Sukses

Aksi Teror di Indonesia, Siapa Bertanggung Jawab?

Salah satu yang menjadi efek samping dari terorisme mengatasnamakan Islam, tumbuhnya Islamophobia. Apalagi ditambahi dengan ketidaktahuan dan generalisasi.

Liputan6.com, Jakarta - Rentetan serangan teror yang melanda Indonesia dalam pekan terakhir ini, membawa duka mendalam bagi masyarakat, bukan saja bagi keluarga korban, namun juga bagi semua masyarakat yang tengah berusaha merawat kerukunan di negeri ini.

Beberapa waktu lalu, setelah aksi pemboman di gereja, ada kawan saya yang merupakan seorang pemuka agama Nasrani mengirim pesan ke saya. Intinya, dia yakin orang Islam masih banyak yang baik-baik, yang meledakkan gereja dan membunuh jemaah kemarin adalah yang tersesat. Jujur saat itu saya merasa sedih.

Saya sadar, pelaku teror beberapa waktu lalu adalah orang Islam. Fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Disamping bukti kuat tulisan status di kolom agama KTP, mereka juga bersyahadat, menjalankan salat, puasa, zakat, dan berhaji jika mampu, semua rukun yang membedakan orang itu Islam atau bukan sudah jelas.

Memang, meskipun satu agama, pemeluknya berkelompok-kelompok. Dalam hadits juga disebutkan demikian. Yang menjadi masalah, banyak kelompok masih saling menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah, bahkan harus diperangi.

Islam adalah satu wadah mulia, satu keluarga. Dalam keluarga, memang ada anak yang baik ada anak yang kurang ajar. Saat anak yang kurang ajar tadi berulah, bikin keributan, maka nama keluarga akan menjadi sorotan.

Inilah satu yang juga menjadi efek samping dari terorisme mengatasnamakan Islam, tumbuhnya Islamophobia. Apalagi ditambahi dengan ketidaktahuan dan generalisasi.

Lalu apakah karena saudara kita ada yang berulah, kita lalu tidak menganggap mereka saudara?

Mencoret namanya dari Kartu Keluarga kayak baru ngilangin Tupperware emak yang cicilannya belum kelar? Sebagai saudara yang bijak, kita harus bersikap ksatria.

Mohonkan maaf. Tentu setelah itu kita yang harus mengislah dan memperbaiki saudara yang salah tersebut, hajar kalau perlu. Kitalah yang sebenarnya paling bertanggung jawab untuk membenahinya, karena kalau berulah kitalah yang paling banyak dapat getahnya.

Pilihan untuk denial atau mengingkari hanyalah akan membuat mereka semakin jauh dan terasing. Kondisi tersebut justru seakan membenarkan doktrin mereka yang mengusung "keterasingan" sebagai sebuah kemuliaan.

Pernah sekitar 2013 awal, ada beberapa teman kuliah yang minjem kamar saya buat kumpul. Mereka bernasyid "ghuroba" sambil berlinangan air mata.

Beberapa bulan kemudian, mereka hilang dan ternyata masuk ISIS ke Suriah.

Bagi mereka, "Islam datang sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi asing" adalah justifikasi bagi keterasingan mereka. Jika kita semakin mengasingkan mereka dengan pengingkaran, maka kita telah menciptakan monster-monster, seperti Erik Killmonger dari Wakanda.

Kitalah yang paling bertanggung jawab untuk merangkul mereka, agar kembali ke jalan yang damai, yang rahmatan lil 'alamin, namun tetap berkeadilan.

Jika mereka (para teroris) dibiarkan semakin jauh, kita akan sulit mengajaknya kembali. Harus teriak teriak, atau bahkan lempar sandal baru noleh.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kembalikan Mereka

Ada juga beredar ujaran, "tembak mati saja mereka kalau ketemu" atau "bunuh saja para teroris di rutan". Menurut saya, ini juga tidak dibenarkan. Prosedur tembak mati jelas ada aturannya, yaitu hanya jika mereka melawan atau membahayakan aparat.

Kelompok yang terpapar radikalisme masih memiliki masa depan, Allah Maha Mengubah hati, Muqollibul Qulub. Masih ada jalan dan cara untuk mereka kembali memilih jalan damai dalam berjuang.

Memang mereka kalau diajak kembali, kadang nyolot dan bikin kesel. Tapi memang demikian tantangan dalam mengajak, dalam berdakwah. Rasulullah dulu mengajak untuk masuk Islam juga sabar dan penuh kasih.

Menghadapi saudara yang nakal memang butuh kesabaran, dan Allah bersama orang yang sabar.

Para napi terorisme yang tertangkap dan menjalani deradikalisasi banyak kok yang kemudian sadar, dan bahkan mereka malah membantu untuk mengungkap jaringan-jaringannya.

Banyak dari mereka menjadi damai kembali, dan mengajak rekan lain untuk juga kembali damai.

Saya jadi ingat foto Pak Umar Patek saat tersenyum setelah menjadi Paskibra waktu 17 Agustusan di penjara. Dulu, kepala Beliau berharga 1 juta dolar. Ditangkap di Abottabad, hanya 1,5 jam dari tempat saya kuliah, dan diekstradisi ke Indonesia.

There is always goodness in people, and we must believe in this!

Rekan kepolisian kita telah menunjukkan kesabaran dan kebaikan saat pemboman di Polrestabes Surabaya. Anak pelaku yang masih hidup, langsung digendong dan diselamatkan oleh seorang polisi. Padahal rekannya baru saja jadi korban orangtua anak tersebut.

Lagi-lagi kita harus adil. Yang salah harus menerima konsekuensinya. Mungkin Islamophobia adalah hukuman bagi kita karena belum maksimal memperingati, mendakwahi saudara-saudara kita. Namun tentu kita dapat memperbaikinya.

Daripada mengeluh di medsos sambil merasa paling dizalimi, alangkah baiknya kita tunjukkan Islam yang penuh kasih dan damai. Pelaku Islamophobia akan berhenti sendiri kok.

Terorisme di Indonesia zaman now, menurut data di lapangan, berbeda dengan terorisme zaman old. Berbeda baik dari ideologinya, maupun modus dan kemampuannya. Zaman bom Bali (dan sekitarnya), pelaku teror didominasi jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al Qaeda.

Dari yang saya pelajari dalam course Defense and Strategic Studies dan Politics of Terrorism di NDU Islamabad, sekitar 2014, Al Qaeda lebih menargetkan representasi dari simbol-simbol Barat, tanpa ada minat untuk mengklaim suatu wilayah tertentu.

Al Qaeda adalah stateless organization. It is nowhere yet everywhere. Tidak ada tempat namun ada di mana-mana. Jihad warfare yang mereka gencarkan adalah melawan hegemoni Barat. Bombing mereka terstruktur, terencana, dan bersifat strategis.

Tujuannya jelas untuk menghancurkan dan memberi pesan kepada yang mereka anggap musuh. Terlihat dari target yang menjadi sasaran adalah representasi dari simbol-simbol Barat.

Bahan peledak yang digunakan untuk merakit bom, juga termasuk jenis bom konvensional dengan skala besar. TNT dan RDX yang biasa digunakan dalam perang. Afghani style.

Sementara itu, terorisme zaman now yang akhir-akhir ini merupakan ancaman nyata bagi keamanan Indonesia, memiliki perbedaan mencolok.

Ideologi teroris zaman now mayoritas adalah kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD), baik itu grup Bahrumsyah, Aman Abdurrahman, Bahrun Naim maupun kelompok lain, yang terpengaruh oleh ideologi yang disebarkan oleh para pentolan ISIS di Suriah dan Irak.

Al Qaeda dan ISIS berseberangan pendapat, setelah Al Bahgdadi membelot dari Al Nusra dengan menyelewengkan dana dan personelnya untuk mendirikan ISIS di Irak.

Narasi yang dominan di ISIS adalah bahwa saat ini merupakan akhir zaman (apocalyptic prophecy). Di akhir zaman, Suriah adalah daerah yang diberkahi karena akan muncul kekhalifahan yang diberkahi Allah setelah runtuhnya Mulkan Jabariyyan, negara para diktator.

Narasi yang tersebar sebagai ideologi itu, ditambahkan dengan narasi lain jika suatu saat nanti akan ada pasukan berpanji hitam yang akan muncul dari Khurrasan. ISIS mengklaim, merekalah khilafah dan pasukan berpanji hitam itu.

Kedua narasi ini ditambahi dengan paham takfiri, yang mengkafirkan mereka yang tidak setuju dengan pemikirannya. Fix, berbahaya.

Karena target bisa siapa saja, bahkan kelompok muslim lain. Halal. Aksi teror mereka cenderung "noob" secara praktek. Mereka juga biasa menggunakan bom aceton peroxide yang bisa dibikin di rumah, istilah kerennya DIY-lah.

Alat peledak yang biasa digunakan adalah Improvised Explosive Devices (IED), ini khas yang dipakai para pemberontak dan insurjen, karena mereka didikan ISIS yang mendapat kemampuan dari Al Nusra, pemberontak Suriah.

Bom tersebut bersifat membunuh, anti personel. Digunakan untuk membunuh orang, berbeda dengan teroris zaman old yang menggunakan TNT dan RDX, yaitu untuk menghancurkan secara strategis.

Apa yang menjadikan teroris zaman now lebih berbahaya? Pertama, pelaku tidak perlu lama merencanakan aksi. Kedua, target bisa siapa saja meskipun saat ini yang disasar mayoritas adalah Polisi.

Ketiga, proses radikalisasi berlangsung cepat dan remote.

Keempat, secara intensitas, serangan dapat bersifat massif di mana-mana, karena ada fatwa dari pentolannya, Al Adnani, bahwa jika mereka tidak dapat ber "amaliah" dengan hijrah ke Suriah, mereka harus melakukan "amaliah" di negara masing-masing.

Omongan si Al Adnani inilah yang menjadi inspirasi para pelaku teror di Indonesia akhir-akhir ini.

 

3 dari 3 halaman

Terorisme Zaman Now dan Zaman Old

Beberapa kali saya terlibat dalam penanggulangan terorisme, dan sepengalaman saya, tidak ada faktor atau background khusus bagi teroris zaman now. They can be anyone from any background.

Jika para "pengantin" yang telah meledakkan diri atau ditangkap dari generasi zaman old didominasi oleh mereka dengan background social dan ekonomi "bermasalah", maka teroris zaman now ini justru secara mengejutkan tidak demikian.

Mereka ada yang orang kaya, mantan pejabat, bahkan ada yang mantan polisi. Secara pendidikan, there is no single education background. Jika ada yang mengatakan bahwa pasti anak-anak pesantren, maka hal tersebut bisa saya pastikan salah besar.

Ada anak SMA, dosen, bahkan ada yang tidak sekolah. Maka, sekali lagi, they can be anyone.

Menghadapi kenyataan yang demikian, justru lebih sulit dan merupakan PR besar bagi penegak hukum di negara kita.

Jumlah simpatisan ISIS yang ada pada skala jutaan, serta cepatnya proses radikalisme dari nol sampai siap meledakkan diri yang hanya memakan waktu beberapa minggu, juga merupakan PR bagi kita bersama.

Kenapa penetrasi paham radikal zaman now berbeda targetnya dengan zaman old? Jawabannya, media sosial.

Zaman dulu, perekrutan lebih kepada perkumpulan dan kopdar. Sehingga para aktor intelektual dibalik aksi teror dapat memilih targetnya yang berpotensi untuk bisa dilamar menjadi "pengantin". Biasanya latar belakang mereka dari yang trouble-trouble itu.

Ada penelitian tentang hal tersebut yang ditulis oleh Irjen Pol Totoy Hirawan, sebelum menjabat sebagai Kapolda Bali. Dengan adanya media sosial, perekrutan mejadi lebih massif.

Aktor intelektual cukup membuat konten yang berisi propaganda dan ideologinya, lalu sebarkan. Spekulasi dari perhitungan jumlah konten yang dibagikan, tentunya ada beberapa yang pasti nyangkut, bahkan para penebar tadi tidak perlu tahu siapa "pengantinnya".

Sementara, teroris zaman old berbeda. Sebelum melakukan aksi, mereka akan mendapat pembinaan, karantina, penggemblengan, dan ritual khusus dari para pembimbingnya.

Kalau teroris zaman now, mereka cukup liat tutorial, baca postingan, liat video, lalu bisa beraksi bahkan tanpa komando.

Setiap momentum atau event yang potensial, bisa menjadi percikan yang membakar mesiu di kepala mereka untuk melakukan "amaliah".

Ibarat berburu, teroris zaman old pakai bedil untuk membidik "pengantin". Sedangkan teroris zaman now menggunakan apotas atau jaring, tebar jaring tebar racun, nah siapa yang nyantol, nih tutorialnya… good luck!

Pasca-aksi teror di Indonesia pekan terakhir ini, akan banyak muncul kontroversi. Mulai dari yang berkoar bahwa hal tersebut adalah settingan, sampai munculnya berbagai teori konspirasi.

Silahkan berdiskusi, selama itu baik dan tidak melukai hati yang lain.

Jangan malah menimbulkan psychological terrorism dengan pemojokan-pemojokan dan bullying satu sama lain. Ini tidak menghormati para korban.

Bagi yang men-share foto-foto korban, mohon dihapus. Selain mendoakan, paling tidak itulah hal yang bisa kita lakukan.

Adanya peningkatan kewaspadaan mungkin akan menimbulkan gesekan kecil seakan-akan Islamophobia dan dianggap diskriminasi terhadap umat Islam. Itu juga jangan di-share. Kenapa?

Bagi kita mungkin akan membuat marah dan pengin berkata kasar, tapi bagi mereka yang telah terpapar radikalisme, hal ini justru akan menjadi motivasi bagi mereka untuk kembali ngebom.

Perasaan merasa dizalimi, merasa diserang tersebut dapat menjadi pemantik untuk melakukan aksi teror. Mereka akan semakin beranggapan bahwa "Polisi brengsek", padahal mereka menjalankan tugas dan sadar bahwa mereka adalah sasaran.

Fenomena ini juga pernah diutarakan oleh Pak Clark McCauley dalam "Psychological Issues in Understanding Terrorism and the Response to Terrorism".

Bayangkan bagaimana rasanya mengemban tugas menjadi aparat keamanan, yang bertugas untuk mengamankan sekaligus menjadi sasaran?

Saya ada teman dari Brimob yang juga muslim taat, pusing dengan dilema macam ini. Ingat, selain tempat ibadah umat agama lain, polisi juga menjadi sasaran utama.

Pengalaman hampir empat tahun di negara yang familiar dengan bombing dan kewaspadaan tingkat tinggi, memang begitu precaution measurement dalam counter terrorism. Di sana, mau masuk mal beli donat saja diperiksa kayak penjahat.

Memang betul, aksi teror mereka yang tidak bertanggung jawablah yang mengakibatkan adanya diskriminasi dan Islamophobia seperti itu. Namun jangan lupa, bahwa proyeksi yang menunjukkan Islam didiskriminasi adalah bahan bakar para teroris untuk bertindak keji.

Ini adalah lingkaran setan, mari kita setop lingkaran tadi di ujung jempol-jempol kita.

Mari kita kembali berkaca, bersama-sama kita jenguk tetangga-tetangga kita yang mungkin terlupakan, bahkan sedang kesulitan tanpa pernah ketahuan. Jangan sampai yang asing semakin terasing dengan kesibukan kita mengejar surga sebagai Abdullah, lalu lupa pada tugas kita sebagai Khalifatullah.

Dulu saat Allah ingin menciptakan manusia sebagai Khalifah, malaikat pada protes 'Ataj'alu fiiha man yufsidu fiha wa yasfiqud dima'?", Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi mereka yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?".

Allah menjawab,"Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang tidak kalian ketahui". Mari buktikan bahwa kekhawatiran malaikat tersebut tidak benar, show the best of our humanity!

Ini adalah masa-masa penting bagi kita semua. Sikap dan tindakan kita akan menjadi bentuk follow up terhadap kejadian yang telah berlalu.

Apakah akan menjadi upaya menuju kerukunan yang damai dan harmonis dalam bentuk persatuan dan kekuatan melawan terorisme? Atau menjadi arena adu bacot tak berkesudahan yang malah semakin memecah belah? Tombol pemicu dan pelatuknya ada digenggaman masing-masing. Stay alert, be wise!

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.