Sukses

Eva Bande dan Kelompok Sedulur Sikep Raih Yap Thiam Hien Award 2018

Juri Yosep Stanley mengatakan, Eva Bande dikenal belasan tahun mengarungi gerakan agraria.

Liputan6.com, Jakarta - Aktivis agraria Eva Bande dan Kelompok Masyarakat Pelestari Lingkungan Sedulur Sikep dianugerahi Yap Thiam Hien Award 2018. Melalui seleksi penjurian ketat, keduanya dinilai layak mendapat penghargaan dalam bidang penegakan hak asasi manusia. 

"Mereka juri anggap memiliki kontribusi besar dalam menjaga lingkungan, mereka terpilih atas perjuangannya mempertahankan tanah adat dari kerusakan lingkungan dan merawat ibu bumi," kata perwakilan juri, Yosep Stanley, saat konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (12/12/2018). 

Yosep mengatakan, Eva Bande dikenal belasan tahun mengarungi gerakan agraria. Eva berjuang membela petani Toili yang mempertahankan tanah adat dari kerusakan alam di Luwuk, Sulawesi Tengah.

"Bahkan atas perjuangannya, Eva sempat dipenjara pada 2010 atas perjuangannya tersebut. Dan pada Desember 2014 dia dibebaskan dengan grasi presiden," kata Yosep membeberkan alasan kriteria pemenang.

Sedangkan kelompok Sedulur Sikep dinilai memiliki napas senada terhadap lingkungan. Dengan kejujuran dan kepolosan mereka, Sedulur Sikep mampu menjaga nilai luhur di wilayah Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah.

"Nilai ini yang diyakini bahwa Jateng merupakan lumbung pangan nusantrara. Sehingga memberi pemahaman pentingnya air dan tanah bagi kehidupan yang melahirkan napas perlawanan terhadap tambang dan industri semen di Jateng," kata juri Imdadun Rahmat di lokasi yang sama.

Rencananya, penghargaan ini akan diberikan langsung kepada Eva Bande dan Sedulur Sikep pada pertengahan Januari 2019.

Kelompok juri penghargaan Yap Thiam Hien 2018 terdiri dari sejumlah orang. Selain Yosep dengan latar belakang Dewan Pers dan Imdadun seorang pegiat isu pluralism, ada pula Makarim Wibisono (Diplomat Senior), Clara Joewono (pegiat isu HAM), Henny Supolo (aktivis pendidikan), Maria Hartiningsih (aktivis perempuan), dan Haris Azhar (pegiat isu hukum).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kisah Eva Bande

Setelah 4 tahun mendekam di balik jeruji besi, Eva Susanti Bande akhirnya resmi mendapatkan kebebasannya pada Hari Ibu 22 Desember 2014. Presiden Jokowi telah mengabulkan permohonan grasi yang diajukan Eva.

Eva Bande adalah seorang aktivis perempuan pejuang agraria. Dia memimpin Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS), sebuah organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-hak petani untuk mendapatkan tanah yang dirampas para pemilik modal di Sulawesi Tengah.

Eva lahir di Luwuk, Sulawesi tengah, 36 tahun lalu. Selepas menamatkan SMA di kota kelahirannya, ibu 3 anak itu melanjutkan pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Tadulako. Eva lulus sebagai sarjana pada 1998.

Sejak mahasiswa, Eva telah akrab dengan dunia aktivis yang kemudian mengantarkannya pada FRAS. Hingga kemudian Eva ditangkap pada 15 Mei 2010 di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta oleh orang-orang dari tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerja sama dengan tim dari Kejaksaan Agung.

Dia dianggap melanggar hukum karena memimpin perjuangan petani melawan perusahaan sawit PT KLS di Desa Piondo, Kecamatan Toili, Sulawesi Tengah. Unjuk rasa yang semula damai kala itu berakhir ricuh. Dengan amarah, warga membakar sejumlah aset dan fasilitas milik perusahaan.

Karena itulah Eva dituduh melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 160 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya pada 12 April 2013 memutuskan vonis 4 tahun penjara bagi Eva Bande, sesuai putusan Pengadilan Tinggi Sulteng Februari 2011 dan putusan PN Luwuk November 2010.

Eva Susanti Bande, mengatakan tidak akan tobat memperjuangkan hak-hak petani miskin untuk mendapatkan kembali lahannya dari tangan korporasi besar.

"Saya tidak akan tobat. Grasi adalah awal," kata Eva Bande dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa 23 Desember 2014.

Eva juga menyatakan, grasi itu adalah langkah awal untuk melihat konflik-konflik agraria secara utuh, karena masih banyak perusahaan perampas lahan yang merajalela.

"Grasi yang diberikan presiden adalah "lampu terang" ke depan bagi langkah pembaruan agraria yang lebih baik ke depannya," kata Eva.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.