Sukses

Badan Bahasa Sangkal Bahasa Daerah di Indonesia Berbeda Rumpun

Ada yang berpendapat bahwa rumpun bahasa di Papua merupakan rumpun bahasa Melanesia, atau campuran antara Melanesia dan Austronesia. Benarkah?

Liputan6.com, Jakarta Persebaran manusia modern di Indonesia dipercaya berasal dari bagian timur Indonesia, yang disebut sebagai ras Melanesia. Bahkan, ras Melanesia dipercaya sebagai ras pertama yang menghuni bumi Indonesia.

Adanya ras Mongoloid dari jalur barat ke arah Nusa Tenggara kemudian membuat Melanesia bergerak ke arah timur, yakni ke arah Papua, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Teori ini kemudian memengaruhi pendapat para ahli linguistik, terutama di bawah Summer Institute Linguistik (SIL), yang mengatakan bahwa rumpun bahasa di Papua merupakan rumpun bahasa Melanesia, atau campuran antara Melanesia dan Austronesia.

Namun, hal ini dibantah oleh Badan Bahasa dengan bukti ilmiah dan hasil penelitian yang sudah dilakukan sepanjang 2014-2015. Dr Joni Endardi, Kepala Bidang Pengembangan Strategi Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Bahasa mengatakan, misalnya bahasa seperti Tarfiah, Namblong, dan Gresi yang dikatakan SIL sebagai bahasa Melanesia, ternyata masuk dalam bahasa Austronesia.

"Salah satu contohnya dengan pemilik ‘nia’, atau ‘-nya’, yang menyatakan ‘milik dia’. Dalam bahasa Tarfiah, Namblong, dan Gresi ditandakan dengan dengan ‘-ne’. Itu proses perubahan bunyinya menjadi satu titik artikulasi," ujar Joni menjelaskan kala ditemui di kantornya, Laboratorium Kebinekaan dan Sastra, PPSDK Sentul, Rabu, 18 April 2018.

Joni meminta agar publik tidak tersesatkan dengan pendapat SIL, sebab ternyata yang terjadi di lapangan tidak seperti itu. Keakuratan data lapangan yang dipakai SIL, menurut Joni, patut dipertanyakan.

"Sebab, ketika saya datang langsung ke lapangan ternyata bukan bahasa itu, berbeda. Jadi, jangan terpengaruh dengan pendapat peneliti luar atau menganggapnya lebih hebat karena datanya bisa salah," ujarnya.

Joni menegaskan, Badan Bahasa ingin merekatkan kembali Indonesia di tengah keretakan dan kekurangharmonisan di antara suku bangsa dan bahasa daerah. Ia menyebut bahasa-bahasa daerah di Indonesia termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia yang tersebar dari Madagaskar sampai Rampauni, dari Utara sampai Selandia Baru.

“Memang berbeda, tapi bisa dicari kekerabatannya. Misalnya kata ‘watu’ menjadi ‘batu’, hanya berbeda yang satu bilabial bersuara dan yang satu bilabial tidak bersuara,” ucap Joni.

Joni lebih lanjut menjelaskan, menurut ilmu linguistik leksikostatistik, jika kesamaan mencapai 80 persen, maka dianggap bahasa yang sama. Namun, menurut kualitatifnya, dianggap sebagai bahasa yang berakar dari sejarah yang sama.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sama DNA

Hal lainnya yang juga penting, ujar Joni, ternyata orang Indonesia memiliki DNA yang sama. Hal ini terkuak menurut penelitian Universitas Negeri Mataram, yang hasilnya hampir sama dengan Lembaga Eijkman.

Menurut penelitian Eijkman, DNA bangsa Indonesia di barat dan timur berasal dari genus yang sama. Namun, karena persebaran yang terjadi di antara manusia awal, kemudian pulau yang berjauhan dan terjadinya migrasi, maka terjadi perubahan. Namun, Eijkman menekankan bangsa Indonesia awal seperti orang Papua.

Indonesia memang terlalu beragam untuk disebut sama. Namun, adanya kesamaan DNA yang diungkap dalam penelitian terdahulu membuktikan bahwa semua budaya dan bahasa di Indonesia punya kekerabatan yang lekat. Joni berpesan agar masyarakat dapat selalu memegang hal tersebut.

3 dari 3 halaman

UNESCO Ungkap Bahasa Daerah di Indonesia Punah Setiap 15 Hari Sekali

Jumlah bahasa daerah di Indonesia merupakan kedua terbanyak di dunia setelah Papua Nugini. Berdasarkan hasil penelitian Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 652 bahasa.

Meski demikian, ancaman kepunahan bahasa sudah di depan mata. Kepala Bidang Pengembangan Strategi Kebahasaan Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK) Joni Endardi menyatakan ada beberapa hal yang menyebabkan bahasa daerah punah.

"Karena adanya perkawinan campur, itu juga bisa menyebabkan bahasa punah. Kemudian ibu dan bapaknya tidak mengajarkan lagi bahasa daerah. Kemudian penutur-penutur, terutama di Indonesia bagian timur dan tengah sudah mulai tua dan anak mudanya enggan menggunakan bahasa daerah," ujar dia ketika ditemui di kantornya, Sentul, Jawa Barat, Rabu (18/5/2018).

Karena itulah, PPSDK mengembangkan Laboratorium Kebinekaan dan Sastra untuk mendokumentasikan seluruh bahasa daerah yang ada di Indonesia, terutama di tengah tergerusnya kecintaan terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia.

"Ada sebanyak 652 bahasa daerah di Indonesia, yang menurut UNESCO, 15 hari sekali akan punah. Maka laboratorium kebinekaan ini untuk media pembelajaran dan pengajaran dengan menggunakan teknologi terkini," katanya.

Joni menyebutkan Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra ini digagas sejak 2015. Ia mengaku prihatin karena kesadaran pemertahanan bahasa daerah dan nasional di Indonesia sangat kurang.

"Salah satunya kasus Sipadan-Ligitan. Kenapa pulau itu bisa lepas? Karena setelah kita cari informasi ke Mahkamah Internasional, bahwa di sana ternyata masyarakatnya menggunakan bahasa Melayu Malaysia. Karena itulah kita kalah," ucapnya.

Selain itu, bahasa daerah juga merupakan identitas diri. Karena itu, Joni mengimbau agar masyarakat Indonesia terus melestarikan bahasa daerah.

"Identitas diri kita itu kan mosaik dari 652 bahasa daerah yang terdiri atas sekitar 13.000 suku bangsa di Indonesia, dan itu adalah taman sarinya budaya Indonesia," ucapnya menekankan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.