Sukses

Mengapa Sulit Deteksi Penyebaran Paham Radikal di Zaman Milenial?

Sebelum ada media sosial, peta penyebaran paham radikal mudah terdeteksi sebab ruang lingkupnya masih sangat terbatas.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Asosiasi Pengusaha Muda Indonesia Sam Aliano meminta agar ceramah yang diposting ke akun media sosial youtube tak menyinggung konflik yang ada di negara Timur Tengah. Karena hal tersebut sangat disenangi oleh para teroris.

Selain itu, dirinya meminta agar ceramah yang diposting melalui youtube itu tak berisi hal-hal yang berbau konten negatif atau tak baik. Kemudian tak boleh membawa politik atau mengomentari serta menghakimi agama atau mazhab orang lain yang bisa memicu terjadinya konflik.

"Dan juga tidak boleh membawa musibah konflik Timur Tengah ke Indonesia dalam ceramah, karena ini bisa dimanfatkan para teroris untuk bakar semangat dan cuci otak anak muda, sehingga ikut berbuat teror," kata Sam melalui keterangan tertulis, Jumat (25/5/2018).

Sam juga berharap agar dalam ceramah jangan membawa konflik negara lain ke Indonesia. Dia menilai orang Indonesia yang pergi ke Suriah dan ikut teroris Al-Qaeda, telah mengkhianati Indonesia, sehingga tak boleh masuk Indonesia lagi karena membawa bom.

"Lebih baik mati di sana saja, biar jadi pelajaran kepada yang lainnya yang ingin pergi ke sana. Ini Indonesia, harus aman," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pengaruh Media Sosial

Sementara itu, Pengamat Terorisme Noor Huda Ismail menilai media sosial masih menjadi sarana untuk mempermudah penyebaran radikalisme, terutama di Indonesia. Sebelum ada media sosial, kata dia, peta penyebaran paham radikal mudah terdeteksi sebab ruang lingkupnya masih sangat terbatas.

"Tapi setelah adanya media sosial, ajaran-ajaran atau doktin radikal itu bisa menyasar siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Pemerintah pun akan sulit mendeteksinya," kata Noor Huda dalam sebuah diskusi di Komnas HAM Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).

Menurut dia, pemerintah dapat melakukan metode soft approaching atau pendekatan halus. Melalui pendekatan ini, pemerintah dapat memanfaatkan mantan pelaku teror untuk menjadi agen melakukan upaya deradikalisasi.

"Agen yang tepat adalah orang yang pernah ada di dalam, kita sering mengajak atau mentransformasikan orang-orang yang pernah menjadi pemain ini sebagai pihak yang meradikalisasi," jelas Huda.

Huda mengatakan pendekatan deradikalisasi secara soft approach itu penting dilakukukan pemerintah. Sebab, seseorang yang terdampak pemikiran radikal dan menjadi teroris tak muncul secara tiba-tiba.

Ia mengatakan bahwa proses seseorang menjadi teroris dikarenakan adanya proses yang panjang.

"Karena tak ada orang yang terlahir langsung menjadi teroris," kata dia.

Reporter: Nur Habibie 

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.