Sukses

Eddy Sindoro Tak Menolak Permintaan Rp 100 Juta Demi Penundaan Aanmaning

Pegawai PT Artha Graha Pratama, Wresti Kristian Hesti Susestyowati, dihadirkan dalam sidang kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Eddy Sindoro.

Liputan6.com, Jakarta - Pegawai PT Artha Graha Pratama, Wresti Kristian Hesti Susestyowati, dihadirkan dalam sidang kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan terdakwa Eddy Sindoro. Wresti membenarkan ada permintaan uang sebesar Rp 100 juta dari mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution saat konsultasi penundaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP).

Ketika itu, Edy mencatut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Aanmaning adalah peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan sukarela, dalam tempo selama-lamanya 8 hari.

Dalam keterangannya sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Wresti mengaku diperintah terdakwa Eddy Sindoro menemui Edy Nasution guna membahas penundaan aanmaning. Alasannya, Direktur PT MTP sedang berada di luar kota saat panggilan aanmaning oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kala itu, Edy Nasution menyampaikan akan mengatur hal tersebut dengan syarat ada uang pemulus.

"Karena aanmaning-nya ketua pengadilan kasihlah 100 (Rp 100 juta)," ujar Wresti menirukan pernyataan Edy Nasution, Senin (7/1/2019).

Permintaan itu kemudian disampaikan kepada Eddy Sindoro yang kemudian memerintahkan Wresti berkomunikasi juga dengan pihak PT MTP. Namun, saat menanggapi permintaan uang, Wresti mengaku tidak ada penolakan dari Eddy Sindoro. 

"Ada tidak Pak Eddy Sindoro bilang jangan atau melarang kasih uang karena dia (Edy Nasution) pegawai negeri?" tanya jaksa.

"Tidak ada," jawab Wresti.

Setelahnya, permintaan uang Rp 100 juta akhirnya disanggupi. Hal itu ditandai dengan perintah Direktur PT MTP, Heri Sugiarto, ke Wresti untuk mengambil uang di kantor Paramount, di Gading Serpong, Tangerang. Wresti kemudian memerintahkan stafnya, Wawan mengambil uang tersebut.

Setelah uang diambil, Wresti mengaku tak tahu terealisasinya uang tersebut ke Edy Nasution. 

"Saya tidak tahu," ujar Wresti.

Sementara itu, kepada Wresti, jaksa juga mempertanyakan jabatan atau kapasitas Eddy Sindoro di PT MTP. Sebab, Eddy kerap kali meminta saran atau referensi Wresti setiap ada urusan hukum yang menimpa beberapa perusahaan.

"Apakah tugas Eddy Sindoro hanya PT MTP atau ada yang lain?" tanya jaksa.

"Kalau ada yang minta advise, saya biasanya saya minta dari Pak Eddy Sindoro atau dari direktur langsung, tapi sopan santun saya sejak bergabung ke kantor itu Pak Eddy, jadi saya selalu lapor ke Pak Eddy," jelasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dakwaan

Sebelumnya, mantan petinggi Lippo Group itu didakwa memberi suap Rp 150 juta dan USD 50 ribu kepada Edy Nasution untuk pengurusan dua perkara.

Pemberian Rp 100 juta diperuntukkan bagi penundaan aanmaning, peringatan pengadilan kepada pihak berperkara khususnya pihak yang kalah dalam sengketa, terhadap PT MTP. 

Perusahaan tersebut menghadapi sengketa dengan PT Kymco. Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 01 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar USD 11,100,000. Namun PT MTP belum melaksanakan putusan tersebut. 

Sementara pemberian uang Rp 500 juta diberikan Eddy agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima proses upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL), meski telah melewati batas waktu pendaftaran.

Berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Sejak putusan diterbitkan, PT AAL tidak mengajukan PK sampai batas waktu 180 hari.

Atas perbuatan tersebut, Eddy didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.