Sukses

Filosofi di Balik Lezatnya Rendang Minangkabau

Bagi masyarakat Minangkabau, rendang memiliki posisi terhormat dan mengandung filosofi tersendiri.

Liputan6.com, Solok Selatan - Arak-arakan itu memecah keheningan di Pakan Raba'a, Satu Nagari di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Bararak, merupakan bagian prosesi yang khas dari rangkaian pernikahan adat Minangkabau.

Seperti ditayangkan Potret SCTV, Senin (18/6/2018), gerak rancak tari Galombang, perlambang kebersihan dan kejernihan hati menyambut sepasang insan yang telah terikat janji suci. Penyatuan dua keluarga besar dan kaum yang disimbolkan dalam mengecap sekapur sirih.

Dan bagi Urang Minang, besar maupun kecil perhelatan, tiada perjamuan tanpa satu menu pamungkas. Rendang, puncak tradisi tata boga yang mengakar kuat dalam masyarakat Minangkabau. Cita rasa yang kaya hasil olahan daging, dalam paduan santan dan beragam rempah dan bumbu. Rendang, tak hanya jadi bagian Urang Minang, tetapi menjadi identitas Indonesia yang sudah mendunia.

Tertempa oleh waktu berabad-abad, kepiawaian kuliner nenek moyang tertuang dalam restoran atau rumah makan Minang. Satu di antara yang tertua dan hingga kini tetap bertahan, yakni Restoran Selamat di pojok kawasan Pasar Raya, Kota Padang.

Di restoran yang telah tiga generasi berdiri ini, rendang menjadi menu primadona. Kelapa, satu bahan kunci dalam seni memasak di Minangkabau, terutama untuk pembuatan rendang. Dan di ranah Minang, keahlian memilih dan memetik kepala tua untuk dijadikan santan jadi spesialisasi beruk.

Tiada bukti otentik mengenai asal muasal rendang. Catatan tentang kuliner tradisional Minang baru masif di awal abad ke-19 masehi. Pastinya, enam tahun lalu kantor berita raksasa asal Amerika Serikat, CNN, menempatkan rendang dalam posisi teratas daftar 50 hidangan terlezat dunia.

Bagi masyarakat Minangkabau, rendang memiliki posisi terhormat. Mengandung filosofi tersendiri, yakni musyawarah dan mufakat.

Rendang berasal dari kata marandang, yang berarti mengeringkan. Buah kesabaran dan ketelatenan proses selama sekitar empat jam di atas api kecil, menghasilkan puncak karya seni memasak yang menjadi pusaka turun temurun bagi masyarakat Minangkabau. (Galuh Garmabrata)