Sukses

HEADLINE: Protes Volume Azan Berujung Bui, Benarkah Meiliana Menodai Agama?

Meiliana dihukum penjara karena mengeluhkan volume suara azan yang dianggapnya terlalu keras. Vonisnya kini diperdebatkan.

Liputan6.com, Jakarta - Meiliana, seorang ibu di Tanjungbalai, Sumatera Utara divonis 1 tahun 6 bulan penjara atas kasus penistaan agama. Semua berawal dari kata-kata, "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid, sakit kupingku, ribut." 

Kalimat itu diucapkan Meiliana pada salah satu tetangganya di Jalan Karya Lingkungan I, Kelurahan Tanjungbalai Kota I, Tanjungbalai Selatan, Tanjungbalai, Jumat 22 Juli 2016. Ia menilai, volume suara yang keluar dari speaker Masjid Al Makhsum terlalu keras. 

Permintaan itu langsung disampaikan. Entah bagaimana jalan ceritanya, malam itu juga, kediaman Meiliana didatangi para pengurus masjid. Adu argumen pun tak terelakkan.

Setelah pengurus masjid kembali untuk melaksanakan salat Isya, suami Meiliana, Lian Tui, datang ke rumah ibadah tersebut untuk meminta maaf. Namun kejadian itu terlanjur menjadi perbincangan warga.

Sekitar pukul 21.00 WIB, kepala lingkungan membawa Meiliana ke kantor kelurahan setempat. Namun, sekitar pukul 23.00 WIB, warga semakin ramai dan berteriak-teriak.

Tidak hanya itu, warga mulai melempari rumah Meiliana. Kemarahan meluas. Massa mengamuk dengan membakar serta merusak satu vihara, lima klenteng, tiga mobil, dan tiga motor.

Insiden tersebut akhirnya masuk ke ranah hukum. Meiliana dilaporkan ke pihak kepolisian. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan yang menegaskan, perempuan itu telah melakukan penistaan agama.

Meiliana kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Mei 2018 dan jaksa mendakwanya dengan Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penodaan agama.

Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara setelah mengeluhkan volume azan.

Pada Selasa 21 Agustus 2018, Meiliana berlinang air mata saat mendengar majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis penjara 1 tahun 6 bulan.

Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, menyatakan wanita 44 tahun itu terbukti bersalah melakukan perbuatan penodaan agama yang diatur dalam Pasal 156A KUHPidana.

"Atas perbuatannya, terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan, dikurangi masa tahanan," kata Wahyu. Menyikapi putusan ini, Meiliana dan pengacaranya langsung menyatakan banding.

Ketua SETARA Institute Hendardi menilai, vonis 1 tahun 6 bulan penjara kepada Meiliana merupakan bentuk peradilan sesat yang digelar Pengadilan Negeri Medan. Ia menilai, majelis hakim telah memaksakan diri memutus perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum.

"Pengadilan bukan bekerja di atas mandat menegakkan keadilan sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa. Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan," kata Hendardi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (23/8/2018).

Sedari hulu, Hendardi mengamati proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya. 

"Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas dan kelompok-kelompok intoleran," ujar Hendardi.   

Selain itu, lanjut dia, secara kuantitatif, vonis hakim juga berlebihan kalau disandingkan dengan pidana perusakan, pencurian, dan provokasi dalam konteks Kerusuhan Tanjungbalai yang sudah divonis pada Januari 2018.

Delapan terpidana dituntut rata-rata empat bulan dan kemudian divonis ringan, antara 1 bulan 11 hari hingga 2 bulan 18 hari, dikurangi masa tahanan. 

Dalam waktu segera, sambung dia, Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan unprofessional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasus Meiliana. Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja.

Infografis Protes Pengeras Suara Azan Berujung Bui. (Liputan6.com/Triyasni)

Cabut UU Penodaan Agama

Hendardi menyatakan, berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama (blasphemy law) di Indonesia mengindikasikan reformasi hukum harus segera dilakukan. Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU No 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan pemerintah dan DPR.

"Dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime)," ungkap Hendardi.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid bahkan mendesak agar undang-undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama itu harus dicabut. Karena undang-undang itu telah menjadi sumber pemenjaraan terhadap orang-orang yang diduga menistakan agama.

"Cabut undang-undang itu. Banyak pasal multitafsir yang bisa disalahgunakan. Undang-undang itu diproduksi lebih dari 50 tahun lalu saat bersifat darurat, dan sekarang tidak sedang darurat," kata Usman kepada Liputan6.com.

Menurutnya, undang-undang tersebut juga sudah tidak lagi mengikuti perkembangan zaman. "Faktanya undang-undang itu diggunakan hanya pada 10 kasus di era Orde Baru. Sementara era Reformasi malah digunakan sekitar 125 kasus," ungkap dia.

Usman menyatakan vonis pengadilan kepada Meiliana menunjukkan penerapan hukum penodaan agama semakin sewenang-wenang. 

"Menghukum seseorang hingga 18 bulan penjara karena sesuatu yang sangat sepele adalah ilustrasi gamblang dari penerapan hukum penodaan agama yang semakin represif di negara ini," kata Usman.

Usman menganggap, mengajukan keluhan tentang kebisingan suara seperti yang dilakukan Meiliana bukanlah pelanggaran pidana. Sebaliknya, ia menilai keputusan pengadilan yang menyatakan Meiliana bersalah dan dijatuhi hukuman penjara adalah pelanggaran kebebasan berekspresi yang mencolok.

"Pengadilan tinggi di Sumatera Utara harus membalikkan ketidakadilan ini dengan membatalkan hukuman Meiliana dan memastikan pembebasannya segera tanpa syarat," Usman menegaskan.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini

 

Saksikan video terkait kasus Meiliana di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penodaan Agama Atau Bukan?

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK menilai kasus Meiliana tidak terkait masalah intoleransi antarberagama. JK mengakui, dirinya sering meminta masjid dekat rumahnya untuk tidak mengeraskan volume suara masjid.

"Ini bukan soal toleransi, toleransi itu kedua belah pihak. Toleransi jangan sepihak, toleransi itu baik yang agama b atau agama a, itu dua-duanya harus toleransi," ujar JK, Kamis (23/8/2018).

Ia pun meminta kasus Meiliana ini diinvestigasi agar jelas duduk perkaranya.

"Kasusnya mungkin harus diinvestigasi jelasnya apa. Apakah yang diprotes itu pengajiannya? Saya sendiri sering di rumah, saya minta (volume) masjid jangan diperpanjang (diperkeras), karena kita sudah bangun nih, saya sering telepon masjid, 'jangan tengah malam mengaji'," katanya.

JK mengatakan, suara azan hukumnya wajib dikumandangkan. Namun volume pengeras suara masjid juga harus menghormati orang lain. 

"Jangan terlalu melampaui azan di masjid yang lainnya. Karena itu suaranya jangan terlalu keras," tuturnya.

Sementara itu, bagi Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas menilai, seseorang yang mengatakan suara azan terlalu keras tidak dapat disebut menista atau menodai agama.

"Saya tidak melihat ungkapan suara azan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu," kata dia.

Sebagai muslim, Robikin menjelaskan, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama atau keyakinan yang dianut.

"Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," kata Robikin yang juga advokat konstitusi ini.

Terpisah, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir menilai kasus yang membelit Meiliana menjadi pembelajaran berharga bagi seluruh umat di Tanah Air.

Setiap umat harus menjunjung tinggi toleransi dan menjaga perasaan umat lain.

"Misalkan di masjid tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang beda agama, yang di gereja juga gitu. Warga juga jangan terlalu sensitif juga. Kadang masyarakat kurang proporsional juga, kalau ada hiburan kadang tanpa izin gede-gede suaranya enggak terganggu tapi ada suara azan dikit kencang terganggu," ujarnya.

Dia menegaskan, mengumandang azan penting bagi umat Islam. Azan sebagai pengingat bahwa waktu salat telah tiba.

"Azan harus terdengar sehingga yang dengar tahu dipanggil azan. Kalau azan di dalam hati enggak kedengaran. Soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing-masing, bukan soal besar kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja," ucap dia.

Haedar Nasir berpandangan, rasa toleransi dan saling menghargai mulai menipis di lingkungan masyarakat. Hal itu terlihat dari kasus yang menimpa Meiliana.

"Ini ada rasa yang hilang antarwarga masyarakat. Ini yang mesti kita bina. Yang satu saking semangatnya azan kencang, yang satu terlalu sensitif juga. Padahal ketika dengar lagu dangdut di samping dia enggak terganggu. Ada sesuatu yang perlu didialogkan," Haedar Nasir memungkasi.

Sementara itu, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin berpendapat, penerapan Pasal 156a UU 1/PNPS/1965 dalam kasus Meliana tak bisa berdiri sendiri, karena harus dikaitkan dengan konteks Pasal 1 UU tersebut.

Pasal 1 UU tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu."

Menteri Lukman mengatakan, berbeda pendapat dengan putusan hukum, apalagi belum in-kracht atau berkekuatan hukum tetap, adalah hal biasa dan wajar.

"Itu bukan berarti tak percaya hukum, apalagi melawan hukum," kata dia dalam akun Twitternya, @lukmansaifuddin.

3 dari 3 halaman

Pengaturan Pengeras Suara Masjid

Kondisi pengeras suara masjid yang berbeda-beda suaranya sempat menjadi perhatian Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2015. Pria yang karib disapa JK itu langsung membentuk tim untuk mencari tahu penyebab perbedaan tersebut.

"Jadi Pak JK bentuk tim untuk memantau suara pengajian dengan kaset yang keras dan tidak beraturan.‎ Suara masjid itu bikin orang tidak fokus. Beda-beda suaranya," kata Juru Bicara Wakil Presiden, Husain Abdullah.

Tim tersebut mengumpulkan sampel suara masjid dari beberapa wilayah di Indonesia. Wilayah yang dijadikan sampel adalah Medan, Bandung, Makassar, Jakarta, Malang, Madura, dan Semarang.

"Pak JK lagi menghimpun fakta di lapangan untuk dibahas seberapa tingkat kebisingan suara. Ada yang ngaji, tapi yang lain sudah azan. Ini tidak sinkron, sudah masuk waktu salat atau bagaimana. Nantinya akan diatur supaya apik, tidak saling mendahului," ujar Husain.

Saat ini, ungkap Husain, tim tersebut masih bekerja. "Malah ada pelatihan yang dibikin Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ada mobil keliling untuk membantu mengatur volume tingkat kebisingan pengeras suara masjid," ungkap Husain kepada Liputan6.com, Kamis (23/8/2018).

Menurut Husain, JK sangat peduli dengan perlu diaturnya volume pengeras suara masjid agar tidak tumpang tindih antara satu masjid dengan masjid lainnya dan terdengar enak. 

Terkait kasus Meiliana ini, sambung Husain, DMI yang juga diketuai Jusuf Kalla akan mengirim saksi ahli jika dibutuhkan pengadilan. "Untuk memberi masukan," Husain memungkas.

Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) juga merasa pengeras suara di masjid mulai rusak dan menimbulkan polusi suara.

"‎Sound system itu yang selama ini ada di masjid-masjid itu kebanyakan jelek, 80 persen jelek jadi tidak kedap suara, padahal orang di masjid atau musala 50 persen mendengar," tutur salah satu Ketua PBNU Imam Aziz.

Selain itu, Imam juga menyampaikan pihaknya‎ menolak bila pengajian dengan memutar rekaman kaset. Bila demikian, yang mendapat pahala adalah kaset tersebut.

"Oh iya pasti itu (mendukung pelarangan mengaji menggunakan kaset). Pasti itu sangat mendukung karena jangan nanti yang dapat pahala kasetnya," tandas Imam.

Aturan di Negara Lain

Aturan volume suara azan diterapkan di sejumlah negara Islam atau yang mayoritas penduduknya adalah muslim, termasuk Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Malaysia, Uni Emirat Arab.

Sejak 2015 silam Kementerian Agama Islam di Arab Saudi melarang masjid menggunakan pengeras suara di bagian luar, kecuali untuk azan, salat Jumat, salat Idul Fitri dan Idul Adha, serta salat minta hujan.

Kebijakan ini diambil menyusul maraknya keluhan warga ihwal volume pengeras suara yang terlalu besar. Arab News melaporkan, tahun lalu masjid-masjid diperintahkan mencabut toa dari menara.

Belum lama ini Kementerian Agama Islam di Bahrain memperpanjang larangan penggunaan pengeras suara di masjid selain untuk azan.

Lantaran banyak keluhan, pemerintah juga meminta masjid menurunkan volume pengeras suara.

"Islam adalah soal toleransi, bukan mempersulit kehidupan orang lain dengan mengganggu lewat pengeras suara," kata Abdallah al-Moaily, seorang pejabat lokal kepada GulfInsider.

Di Malaysia, aturan ihwal pengeras suara masjid bergantung pada negara bagian masing-masing.

Penang, Perlis dan Selangor termasuk negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk azan.

Dalam fatwanya, mufti Perlis, Datuk Asri Zainul Abidin, menegaskan larangan tersebut sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad untuk tidak mengganggu ketertiban umum.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.