Sukses

Potret Tari Bebila, Tarian Ceria dalam Hening Anak-Anak Kolok

Anak-anak tunarungu dan tunawicara Desa Bengkala mempunyai semangat tinggi dalam seni tari dan mampu bersaing dengan masyarakat normal.

Liputan6.com, Bali Di Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, Bali, merupakat desa dengan potret yang unik. Pasalnya, desa ini merupakan kampung dengan predikat anak penyandang tunarungu dan tunawicara terbanyak di Indonesia.

Anak - anak tersebut dikenal dengan kolok. Dalam bahasa daerah Bali, kolok memiliki arti tunawicara. Meski begitu, hal tersebut bukan penghalang anak-anak kolok mengenyam pendidikan.

Bahkan berkat belajar di sekolah dasar insklusi, anak-anak kolok tak lagi minder berinteraksi dengan orang lain. Sekolah ini dibangun PT Pertamina (Persero) melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) bersama Forum Layanan IPTEK Masyarakat (FlipMas) Indonesia sejak bulan Juli 2018.

Warga kolok juga punya semangat dalam berkesenian. Melihat itudosen dari program studi tari Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ida Ayu Trisnawati menciptakan tari yang disesuaikan dengan kekayaan lokal warga Kolok.

Ida Ayu tergabung dalam kelompok FlipMas yang membidangi bidang kesenian yaitu tari.

“Saya melihat potensi dari masyarakat khususnya kelompok difabel Kolok sendiri, ada semangat mereka untuk berkesenian sesuai dengan aktivitas mereka dalam kesehariannya. Kemudian saya berpikir bagaimana masyarakat Kolok bisa dikembangkan khususnya dalam bidang seni tari", jelas Ida. 

Terciptalah ide untuk menggarap tarian yang memang sesuai dengan karakter masyarakat Kolok yang saya beri judul Tari Bebila yang artinya itu Bebek Bingar Bengkala (Bebila),” ujarnya saat ditemui setelah pementasan tari di Desa Bengkala, beberapa waktu lalu.

Tari Bebila memiliki makna semangat yang besar, bahwa kelompok difabel dengan kekurangannya mampu bersaing dengan masyarakat normal lainnya. Dengan iringan suling, gamelan, kenong, dan gong, penari Kolok menari menyerupai segerombolan bebek yang riang gembira.

Dengan keterbatasan yang dimiliki, penari Kolok menari tanpa aba-aba namun dengan hati sehingga pas dengan ketukan musik. Seolah para Kolok dapat mendengar iringan musik yang ada. Ida menuturkan keunggulan dari penari Kolok yang ada di Desa Bengkala.

“Di tempat lain pada umumnya, kelompok penari difabel biasanya selalu memakai kode atau aba-aba saat menari. Nah keunggulan masyarakat Kolok Desa Bengkala ini tidak, saya ingin membuktikan bahwa kelompok masyarakat difabel ini sama loh dengan kita-kita yang normal. Orang yang menonton pun, jika tidak diberi tahu tidak akan menyadari bahwa mereka itu kolot,” terang Ida.

Selain tari Bebila, Ida juga menciptakan dan mengajari satu tarian bernama Tari Jalak Anguci. Tarian ini ditarikan oleh dua penari perempuan Kolok. Ide awalnya muncul karena Pertamina memiliki penangkaran Jalak di Desa Sibang, Surabaya.

“Saya lihat gambarnya kemudian tercipta tarian karena sifat dari burung Jalak. Jalak ini jika sudah menemukan pasangan akan terus berdua karena kesetiaannya. Jalak Anguci ini juga memiliki keindahan yang cocok untuk ditarikan,” pungkas Ida.

 

Dalam mengajari warga Kolok menari membutuhkan waktu dua sampai tiga bulan. Menurut Ida selama tarian didasari oleh rasa, akan lebih mudah untuk meresapinya. Musik menjadi salah satu media dari ekspresi rasa untuk diekspresikan lewat gerakan.

Sebelum mengajar biasanya Ida sudah mempersiapkan iringan serta gerakan tariannya. Selanjutnya mengajari penari Kolok gerakan dasar. Setelah hafal ditunjukkan beberapa video yang harus penari Kolok pelajari selama satu minggu.

“Ketika kelompok difabel yang menari mereka tidak bisa mendengar atau berbicara ini menjadi kesulitan yang luar biasa. Dengan tekun kita harus memberi tahu bahwa menari harus seperti ini. Kami ada penerjemahnya yang menjembatani agar bisa semuanya itu tersampaikan. Perbedaan lainnya ialah penabuh atau pemusik yang mengiringi penari.Kuncinya semangat dan tidak mudah menyerah dalam berlatih,” tambah Ida.

Selain menari, warga Kolok juga diajarkan untuk melakukan gerakan yoga sederhana yang dikembangkan menjadi tarian. Pande Wayan Renawati, Dosen Program Studi Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar tokoh dibalik tarian yoga tersebut. Tarian yoga ini diberi nama Tarian Yogi Nandini.

“Tujuan dari tarian ini ialah agar jiwa para warga Kolok yang bisa melakukan atau pun merasakan gerakan tarian ini menjadi lebih damai dari sebelumnya dan menikmati kehidupan ini layaknya orang normal sehingga tercipta kedamaian batin dan menjadikan dirinya bahagia dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari,” jelas Pande.

Para penari Kolok sudah naik panggung atau pentas di berbagai tempat, seperti 3 bulan yang lalu di Hotel Patrajasa, di Denpasar Kampung Kepiting, Desa Buleleng, serta di KEM Desa Bengkala saat kedatangan tamu.

Ida berharap dengan pengalaman pentas yang sudah terbilang banyak, penari Kolok dapat mengembangkan potensi yang ada sehingga meningkatkan taraf ekonomi warga Kolok.

“Dengan begini, atraksi tarian penari Kolok menjadi daya tarik wisata sendiri untuk wisatawan lokal maupun asing datang ke Desa Wisata Kolok Bengkala ini.Selain itu, saya jugaingin bahwa Desa Bengkaladikenal sebagai kelompok difabel yang punya satu paket untuk pentas.Ada tari penyambutan untuk tamu,ada tari perempuannya,kemudian ada tari barisnya sehingga lengkap,” imbuh Ida.

 

(*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.