakan sebagai pemenang.

Namun kemudian Viktor Yushchenko melakukan permohonan gugatan ke Mahkamah Agung Ukraina dikarenakan menurut dia pemilihan umum yang dilaksanakan tersebut terdapat banyak kecurangan. Mahkamah Agung Ukraina kemudian memutuskan bahwa Pemilihan Presiden Ukraina dibatalkan dan memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Ukraina untuk mengulang pemilihan tersebut.

3 dari 3 halaman

Kesimpulan

Denny Indrayana kemudian membacakan kesimpulan. Dia mengatakan, dari berbagai contoh pelaksanaan pemilu di beberapa negara yang disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa peran institusi peradilan, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi di suatu negara berperan penting dalam proses pemilihan presiden.

"Dari seluruh contoh negara tersebut, dapat dilihat bahwa pembatalan hasil pemilihan presiden di berbagai negara disebabkan bukan karena selisih jumlah suara saja. Namun yang lebih penting dari selisih jumlah suara adalah ada atau tidaknya pelanggaran terhadap asas dan prinsip pemilihan umum dalam konstitusi negara tersebut yang dilanggar," kata Denny.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.