Sukses

Game Jadi Pemicu Tawuran Pelajar?

Di zaman serba internet dan akses mudah bermain game seperti sekarang, dunia maya perlu menjadi perhatian.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus menyoroti kebiasaan tawuran pelajar dari tahun ke tahun. Kini game kekerasan juga dinilai menjadi salah satu penyebab para pelajar nekat melakukan aksi brutal.

Komisioner KPAI Rita Pranawati menyampaikan, pada dasarnya tawuran berangkat dari konsep para pelajar yang dalam masa pembentukan. Di zaman serba internet dan akses mudah bermain game seperti sekarang, dunia maya perlu menjadi perhatian.

"Jadi dunia maya kan sangat berpengaruh. Misalnya main game itu kan sangat mudah untuk memukul, membunuh, dan seterusnya. Tapi kan ada nyawa cadangan. Sementara kalau di beneran kan enggak ada nyawa cadangan. Sebenarnya kebanyakan main game itu juga menghilangkan empati, menghilangkan kesukaan sosial, dan itu menjadi problem," tutur Rita saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (2/8/2018).

Menurut Rita, game sendiri memang menjadi budaya yang mendarah daging di kalangan pelajar. Dia mengakui, pada dasarnya belum ada riset tegas menyatakan signifikansi game terhadap aksi tawuran yang tidak kunjung hilang. Namun tetap menjadi penting untuk dilihat sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi perilaku tindak kekerasan.

"Karena kan itu mendarah daging di pola perilaku, dan bisa menimbulkan agresifitas," jelas dia.

Di usianya, para pelajar juga dianggap lebih banyak mencari sensasi dengan terjun dalam aksi tawuran. Tanpa pikir panjang, mereka berharap dapat terlihat lebih keren, macho, dan berani. Ada kepuasan tersendiri yang seharusnya bisa disalurkan lewat kegiatan lain yang lebih positif.

"Kadang-kadang dia bukan beneran mau menghabisi nyawa, jadi hanya mencari sensasi, tidak berpikir panjang. Artinya ini kan ada bagian problem dari konteks pengasuhan," kata Rita.

Soal pengasuhan, lingkungan keluarga juga dituntun ikut perhatian. Mulai dari menjaga si anak agar tidak sembarangan keluar di malam hari, hingga izin penggunaan kendaraan di situasi mereka yang belum cukup umur.

"Misalnya malam harusnya anak ada di rumah tapi kemudian orangtua membiarkan anak tidak ada di rumah bahkan pergi. SMP naik motor itu juga kan tidak dibenarkan. Artinya peran orang tua juga menentukan, anak ini main boleh pakai motor dan seterusnya itu kan sangat berpengaruh kepada situasi anak sebenarnya. Jadi terlalu loss dengan aturan," beber dia.

Tawuran juga disebut merupakan bagian dari bullying. Hanya saja menjadi lebih brutal lantaran penggunaan senjata tajam di dalamnya. Sebab itu, edukasi dari semua pihak seperti keluarga, sekolah, hingga lingkungan masyarakat perlu bersinergi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Libatkan Masyarakat

Tanggap sekitar tidak hanya menjadi tugas aparat kepolisian yang rutin berpatroli. Masyarakat perlu sigap saat melihat para anak muda yang sedang berkumpul tanpa ada indikasi aktivitas positif di dalamnya.

"Kalau mereka punya aktivitas yang positif, energinya akan terserap ke situ. Sementara sebagian besar pelaku itu kan iseng dan mencari-cari sensasi. Itu yang sebenarnya problematik," Rita menandaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.