Sukses

Zuckerberg, Maaf dan Impunitas

Tanpa banyak disadari, penyedia layanan media sosial dan mesin pencari seperti Facebook, Google, Yahoo, Instagram, Twitter sebenarnya selalu mengawasi para penggunanya.

Liputan6.com, Jakarta - "Facebook functions like a familyit knows a lot about you, you're constantly interacting. Google is more like your neighborhoodit's there when you need it, but you don't need it every day.” Tara Clarke, Associate Editor di Money Morning dengan cermat menjelaskan bagaimana hubungan media baru dengan penggunanya.

Tanpa banyak disadari, penyedia layanan media sosial dan mesin pencari seperti Facebook, Google, Yahoo, Instagram, Twitter sebenarnya selalu mengawasi para penggunanya. Melalui olah algoritma dan teknologi cloud yang kian lama kian paripurna, raksasa teknologi digital itu mengumpulkan dan merekam identitas diri, kebiasaan dan perilaku (behavioral data) para penggunanya.

Mereka menyediakan berbagai aplikasi digital yang diberikan cuma-cuma, tetapi dengan aplikasi yang sama mereka mampu melacak di mana kita berada, kendaraan yang kita gunakan, restauran yang sering kita kunjungi, barang apa yang ingin koleksi, liburan ke mana yang kita dambakan, gangguan kesehatan yang kita hadapi, dan seterusnya.

Mereka meminjamkan server raksasa (cloud) untuk digunakan bersama-sama oleh para pengguna internet guna menyimpan beraneka data pribadi, tetapi diam-diam mereka memanfaatkan data-data itu untuk kepentingan bisnis mereka sendiri.

Facebook sebagai media sosial terpopular sejagad, menurut statista.com, digunakan 1,9 miliar orang di seluruh dunia pada 2017. Sebuah angka yang fantastis. Lebih fantastis lagi karena ini sama artinya Facebook menguasai data diri dan perilaku orang dengan jumlah yang sama.

Sejak pertama kali melakukan registrasi, semua pengguna Facebook sebenarnya telah berserah diri kepada Facebook. Demikian juga ketika kemudian secara aktif membuat status, menceritakan aktivitas sehari-hari, mengunggah foto, memberi komentar atau "like" atas status orang lain, kita sesungguhnya sedang membiarkan diri terekam dan teridentifikasi oleh Facebook.

Dalam kaitan inilah Shoshanna Zuboff, pada 2015 mengenalkan konsep surveillance capitalism. Kapitalisme yang senantiasa mengawasi dan memata-matai pengguna internet, untuk menghasilkan data perilaku yang dimaksimalkan untuk menunjang kepentingan partikular perusahaan media baru.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Facebook Tidak Tahu, Benarkah?

Melalui penghitungan algoritma dan aplikasi kecerdasan artifisial, perusahaan media sosial atau mesin pencari mampu mengolah data perilaku penggunanya untuk menghasilkan prediksi pola konsumsi, keputusan, dan interaksi sosial pengguna tersebut.

Data perilaku bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus). Surplus perilaku inilah sebenarnya instrumen utama bisnis media baru sebagai obyek monetisasi aktivitas periklanan digital. Dapat dibayangkan, betapa besar potensi ekonomi data prediksi pola konsumsi dan interaksi sosial pengguna internet di seluruh dunia. Perlu digarisbawahi, surplus perilaku ini dalam tataran global secara oligopolik tersentralisasi pada segelintir korporasi global seperti Google, Facebook, Amazon.

Dalam konteks inilah kita perlu menempatkan kasus kebocoran data pengguna Facebook yang ramai belakangan. Seorang whistleblower bernama Christopher Wylie telah mengungkapkan, bahwa data sekitar 50 juta orang pengguna Facebook telah secara diam-diam digunakan perusahaan bernama Cambridge Analytica, untuk mendukung kampanye Donald Trump pada Pilpres AS tahun 2016.

Pada awalnya, data pengguna Facebook itu dikumpulkan melalui aplikasi thisisyourdigitalife yang dibuat akademisi Cambridge University, Aleksandr Kogan. Melalui perusahaan bernama Global Science Research yang bekerja sama dengan Cambridge Analytica, Kogan membayar ratusan ribu pengguna Facebook untuk melakukan tes kepribadian di Facebook.

Namun, aplikasi itu ternyata juga menyerap data teman-teman peserta tes yang akumulasinya mencapai puluhan juta data pribadi. Data itu ternyata kemudian bukan hanya digunakan untuk tujuan akademis seperti yang telah dijanjikan. Cambridge Analytica mengolahnya lebih lanjut untuk mendeteksi profil dan kecenderungan para pemilih dalam Pilpres AS, untuk kemudian menjadikan mereka sebagai sasaran iklan politik.

Boss Facebook, Mark Zuckerberg, telah meminta maaf kepada publik Amerika Serikat. Namun, secara implisit dia menyatakan kesalahan bukan pada Facebook, tetapi pada Cambridge Analytica.

Facebook merasa tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Benarkah demikian? Andaikan benar, berarti persoalannya adalah Facebook tidak mengetahui secara persis, bagaimana mengendalikan "mesin" yang telah mereka gunakan untuk meraih keuntungan ekonomi yang besar sekali dan telah membuat perubahan serius dalam hidup masyarakat.

Persoalannya sama gawatnya antara Facebook mengetahui atau tidak mengetahui skandal tersebut.

 

3 dari 3 halaman

Rawan Kejahatan

Media sosial menjadi sangat rawan terhadap rekayasa dan kejahatan. Pengguna media sosial masih terus mengumbar perilaku dan sikap mereka di media sosial, tidak menyadari besarnya potensi rekayasa dan kejahatan itu. Rekayasa dan kejahatan ini juga tidak otomatis dapat dipidanakan, karena kompleksitas perkara big data dan cloud serta ketidakmampuan hukum untuk menjangkaunya.

Ketika sisi gelap media sosial telah nyata memecah-belah masyarakat, belum ada pranata hukum internasional maupun nasional yang secara memadai dapat menanganinya. Akibatnya kemudian adalah adanya impunitas untuk perusahaan media baru atas dampak-dampak merusak yang mereka timbulkan.

Impunitas itu tercermin dalam bagaimana negara dan perusahaan media sosial atau mesin pencari menyikapi isu peretasan data pengguna internet.

Kasus peretasan seperti yang pernah dilakukan Edward Snowden dan Gleen Greenwald , menurut Vincent Mosco menunjukkan bahwa baik pihak otoritas resmi (Amerika Serikat) dan perusahaan penyedia layanan cloud, hanya terfokus untuk menangani peretasan itu sebagai murni tindakan kriminal pelanggaran privasi dan peretasan (Vincent Mosco, “Marx in the Cloud” dalam Christian Fuchs dan Vincent Mosco (editor), Marx in the Age of Digital Capitalism (Studies in Critical Social Sciences), Leiden: Koninklijke Brill nv, 2016, 516-535).

Padahal ada dua perkara di sini. Pertama, ketidakmampuan perusahaan penyedia layanan cloud dalam melindungi data perlaku pengguna internet yang telah mereka kumpulkan dan kelola. Kedua, tindakan peretasan oleh individu atau kelompok.

Menariknya, yang dianggap kriminal dan mesti ditindak secara hukum adalah yang kedua ini. Padahal secara kausalitas, masalah kedua tidak akan terjadi jika masalah pertama tidak terjadi. Masalah pertama semestinya juga merupakan kesalahan yang mengandung konsekuensi bagi yang bertanggung-jawab atasnya.

Perusahaan cloud secara cuma-cuma mengumpulkan data perilaku pengguna internet dan memanfaatkannya tanpa izin untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Namun ketika tidak mampu menjaga keselamatan data perilaku tersebut dan menyebabkan kerugian bagi pengguna internet, perusahaan cloud tidak merasa bertanggung-jawab. Peretasan atas keamanan data tersebut dianggap bukan tanggung-jawab perusahaan penyedia cloud, tetapi semata-mata tanggung-jawab sang peretas.

Menurut Mosco, peretasan data pengguna internet, seperti yang terjadi pada 10 lembaga keuangan di Amerika Serikat September 2014, yang berdampak pada keselamatan data 83 juta pelanggan layanan cloud perorangan dan bisnis, menunjukkan betapa keroposnya bangunan sistem data cloud.

Serangan-serangan seperti ini terus terjadi, tetapi sebagian besar tidak terungkap ke publik, karena perusahaan penyedia layanan cloud (Google, Amazon, Facebook dll) ingin menjaga nama baik mereka. Perhatian semua orang tertuju pada tindakan-tindakan kriminal peretasan data pribadi pengguna internet dan mengabaikan, bahwa masalahnya ada pada praktik pengawasan yang merupakan jantung dari bisnis harian perusahaan-perusahaan cloud dan lembaga-lembaga intelijen negara.

Praktik pengawasan ini menghasilkan keuntungan ekonomi atau politik yang sangat besar bagi perusahaan cloud, tetapi tidak disertai dengan tanggung-jawab keduanya untuk melindungi keamanan data-data hasil pengawasan.

Menghilangkan atau mengurangi praktik pengawasan ini akan mengurangi keuntungan dari perusahaan-perusahaan cloud dan pelanggan bisnis mereka, serta membatasi kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan data semua orang.

Mereka akan berusaha dengan keras untuk menghalau segala upaya untuk mengurangi atau menghilangkan praktik pengawasan ini, meskipun upaya itu dilakukan atas nama perlindungan privasi dan keamanan data personal pengguna internet.

Sampai di sini, sebuah pertanyaan perlu diajukan lagi, cukupkah permintaan maaf yang diajukan Zuckerberg? Apakah bobolnya data 50 juta pengguna medsos itu semata-mata masalah etis yang cukup diselesaikan dengan permintaan maaf? Apakah yang terjadi adalah semata-mata masalah teknis yang cukup diselesaikan dengan “janji untuk memperbaiki sistem penyimpanan data pengguna medsos” di masa mendatang?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.