Sukses

Palu MA Bebaskan Akbar Tanjung dari Penjara Kasus Buloggate

Mahkamah Agung memutuskan menerima kasasi Akbar Tandjung terkait korupsi dana nonbujeter Bulog. Vonis 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta pun gugur seketika.

Liputan6.com, Jakarta - Kamis 12 Februari 2004 menjadi hari yang membahagiakan bagi Akbar Tanjung. Mahkamah Agung (MA) melalui kasasi yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung menyatakan, Akbar tidak terbukti korupsi dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) atau Buloggate yang merugikan negara Rp 40 miliar.

Catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, tokoh Partai Golkar itu pun melenggang bebas. Putusan vonis 3 tahun penjara dan denda 10 juta yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2002, akhirnya gugur seketika. 

Dalam putusannya, MA berpendapat Akbar tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas kebijakan presiden yang saat itu dijabat BJ Habibie.

Hakim Paulus menjelaskan, penggunaan dana nonbujeter Bulog berdasarkan hasil pertemuan 18 Februari 1999 antara Presiden Habibie, Menteri Sekretaris Negara (Menseneg) Akbar Tanjung, pejabat sementara Kepala Bulog Rahardi Ramelan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono, bukanlah tanggung jawab Akbar tapi tanggung jawab Presiden Habibie.

Dengan kata lain, Akbar selaku Mensesneg ketika itu hanya melaksanakan perintah jabatan dari Presiden Habibie untuk menyalurkan sembako dengan menggunakan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar.

Itulah sebabnya, Akbar tak dapat dipidana karena perbuatannya dikategorikan sebagai perbuatan melaksanakan perintah jabatan.

Dalam penjelasannya, MA mengabulkan kasasi Akbar Tanjung berdasarkan 16 pertimbangan yang ditemukan Hakim Agung dalam putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keputusan PT Jakarta dan PN Jakpus dianggap keliru dan menyesatkan.

Satu di antara penilaian Hakim Agung tersebut yakni majelis hakim PT Jakarta dan PN Jakpus telah mencampuradukkan dua pengertian hukum, yakni penyalahgunaan wewenang dan perbuatan sewenang-wenang.

"Penyalahgunaan wewenang dan perbuatan sewenang-wenang memiliki arti yang berbeda," ujar hakim Paulus.

Dia mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menyebutkan, pengertian dari penyalahgunaan wewenang adalah perbuatan yang menyalahi hak dan kewajiban. Sedangkan perbuatan sewenang-wenang berarti sebuah perbuatan yang tak menghiraukan hak-hak orang lain.

Pertimbangan lainnya, Hakim Agung juga melihat putusan PT Jakarta dan PN Jakpus hanya berdasarkan asas kepatutan. Putusan itu dianggap melanggar hukum materiil. Selain itu, Hakim Agung menilai, perbuatan Akbar tidak merugikan negara. Sebab, uang dana nonbujeter Bulog tersebut digunakan Akbar untuk kemaslahatan.

Putusan kasasi Akbar Tanjung digodok selama sepekan silam yang berakhir dengan mekanisme voting. Dari lima hakim agung, hanya hakim agung Abdul Rahman Saleh menyatakan Akbar bersalah.

Disambut Gembira

Keputusan ini disambut gembira Akbar Tanjung sekeluarga dan pendukungnya.

"Alhamdulillah, MA mengabulkan permohonan saya,"ucap Akbar di rumah dinas Jalan Widya Chandra III Nomor 10, Kuningan, Jakarta Selatan, sesaat setelah MA memutuskan menerima kasasi, 12 Februari 2002.

Akbar juga menyatakan keputusan MA yang mengabulkan permohonan kasasinya telah memperkuat rasa percaya dirinya. Terutama untuk memimpin Partai Golkar dalam menghadapi Pemilihan Umum 2004.

"Kami siap berkompetisi dengan partai lain,"ucap Akbar.

Tak hanya itu, vonis bebas membuat dia siap bersaing dengan enam calon lainnya dalam Konvensi Partai Golkar yang akan diputuskan pekan kedua April 2004. 

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mahasiswa Protes Keras

Keputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi Akbar Tanjung menuai protes keras dari kalangan mahasiswa. Aliansi Mahasiswa Perguruan Tinggi se-Jabotabek dan Jawa Barat menilai keputusan tersebut politis. Vonis bebas diberikan untuk meloloskan kasus Ketua Umum Partai Golongan Karya dari jerat hukuman penjara.

Karena itu, mereka menuntut para Hakim Agung yang menangani kasasi Akbar dipecat mengingat telah mengeluarkan keputusan yang tak berdasarkan hati nurani.

Hal tersebut terungkap dalam konferensi pers yang digelar di Ruang Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis 12 Februari 2004 malam.

Dalam kesempatan tersebut, para mahasiswa juga mentasbih Akbar sebagai "Ikon Koruptor" yang selayaknya tak bisa dibebaskan lembaga tinggi peradilan. Mereka juga bertekad untuk tetap terus menuntut keadilan atas berbagai kasus hukum lainnya, termasuk kasus Akbar.

Aks menolak pembebasan Akbar Tanjung juga memakan korban di kalangan mahasiswa saat bentrok dengan petugas keamanan. 73 mahasiswa dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Salemba, Jakpus untuk mendapat perawatan.

Tak hanya di Jakarta dan Jabar, mahasiswa di sejumlah daerah lain juga menggelar aksi serupa menolak dikabulkan kasasi Akbar Tanjung.  Di Surabaya, massa dari Partai Rakyat Demokratik dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi yang menamakan diri Pergerakan Surabaya mendatangi Gedung Radio Republik Indonesia setempat.

Mereka sempat berorasi secara langsung melalui RRI dan menyoroti rendahnya penegakan hukum di Tanah Air. Dalam aksi ini, mereka juga sempat menurunkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai tanda matinya hukum di Tanah Air. Ironisnya, aksi tersebut tak terpantau oleh kepolisian.

Mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya dan Universitas Merdeka juga menggelar aksi di persimpangan Jalan Veteran, Malang.

Dalam orasinya, mereka menuntut MA menolak permohonan kasasi Akbar. Dalam kesempatan ini, mereka juga sempat membakar sebuah keranda sebagai simbol matinya keadilan di Indonesia.

Di Jember, aksi serupa juga digelar sekitar 150 demonstran dari pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di depan Gedung DPRD setempat. Aksi serupa juga digelar puluhan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di pengadilan negeri setempat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.