Sukses

Kontras Sebut Revisi KUHP Bertentangan dengan UU Pengadilan HAM

Revisi KUHP hanya bisa memidana peristiwa yg terjadi dikemudian hari, padahal dalam UU Pengadilan HAM secara ekplisit disebutkan pelanggaran HAM berat ini masuk kategori berlaku surut.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bidang Advokasi Kontras, Putri Kanesia menyebut, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurut Putri, hal ini terlihat dari sejumlah poin yang dimasukan ke dalam revisi KUHP, khususnya tentang Tindak Pidana Berat terhadap HAM.

"Itu sebenarnya akan menghilangkan keputusan dari undang-undang tentang pengadilan HAM itu sendiri," kata Putri di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (3/6/2018).

Putri mengatakan ada sejumlah poin dalam revisi KUHP yang bertentangan dengan Undang-Undang Pengadilan HAM. Justru, kata dia, revisi KUHP ini malah menurunkan 'kelas' dari penindakan kasus pelanggaran HAM berat.

Yang pertama, kata Putri, adalah revisi KUHP tidak berlaku surut bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Artinya, revisi KUHP hanya bisa memidana peristiwa yg terjadi di kemudian hari. Padahal, menurut Putri, dalam UU Pengadilan HAM secara ekplisit disebutkan bahwa pelanggaran HAM berat ini masuk dalam kategori retroaktif atau berlaku surut.

"Artinya peristiwa yang terjadi tahun 65, itu bisa dipidana hari ini atau besok, ketika pengadilannya sudah ada. Tapi dengan adanya RUU KUHP, yang memang asasnya adalah tidak berlaku surut, peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu itu tidak dapat dipidana. Hanya memidana peristiwa yang terjadi pasca KUHP ini disahkan. Ini juga menutup peluang terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang sampe hari ini belum tuntas," terang Putri.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Ancaman Hukuman

Kemudian, Putri menambahkan dalam revisi KUHP tidak mengatur pelaku pelanggaran HAM berat dipidana dua kali. Hal ini, kata dia, juga bertentangan dengan Undang-undang tentang Pengadilan HAM.

"Karena gini, kalau dalam pelanggaran HAM berat itu di Undang-undangnya, itu memungkinkan, pelaku yang telah diadili melalui mekanisme peradilan militer, atau misalnya melalui mekanisme peradilan lain. Tapi kemudian ada keterlibatan dalampelanggaran HAM, dia bisa dibawa ke pengadilan HAM Ad Hoc. Tapi dalam RUU KUHP ini menutup ruang untuk diadili. Jadi langkah untuk melakukan keadilan itu jadi lebih sempit lagi," tambah Putri.

Yang terakhir, sambung dia, adalah tentang ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Di dalam revisi KUHP, ancaman hukuman minimalnya turun menjadi 5 tahun dan ancaman maksimalnya hanya 10 tahun. Padahal dalam UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa ancaman hukuman bagi pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran HAM berat minimal 10 tahun dan maksimal 25 tahun.

"Jadi ada pergeseran hukuman. Pelanggaran HAM berat ini adalah kejatahan yang sifatnya luar biasa. Tapi RUU KUHP tidak memasukan bahwa ini sifatnya khusus dan extra ordinary. Justru menurunkan derajat dari kejahatan pelanggaran HAM itu sendiri," tandas Putri.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.