Sukses

HEADLINE: SBY Sulit Merapat ke Jokowi, Megawati Jadi Penghalang?

SBY menyebut hubungannya dengan Megawati belum pulih. Ini yang menyebabkan Demokrat berpaling dari koalisi Jokowi. Bagaimana sebenarnya?

Liputan6.com, Jakarta - Usai konferensi pers bersama Zulkifli Hasan, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY meminta awak media untuk tetap berada di tempat. Ada hal penting yang akan diutarakan Ketua Umum Partai Demokrat itu terkait sikapnya dalam Pilpres 2019 mendatang.

Dalam keterangan yang disampaikan di kediamannya, SBY mengungkapkan bahwa partainya sangat berat bergabung dengan koalisi Jokowi. Ada sejumlah faktor yang menyumbat langkahnya masuk dalam koalisi.

SBY menyebut hambatan itu datang dari koalisi Jokowi. Selain itu, juga hubungannya yang tak harmonis dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

"Realitas hubungan Ibu Mega dengan saya belum pulih, jadi masih ada jarak, masih ada hambatan," ungkap SBY di Mega Kuningan, Jakarta, Rabu malam (25/7/2018).

Keluhan SBY itu tak ditanggapi serius oleh PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut SBY memang kerap mengeluhkan hal tersebut. Dalam jejak digital, Presiden ke-6 RI itu acap beberapa kali melontarkan masalah komunikasi dengan sang ketua umumnya.

"Silakan lihat dalam jejak digital maupun media cetak, bahwa menjelang pemilu pasti Pak SBY selalu menyampaikan keluhannya tentang Ibu Megawati," kata Hasto kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Bahkan Hasto menyebut perilaku SBY itu sebagai keluhan musiman. Padahal, kata dia, selama ini Megawati baik-baik saja. Megawati memilih diam karena meyakini pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang.

Terlebih bila merunut ke belakang, manuver SBY itu mengingatkan Hasto pada saat pemilihan presiden 2004 silam. Ia mengatakan, saat itu SBY juga memposisikan diri sebagai korban.

"Saat itu Pak SBY menyatakan diri sebagai orang yang dizalimi. Secara psikologis, seharusnya yang menzalimi itu kan yang merasa bersalah, tetapi kenapa ya Pak SBY justru tampak sebagai pihak yang merasa bersalah dan selalu menuduhkan hal yang kurang pas tentang Ibu Mega?" ia berujar.

Infografis SBY-Megawati (Liputan6.com/Triyasni)

Sementara itu, Wasekjen PDIP Eriko Sutarduga saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, menyebut unek-unek SBY terhadap Megawati sebagai alasan klasik.

"Selalu menjadikan pihak lain. Tidak pernah ada Ibu Mega menolak untuk bergabung Partai Demokrat, tidak pernah, bahkan tidak pernah mencampuri untuk urusan koalisi ini," tegas Eriko kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Selama ini PDIP tidak pernah menutup pintu rapat-rapat kepada Partai Demokrat untuk masuk koalisi. Menurut Eriko, sang Ketua Umum pun tidak pernah mencampuri permasalahan ini. Megawati selalu menempatkan diri sesuai kapasitasnya.

Namun tak dipungkiri, Jokowi sebagai petugas partai harus tetap berkonsultasi kepada Megawati. Ketika dimintakan pendapat, Megawati juga tak segan-segan menyampaikan saran ataupun wejangannya.

"Bagaimana pun juga kan Pak Jokowi datang dari PDIP. Ini kan hal yang wajar. Tapi kalau tidak diminta, tidak ada beliau menyampaikan bahwa ini harus dipatuhi ini tidak. Tidak ada sama sekali," tegas dia.

PDIP mengajak semua kontestan Pemilu agar menggunakan cara yang baik dalam mengambil hati rakyat. Partai politik, lanjut Eriko, diharapkan bisa menghadirkan kandidat unggulan agar dapat mendulang suara pemilih.

"Bukan berarti misalnya kita memberikan seolah-olah kami ini dalam kondisi yang misalnya patut dikasihani. Kan sebenarnya tidak ada hal-hal seperti itu," kata Eriko.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Ingin Matahari Kembar

Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat (PD) Ferdinand Hutahaen membeberkan alasan partainya enggan merapat ke koalisi Jokowi. Alasan utama terkait hubungan SBY dan Megawati yang belum mencair.

Hubungan keduanya mulai bercelah sejak menjelang Pemilihan Presiden 2004 silam. SBY yang kala itu menjabat Menko Polhukam di Kabinet Mega mengundurkan diri dari jabatannya. Dia kemudian maju sebagai calon presiden. Keduanya lantas bertarung di Pilpres 2004, dengan SBY keluar sebagai pemenang.

Kemenangan SBY itu menyisakan jarak yang renggang dengan Megawati. Namun SBY berkali-kali berusaha mendinginkan hubungannya, termasuk dengan meminta bantuan suami Mega, Almarhum Taufik Kiemas. Namun upaya itu belum juga membuahkan hasil.

"Kita tahu hubungan Bu Mega dan Pak SBY sampai saat ini belum cair. Ini jadi dinding yang tinggi bagi kita," ucap Ferdinand di DPP Partai Demokrat, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2018).

Meskipun begitu, dia menuturkan bahwa sejak awal, Demokrat telah membangun komunikasi dengan PDIP lewat bertemunya SBY dengan Presiden Jokowi.

Namun dia menceritakan, bagaimana kondisi yang akan mungkin terjadi jika kedua partai suatu hari benar-benar berkoalisi.

Ferdinand mencontohkan jika diadakan sebuah rapat, tidak mungkin Megawati memimpin rapat dan SBY ditempatkan sebagai pengikut di sana. Sebab, kata dia, ketua umumnya merupakan Presiden Indonesia selama 10 tahun.

"Konsep dari koalisi ini, Partai Demokrat harus ada mutual respect. Nah, inilah yang menjadi tembok sampai semua clear," ujar Ferdinand.

Karena itu dia mengakui bahwa hubungan kedua ketua umum tersebut memang sangat berpengaruh untuk terbentuk atau tidaknya koalisi di antara mereka.

"Karena Partai Demokrat tidak bisa ditempatkan sebagai follower. Kita ini partai besar, baru satu-satunya presiden 10 tahun pascareformasi. Tidak bisa disepelekan posisi kita," tegas dia.

Selain itu, Ferdinand menampik bila ketua umumnya terbawa perasan atai 'baper'. Justru SBY tidak ingin mengganggu kenyamanan Megawati dan Jokowi.

"Bayangkan di situ, Bu Mega itu tidak mau ada dua matahari di sana. Kalau ada SBY di sana, nanti lama kelamaan koalisi malah pindah ke SBY dan justru Mega yang baper," kata Ferdinand.

"Justru Pak SBY nya yang sangat bijaksana, tidak mau mengganggu hubungan baik bu Mega dengan pak Jokowi, maka beliau mengurungkan dirinya di sana. Jadi bukan baper, kalau disebut SBY baper ya itu salah," sambung dia.

Sikap SBY ini bukan juga sebagai keluhan musiman karena jelang Pemilu dan Pilpres 2019. Justru komunikasi antara Jokowi dengan SBY yang terjalin baik dianggap tidak harmonis karena Megawati.

"Seperti yang dikatakan Mas Hasto (Sekjen PDIP) barrier ada di Jokowi, justru yang tidak pernah ingin bertemu dan berbaikan dengan Pak SBY itu bu Mega. Bahkan almarhum Taufiq Kiemas (suami Megawati) berulang kali mencoba mencairkan hubungan Pak SBY dengan Bu Mega tidak kunjung bisa," tambahnya.

Untuk itu, Ferdinand meminta para pihak tak menyebut jika SBY yang 'baper', apalagi bila SBY banyak permintaan. Demokrat juga tidak pernah menuntut banyak kepada Ketum Gerindra Prabowo Subianto saat melakukan penjajakan koalisi.

"Itu fakta. Jadi jangan dibangun narasi-narasi seolah olah pak SBY terlalu banyak maunya dan itu tidak baik di dalam kancah politik kita nanti karena akan menjadi pemicu-pemicu pertentangan narasi di tengah publik. Kasihan masyarakat kita menonton elite kita ribut terus," imbuhnya.

 

3 dari 3 halaman

Keinginan Tergerus Egoisme

Direktur Eksekutif Populi Center Usep S Ahyar menilai, curhatan SBY tentang Megawati menjadi hambatan di koalisi dianggapnya sebagai kebalikannya. Menurut dia, sebenarnya ada keinginan dari SBY untuk bergabung dengan koalisi Jokowi.

Namun begitu, imbuh dia, SBY lebih mementingkan egonya karena ada hambatan secara psikologis dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

Padahal menurut Usep, partai pendukung Jokowi tidak hanya PDIP saja, tetapi ada beberapa partai lain seperti Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"Maka kalau melihat, mencermati survei dan sebagainya dinamika politik, sepertinya saya melihat bahwa keinginan atau prioritas utama (SBY) adalah untuk cerahnya AHY itu di Pak Jokowi. Kemudian akhirnya dia curhat, ada persoalan-persoalan," kata Usep saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Sedangkan mengenai curhatan SBY, dia menyebut hal tersebut merupakan gaya komunikasi yang sering digunakan. Seperti saat SBY masih menjadi presiden selama dua kali periode.

"Itu gaya dan khas SBY, di masa lalu, ketika jadi presiden juga banyak curhat. Tentang banyak ancaman atas dirinya lalu kemudian soal kerjanya tidak dianggap berhasil terus tentang kritik, itu gaya pengungkapnya seperti itu," ucap Usep.

Pandangan berbeda disampaikan Direktur eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan. Dia menilai pernyataan SBY itu sebagai penegasan bahwa Demokrat lebih condong memilih kubu Prabowo Subianto. Pilihan itu diambil lantaran adanya hambatan yang sangat berarti bagi SBY dalam kubu Jokowi.

"Penjelasan kepada pihak di internal partainya atau yang lain bahwa dia (SBY) tidak bergabung ke koalisi Jokowi bukan karena dia tidak mau, tapi karena ada halangan itu," tutur Djayadi saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Kamis malam (26/7/2018).

Dia menambahkan, awalnya SBY belum menentukan arah koalisi Pilpres 2019. Komunikasi dengan Jokowi dan Prabowo masih terus terjalin dengan baik. Bahkan sinyal koalisi dengan Jokowi sempat memancar kuat di arena Rapimnas Partai Demokrat, Sabtu 10 Maret 2018.

Namun dalam perkembangannya, pihak Jokowi dianggap lebih banyak halangan. Partai Demokrat akhirnya lebih cenderung memilih berada dalam barisan Prabowo Subianto.

"SBY kan punya kriteria. Salah satu kriterianya adalah iklim yang baik dan saling mempercayai. Nah di kubu Jokowi, dia menyatakan melalui sindiran bahwa iklim yang baik dan saling mempercayai itu tidak didapatkan. Sementara di kubu Prabowo, dia mendapatkan iklim yang baik dan mutual respect," terang Djayadi.

Dia menilai langkah Partai Demokrat yang tidak berlabuh ke Jokowi bukan sebagai sikap yang tidak konsisten. Tapi itu sebagai penegasan bahwa ada halangan yang sulit ditembus Demokrat untuk masuk ke gerbong Jokowi.

"Bukan berarti dia mencla-mencle bahwa dia mengatakan mau bergabung ke kubu Jokowi ternyata enggak. Jadi dia mengatakan mau ke Jokowi tapi ada halangan di situ. Jadi bukan salah beliau," ucap Djayadi.

Namun begitu, dia belum dapat memastikan langkah Partai Demokrat akan terhenti di barisan Prabowo Subianto. Dalam politik semuanya masih bisa terjadi.

"Kalo pasti tidak ada kata pasti ya tapi lebih besar kemungkinan ke situ, semakin jelas," tegas Djayadi.

 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.