Sukses

Jaksa Nilai Mantan Kepala BPPN Tahu Kredit Petambak BDNI Macet

Jaksa menilai mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti bersama-sama dengan mantan Kepala BPPN Syafruddin bersalah atas penerbitan SKL tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan terhadap mantan Kepala Badan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar atau subsider enam bulan kurungan terkait penerbitan surat keterangan lunas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebagai obligor BLBI.

Pada tuntutannya, jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti bersama-sama dengan Syafruddin bersalah atas penerbitan SKL tersebut.

Selain menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, Dorojatun juga pernah menjabat sebagai ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada 2002. Saat menjabat sebagai Ketua KKSK, Dorojatun menerbitkan surat keputusan KKSK yang isinya tentang mengalihkan aset piutang petambak PT Darmadja Citra Dipasena (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) dari divisi litigasi ke divisi program penjualan asset management credit.

Dua perusahaan itu dijadikan Sjamsul sebagai jaminan membayar kewajibannya terkait BLBI.

Sementara itu, keputusan Dorojatun tersebut bertolak belakang dengan SK KKSK tahun 2000 produk Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Bappenas. Isi aturan Kwik Kian Gie, utang petambak tidak layak tagih maka menjadi tanggung jawab Sjamsul Nursalim sebagai pemilik dua perusahaan tambak untuk membayar utang tersebut.

Sjamsul berulang kali menolak melaksanakan SK buatan Kwik dan berulang kali pula tidak memenuhi panggilan BPPN guna mengklarifikasi penyelesaian hutang petambak yang diketahui merupakan aset BDNI dengan status kredit macet.

"Bahwa perbuatan terdakwa dan Dorojatun Kuntjoro Jakti telah mengalihkan aset piutang petambak udang atau obligor dari divisi litigasi ke divisi penjualan aset AMK berarti telah mengubah status Sjamsul Nursalim yang sebelumnya obligor tidak kooperatif menjadi obligor yang kooperatif padahal sebelumnya Sjamsul Nursalim beberapa kali menolak dan tidak mau melaksanakan SK KKSK terkait unsistainable debt petambak udang," ujar jaksa Amir Nurdianto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (3/9).

Selain itu, jaksa menilai Syafruddin dan Dorojatun Kuntjoro Jakti dianggap telah mengetahui kredit PT DCD dan PT WM bermasalah alias macet, namun tidak mempermasalahkan hal itu saat dimasukan ke perjanjian Master of Settlement and Acquisition Ageement (MSAA).

"Bahwa terdakwa dan Dorojatun Kuntjoro Jakti mengetahui bahwa piutang petambak udang yang digunakan Sjamsul Nursalim aset pembayaran atau kewajibannya yang diperjanjikan di MSAA adalah macet oleh karena itu Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif," kata jaksa Amir di sidang kasus BLBI.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tuntutan Jaksa

Atas perbuatannya, Syafruddin dituntut telah melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Penerbitan SKL BLBI oleh Syafruddin dinilai jaksa sebagai bentuk perbuatan melawan hukum. Sebab, pada proses utang BDNI, pemegang saham mayoritasnya adalah Sjamsul Nursalim, telah terjadi misrepresentatif.

Dalam uraian fakta hukum, jaksa menyebut Sjamsul Nursalim tidak menyampaikan adanya kredit macet oleh PT Darmadja Citra Dipasena (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) saat melakukan pemaparan skema pembayaran utang BDNI di BPPN. Saat itu, Sjamsul menjaminkan aset BDNI dijaminkan di dua perusahaan tersebut dengan dalih, perusahaan tambak itu memiliki kredit di BDNI.

Saat itu, piutang BDNI kepada PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun. Namun terjadi restrukturisasi sehingga utang perusahaan tersebut kepada BDNI menjadi Rp 3,4 triliun, dari jumlah itu kemudian diklasifikasikan menjadi dapat ditagih dan tidak dapat ditagih.

Sebesar Rp 1,4 triliun merupakan utang dapat ditagih sementara Rp 1,9 triliun merupakan utang tak dapat ditagih. Terhadap hutang tak dapat ditagih, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) era Kwik Kian Gie memutuskan, kewajiban itu ditanggung oleh pemilik saham, Sjamsul Nursalim.

"Kwik Kian Gie menyatakan porsi unsustainable tanggung jawab Sjamsul Nursalim. Petambak udang juga diketahui merupakan milik Sjamsul Nursalim," tutur jaksa Khairuddin.

Kwik kemudian meminta Syafruddin menangani penyelesaian utang Dipasena dengan mengeluarkan keputusan KKSK yang mengamini adanya restrukturisasi.

Syafruddin kemudian berangkat ke Lampung, petani tambak udang PT DCD dan PT WM, guna mempresentasikan tentang kewajiban utang yang harus dibayar ke negara melalui BPPN. Namun, dari presentasi itu ia menyinggung tentang penghapusbukuan

"Presentasi di Lampung sampaikan rencana hapus buku padahal keputusan KKSK tidak ada yang singgung hapus buku Dipasena," tandas jaksa kasus BLBI.

 

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.