Sukses

4 Cerita Pilu Korban Selamat Tsunami Selat Sunda

Saat tsunami menerjang Pantai Tanjung Lesung dan Pantai Carita, Pandeglang, Banten, banyak orang sedang berlibur bersama keluarganya.

Liputan6.com, Jakarta - Bencana tsunami yang menerjang Selat Sunda, Banten menyisakan pilu mendalam. Ratusan nyawa melayang akibat tersapu gelombang tsunami pada Sabtu malam 22 Desember 2018.

Saat kejadian tsunami, di Pantai Tanjung Lesung dan Pantai Carita, Pandeglang, Banten, banyak orang sedang berlibur bersama keluarganya.

Beberapa dari mereka pun harus rela kehilangan anggota keluarganya. Ada yang harus rela kehilangan istri, suami, orangtua, juga anak-anaknya. Ada pula yang berhasil menyelamatkan diri dari sapuan gelombang tsunami.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, mereka berusaha menyelamatkan diri bertahan hidup di atas air laut tsunami. Setelah berhasil selamat, mereka harus tetap kuat untuk mencari sanak keluarga yang masih hilang.

Berikut 4 cerita korban selamat tsunami yang menerjang Selat Sunda yang dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Air Masuk ke Dalam Kamar

Musibah tsunami Selat Sunda di lokasi wisata Pantai Carita, Pandeglang, Banten, mengisahkan trauma sendiri bagi Bionita (30).

Salah seorang warga Kota Tangerang ini, bersama suami dan anak semata wayangnya, menjadi salah satu korban selamat dari bencana alam tersebut.

Bersama keluarga kecilnya, Bionita merencanakan liburan akhir tahun di daerah Pantai Carita, tepatnya di Villa Archipelago. Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 16.30 WIB, Bionita dan keluarganya sampai di villa tersebut.

"Kami disambut dengan air laut yang memang sudah pasang. Sempat khawatir dan tanya suami, katanya wajar kalau sudah sore jelang malam air laut pasang," ujarnya, Senin , 24 Desember 2018.

Saat itu keluarganya menanggap hal biasa. Setelah masuk kamar membereskan barang bawaan, Bionita dan suami sempat membawa anaknya yang masih berusia sekitar 1,5 tahun, untuk berenang di kolam yang tersedia.

Semua berjalan normal, hingga sekitar pukul 21.30 WIB lewat, saat ketiganya akan tidur malam, Bionita dan suami yang mendapat kamar di lantai satu dan hanya berjarak kurang dari 80 meter ke bibir pantai, mendengar suara gemuruh air yang sangat kencang.

Lalu lampu dan listrik kamar mati total, gelap tidak ada penerangan. Mereka masih berpikir positif, bila suara tersebut dari turun hujan, namun gemuruh air tersebut terdengar dekat dan berkali-kali. "Tapi kok hujan enggak ada suara gemericiknya," kata Bionita curiga.

Lalu, saat sang suami turun dari kasur untuk beranjak ke toilet, air laut yang dibawa tsunami sudah membanjiri kamarnya. "Loh kok ada air bu, air dari mana, suami sempet kaget. Eh, pas buka pintu, langsung air masuk deres ke dalam kamar," katanya.

Kepanikan pun mulai terjadi. Di tengah badan yang mulai gemetar ketakutan dan mulut berlafaz nama Illahi, Bionita langsung mengangkat anaknya dari kasur. Kemudian, lari ke lantai dua untuk menyelamatkan diri.

"Memang enggak tinggi airnya, sekitar 50 sampai 80 cm. Masih bisa dipakai jalan," katanya.

Saat itu sang suami memutuskan untuk meninggalkan villa dan kembali ke Tangerang. Dia pun mencoba menghubungi salah seorang teman untuk mencari jalan keluar asal tidak lewat jalan yang ada garis pantainya.

"Telepon sambil nangis histeris, minta jalan keluar lewat mana, asal jangan lewat jalan utama," ungkapnya.

Akhirnya atas petunjuk teman, keluarga tersebut dengan pakaian seadanya, masuk mobil dan bergegas pergi meninggalkan villa.

Malam itu di sepanjang jalan dengan tidak ada penerangan, bukan hanya Bionita yang dilanda kekalutan, melainkan wisatawan lain. Mereka berbondong-bondong cari jalan keluar, paling tidak menuju dataran tinggi.

"Cottage, villa, hotel, mayoritas sudah sepi ditinggal pengunjung. Semua gelap, ada mobil yang sudah hancur nyangkut di pohon," ujarnya.

Namun, sesampainya di depan penginapan Lippo Carita, jalan sudah tidak bisa dilewati. Warga di sana sudah ramai, memberi tahu kalau jalan sudah tertutup bongkahan yang terbawa arus kuat tsunami.

Tapi masih banyak jalan lain, warga setempat kompak memberi tahu jalan tikus masuk ke pegunungan, meski berkelok tajam, tanjakan curam, hanya itu jalan satu-satunya alternatif menuju Kota Serang.

"Tahu-tahu keluarnya di Jiput, Pandeglang, lurus ke Mandalawangi, sampailah kita di Serang. Di situ baru bisa tenang, Alhamdulillah," ujarnya.

 

3 dari 5 halaman

2. Cerita Sang Nelayan

Lelaki setengah baya berdiri di pinggiran pantai di Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang Banten. Dia berdiri tepat berada di atas rumahnya yang hancur diterjang gelombang tsunami Selat Sunda.

Wajah si nelayan bernama Azis Semang itu terluka, tangan dan kakinya pun demikian. Namun dia tetap tegar saat menceritakan detik-detik dirinya tergulung ombak sejauh 200 meter.

Ketika itu, Aziz sedang bersama istri, anak, dan ibunya di rumah. Tiba-tiba, air datang tanpa peringatan. Rumah Aziz hancur, anggota keluarganya pun turut tergulung ombak.

Awalnya, terdengar suara bising di luar rumah Aziz. Ia mengira, sejumlah orang tengah bertikai. Tetapi tak disangka, gelombang tsunami yang datang.

"Saya pikir ada orang berkelahi. Di depan ada pasar malam soalnya," ujar dia, Senin (24/12/2018).

Aziz yang penasaran dengan suara bising itu, akhirnya keluar rumah. Perkiraan Aziz tentang keributan warga ternyata salah. Air laut setinggi lima meter justru yang menghampirinya. Menerjang semua yang dilaluinya.

"Tiba-tiba (ombak datang). Saya tergulung sampai sana. Sejauh 200 meter mungkin," kata dia.

Saat diterjang ombak, Aziz hanya berupaya agar selamat. Ia pun terus memanjatkan doa, berharap anggota keluarganya juga selamat.

Setelah sekian lama terombang-ambing di lautan, akhirnya Aziz kembali ke tepian. Ia pun bersyukur, seluruh keluarganya selamat.

"Beruntung saya nelayan, terbiasa di tengah-tengah air lautan. Saya melihat anak saya sedang digendong ibu saya, mereka selamat, hanya luka-luka," kata dia.

 

4 dari 5 halaman

3. Ketegaran Ayah Kehilangan Istri dan Anaknya

Dua jenazah korban bencana alam tsunami di pantai Tanjung Lesung Anyer Banten, telah dimakamkan di tempat pemakaman umum Desa/Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin.

Dua jenazah korban tsunami asal Boyolali tersebut seorang ibu, yakni Briliyan Parmawati dan putranya Fahmi Resendriya, telah tiba di rumah duka Dukuh Tegalrejo sekitar pukul 07.30 WIB dengan dibawa dua mobil ambulance.

Jenazah ibu dan anak yang menjadi korban bencana tsunami tersebut kemudian disalatkan di sebuah masjid desa setempat, dan kemudian dibawa ke rumah suaminya, di Jalan Sambi RT 3/2 Sambi Boyolali, sekitar pukul 09.00 WIB.

Jenazah Briliyan Parmawati dan putranya Fahmi Resendriya dimakamkan di tempat pemakaman umum desa setempat, yang diberangkatkan dari rumah duka RT 3/2 Sambi sekitar pukul 12.00 WIB.

Menurut Didik Fauzi Dahlan, suami almarhum Briliyan, dirinya bersama istri dan kedua anaknya mengikuti Family Gathering PLN unit induk Jawa bagian barat yang diadakan di pantai Tanjung Lesung Anyer Banten, pada Sabtu, 22 Desember 2018.

Menurut Didik Fauzi, kegiatan Family Gathering PLN sebenarnya sudah acara terakhir dari dua hari yang digelar di pantai Tanjung Lesung.

"Kami saat kejadian duduk berempat di kursi paling depan. Namun, air dari belakang panggung tiba-tiba menerjang semua orang yang hadir di acara itu," ujar Didik, disela proses pemakaman istri dan putranya.

Menurut Didik, air tidak anya merobohkan panggung hiburan saja, tetapi menyapu seluruh orang yang hadir termasuk dirinya bersama istri dan dua anaknya. Mereka terseret terbawa tsunami.

"Saya tidak bisa menyelamatkan istri dan anak. Saya berusaha mencari kemudian menemukan anak pertama dengan selamat. Saya mencari istri dan anak keduanya tidak berhasil menemukan karena kondisi malam hari," kata Didik.

Dirinya pun melanjutkan mencari anak kedua dan istrinya, namun tidak berhasil. Saat tenaga sudah habis dan kondisi gelap, Didik pun hanya bisa pasrah.

Pencarian dilanjutkan esoknya. Dan akhirnya istri dan anak keduanya berhasil ditemukan, pada Minggu, 23 Desember 2018 pagi, tetapi dalam kondisi sudah meninggal.

 

5 dari 5 halaman

4. Terombang-ambing 7 Jam

Bencana tsunami di Selat Sunda, Banten, menyisakan kenangan kelam bagi pria bernama Willy Siska. Bencana tersebut merenggut nyawa istri dan putri sulungnya, sementara keberadaan putra bungsunya hingga kini belum diketahui.

Willy sempat tersapu gelombang tsunami dan terombang-ambing selama tujuh jam, sebelum akhirnya diselamatkan tim SAR.

Seperti ditayangkan Fokus Indosiar, Senin, 24 Desember 2018, jenazah istri dan anak Willy dimakamkan pihak keluarga Senin pagi, 24 Desember 2018. Korban bernama Yunita Primawati dan putrinya, Alya, dikebumikan dalam satu liang lahat di Pemakaman Umum Cipinang Baru, Pulogadung, Jakarta Timur.

Suasana haru mengiringi pemakaman ibu dan anak itu. Willy Siska, berupaya tegar saat menyaksikan dua orang terkasihnya dimakamkan.

Detik-detik bencana tsunami yang menyapu daratan Tanjung Lesung, Pandeglang, Banten, Sabtu malam, 22 Desember lalu, masih membekas dalam ingatan Willy Siska. Gelombang tsunami yang datang secara tiba-tiba menyeret semua yang ada di bibir pantai tanpa mampu dihindari.

Willy dan keluarganya, saat kejadian tengah berada di tenda acara gathering pegawai PLN. Willy yang sempat terseret ombak, terpisah dengan istri dan dua anaknya.

Di tengah laut, Willy sempat menyelamatkan dua anak kecil yang terombang-ambing. Ketika akhirnya diselamatkan tim SAR, Willy mengetahui istri dan putri mereka, Alya Shakina, ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Sementara itu keberadaan anak keduanya, Muhammad Ali Zaidan, yang masih berusia tiga tahun masih belum diketahui.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.