Sukses

Mengusut Pemasok Sabu 1,6 Ton di Perairan Indonesia

Menurut Sri Mulyani pengungkapkan sabu seberat 1,6 ton di Batam menjadikan kasus narkoba meningkat tajam di banding sebelumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Aparat gabungan kembali menggagalkan penyelundupan sabu 1,6 ton dari sebuah kapal berbendera asing di perairan Indonesia 20 Februari 2018. Pengungkapan ini tidak berselang lama dari penemuan sabu 1 ton di kapal Sunrise Glory di Selat Philips, Batam pada Rabu 7 Februari 2018.

Pihak Bea Cukai pun menyerahkan sabu 1,623 ton tersebut dan empat tersangka berkewarganegaraan asing yang tertangkap di Batam, Kepulauan Riau ke Polri untuk dibawa ke Jakarta.

"Pelaku dan barbuk (barang bukti) sabu 1,6 ton sampai di Terminal Kargo Bandara Soetta pukul 10.36 WIB dengan pesawat GA 153," kata Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta Kombes Yusep Gunawan, saat dihubungi, Sabtu 24 Februari 2018.

Keempat tersangka diborgol selama perjalanan hingga tiba di Terminal Kargo Bandara Soetta dan mendapatkan pengawalan ketat dari kepolisian. Tersangka dan sabu tersebut kemudian langsung dibawa ke Direktorat Narkoba Polri.

"Sudah datang memakai pesawat Garuda Indonesia," kata Yusep.

Seorang tersangka kasus sabu 1,6 ton yang dibawa ke Kantor Direktorat IV Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Cawang, Jakarta Timur nyaris mengamuk. Tersangka yang diperkirakan berusia 60-an tahun itu berteriak ke arah kamera awak media saat tiba.

Semula keempat tersangka yang mengenakan baju tahanan warna oranye dan diborgol itu duduk dengan tenang di samping tumpukan barang bukti sabu seberat 1,6 ton.

Saat menyadari sejumlah kamera pewarta menyorot ke arah pelaku, satu di antaranya berbicara menggunakan bahasa Mandarin dengan suara tinggi. Sesekali dia menunjukkan isyarat menggunakan tangannya agar kamera lebih mendekat ke arahnya.

Akan tetapi, situasi tersebut segera dikuasai penyidik Dit IV Narkoba Bareskrim Polri. Pelaku pun diam dan kembali tenang seperti semula. Tak berselang lama, keempat pelaku digiring masuk ke ruang penyidikan.

Tersangka penyelundupan sabu 1,6 ton tiba di Bandara Soetta. (Liputan6.com/Pramita Tristiawati)

Wadir IV Narkoba Bareskrim Polri Kombes Krisno Siregar tak heran melihat tingkah para pelaku penyelundup sabu ini. Rupanya, mereka juga sempat membuat keributan saat dirilis di Batam, Kepulauan Riau.

"Kami sudah periksa oleh dokter, sejauh ini kesehatan baik, tensi baik, jadi mungkin saja stres. Orang kalau lagi keadaan ditangkap apalagi mereka sudah berhari-hari dalam kapal," ucap Krisno.

Selama perjalanan ke Jakarta, empat tersangka itu dikawal ketat oleh polisi. Tak hanya itu, mereka didampingi oleh psikolog selama perjalanan. Keempat tersangka sering mengamuk sejak ditangkap.

Sebelumnya, Polri dan Bea Cukai mengungkap upaya penyelundupan narkotika jenis sabu seberat 1 ton lebih di Batam, Kepulauan Riau yang dibawa menggunakan kapal berbendera Singapura. Empat tersangka warga negara Taiwan pun dibekuk.

Dirtipid Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Eko Daniyanto menyampaikan, tangkapan Selasa 20 Februari 2018 sekitar pukul 07.35 WIB pagi itu merupakan hasil investigasi selama kurang lebih hampir dua bulan.

"Kita telusuri, mapping, profiling, penyelidikan lokasi di sekitar Anyer, tempat-tempat pendaratannya dan kemudian juga di lautnya," tutur Eko Selasa 20 Februari 2018.

Menurut Eko, kesepakatan operasi pun dibuat dua minggu lalu, dan berkoordinasi dengan Bea Cukai yang memiliki kapal. Kemudian, hasil diskusi dengan nakhoda akhirnya memutuskan pembagian tim.

"Satgas kita bagi, Metro Jaya dengan Satgas 1 Bareskrim Polri di Anyer. Satgas 2 Bareskrim Polri, AKBP Gembong di Natuna. AKBP Doddy dan Bea Cukai di daerah Selat Philips," jelas dia.

Setelah tiga hari terapung di atas laut, Satgas dipimpin AKBP Gembong bersama Bea Cukai mengamankan satu kapal Taiwan berbendera Singapura pada pagi hari. Tim kemudian tiba siang di Sekupang Batam.

Tim gabungan menemukan 81 karung berisikan methampetamine. Masing-masing karung memiliki berat 20 kg.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Memburu Pengirim

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri terus mendalami kasus upaya penyelundupan sabu seberat 1,6 ton di perairan Batam, Kepulauan Riau. Polisi tengah mencari pengirim dan penerima sabu dalam jumlah fantastis itu.

"Ada pengendalinya dan di Indonesia ada penerimanya. Kami tidak bisa beri tahu karena ini teknis penyidikan," ujar Wadir Tipid Narkoba Bareskrim Polri Kombes Krisno Siregar di kantornya, Jakarta, Sabtu (24/2/2018).

Saat ini, barang bukti sabu seberat 1,6 ton berikut tersangkanya telah dibawa ke Kantor Dittipid Narkoba Bareskrim Polri, Cawang, Jakarta Timur guna penyelidikan lebih lanjut. Sementara empat tersangka yang merupakan WNA itu langsung ditahan.

"Kami tahan terus proses sidik kami akan koordinasi dengan kejaksaan, sehingga kasus ini cepat selesai," kata dia.

Bukan hanya itu, Polri bekerjasama dengan kepolisian negara tetangga juga terus melakukan pendalaman untuk memutus mata rantai penyelundupan narkoba ke Indonesia.

"Kami sudah berkoodinasi dengan hubinter untuk proses penegakan hukum. Kerja sama dengan penegakan hukum sangat baik," ucap Krisno.

Pihaknya juga masih mendalami tujuan penyelundupan sabu seberat 1,6 ton yang digagalkan di perairan Batam, Kepulauan Riau.

"Mungkin saja di Indonesia atau mungkin tempat kita dijadikan transit untuk diedarkan ke tempat lain," ujar Krisno.

Namun kesimpulan tersebut belum final. Apalagi, polisi masih butuh keterangan mendalam untuk mengetahui sumber dan tujuan pengiriman sabu sebanyak itu. Terlebih, keempat pelaku yang ditangkap hanya berperan sebagai kurir.

"Jadi ini mereka kan kurir atau transporter. Ada pihak lain yang mengetahui di mana diedarkan. Mereka diperintahkan oleh seseorang dari Negara China membawa ke Indonesia," ucap Krisno.

Polisi juga belum bisa menyimpulkan keterkaitan kasus ini dengan penangkapan sabu seberat 1 ton di lokasi yang sama pada 7 Februari 2018 lalu. Meski modus yang digunakan hampir sama, yakni diselundupkan menggunakan kapal ikan.

"Narkoba itu sistem terputus yang complicated. Jadi ada beberapa layer layer lagi bisa sampai pada master mind, tergantung dari hasil penyidikan, dan saya belum bisa menyimpulkan," kata Krisno.

3 dari 4 halaman

Sinergitas

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut masih ada penyelundup sabu yang hendak masuk ke wilayah Indonesia. Keberadaan para penyelundup itu pun terus dipantau oleh tim gabungan yang terlibat dalam upaya pemberantasan narkoba.

"Kita kemarin sudah menangkap pelaku penyelundup sabu. Dan itu pun kita pantau, masih ada penyelundup lainnya," kata Panglima TNI Hadi Tjahjanto usai memberikan orasi ilmiah di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (24/2/2018).

Ia menambahkan, TNI bekerjasama dengan Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN) sampai Bea Cukai untuk pemberantasan narkoba. Terutama penyelundupan barang haram itu melalui jalur perairan Indonesia. Sinergitas antarinstansi itu penting untuk menangkal peredaran narkoba.

"Kita sudah masuk darurat narkoba. Karenanya, penting sinergitas semua pihak untuk menangkal itu," kata Hadi.

Dia mengatakan, TNI khususnya Angkatan Laut bisa saja menggerakkan armada ke beberapa titik perairan yang dicurigai jadi pintu masuk penyelundupan narkoba. Namun, menggerakkan armada tetap bergantung informasi yang masuk dari intelijen.

"Kita bisa memosisikan armada itu sesuai bentuk ancaman, tergantung informasi intelijen yang ada. Semua akan kita jaga," tutur Hadi.

Sementara itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan akan terus menjadi kerja sama akan dengan Bea Cukai, TNI, dan BNN dalam pemberantasan narkoba.

Tak hanya itu, pihaknya juga menjalin operasi tertutup dengan negara-negara sahabat termasuk, Malaysia, Singapura, Tiongkok.

"Beberapa penanangkapan lalu yang satu ton di Jakarta informasi dari Hong Kong dan Taiwan," terang Tito.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan kekhawatirannya terhadap peningkatan yang sangat ekstrem terkait kasus narkoba pada awal 2018 ini.

Menurut dia, pengungkapkan sabu seberat 1,6 ton di Batam pada Selasa 20 Februari 2018 lalu menjadikan kasus ini meningkat tajam di banding sebelumnya.

"Jika pada 2017 lalu tangkapan narkoba sebanyak 2,132 ton sabu dari 342 kasus. Dua bulan pertama di 2018 ini sudah ada 2,932 ton tangkapan sabu dari 57 kasus " kata Sri Mulyani di Pelabuhan Logistik Sekupang, Batam, Jumat 23 Februari 2018.

Dia mengatakan, kasus narkoba di Indonesia terus meningkat setiap bulan. Ini dibuktikan dengan adanya kasus penangkapan kapal pengangkut narkoba sabu yang jumlahnya di atas satu ton dengan waktu yang tak berselang lama.

Menurut Sri Mulyani, dua tangkapan besar pada awal tahun ini bukan akhir dari perang terhadap kejahatan tersebut. Sebaliknya akan menjadi warning bagi semua pihak bahwa mafia narkoba semakin mengancam pertahanan Indonesia.

Ia mengharapkan sinergi yang sudah terjalin kuat antara Polri, TNI, BC, BNN, dan pihak lainnya semakin diperkuat. Selain itu, pihaknya juga akan mendukung dalam bentuk penambahan anggaran.

"Kita dukung dengan maksimal dengan penambahan anggaran untuk TNI, Polri, BNN, BC (Bea Cukai), dan instansi terkait lain, agar ancaman ini bisa kita atasi bersama," kata Sri Mulyani.

4 dari 4 halaman

Indonesia Pasar Subur

Besaran penyelundupan narkoba memperlihatkan peningkatan pasar narkoba masih besar di Indonesia. Penyelundupan dari puluhan yang merangkak ratusan kilo, dan saat ini mencapai ton. Lalu, fenomena apa yang sedang terjadi?

Mantan Deputi Pemberantasan Narkotika BNN Irjen (Purn) Benny Mamoto mengungkap suburnya pasokan narkoba ke Indonesia menunjukkan tingkat konsumsi yang tinggi. Kondisi ini membuat sindikat narkoba terus membanjiri Indonesia.

Untuk menekan angka konsumsi tersebut, Benny menilai pemberantasan narkoba harus dimulai dengan mematikan pasar, bukan terus-menerus mematikan bandar.

"Selama ini kita matikan bandar kapan mematikan pasar?" ujar Benny kepada Liputan6.com, Selasa, 20 Februari 2018.

Apalagi menurut Benny, bisnis narkoba sifatnya ilegal sehingga jaringannya sangat terorganisasi. Bukan perkara mudah mengungkap akar jaringan hingga tuntas.

"Ketika kurirnya ditangkap, kan bosnya masih ada. Mata rantai terputus dari situ," tutur Benny.

Benny menilai upaya mematikan pasar harus diawali dengan merehabilitasi para pencandu. Hal ini juga yang dilakukan kerajaan Thailand saat merehabilitasi satu kawasan di Doi Tung, di mana warga sekaligus petani opium terjerat candu.

Sayangnya, kemampuan pemerintah merehabilitasi pencandu tidak sesuai dengan kebutuhan.

"Saat ini kemampuan rehab 50.000 dalam setahun sementara yang harus direhab sekarang ini 5 juta jiwa," ungkap Benny.

Pengajar kajian terorisme dan ilmu kepolisian Pascasarjana UI ini memandang bahwa kebutuhan untuk mematikan pasar narkoba sudah sangat mendesak. Sebab, pendapatan para bandar narkoba justru semakin meningkat seusai terjadi penggagalan penyelundupan.

"Ketika ditangkap kayak gini maka harga melambung tinggi, bandar semakin kaya ketika pasar tidak ditekan. Kalau pasar tidak bisa diatasi maka kayak petak umpet tangkap sana, lewat sini," jelas Benny.

Benny menggarisbawahi bahwa kebutuhan rehabilitasi harus diwujudkan melalui kerja sama dengan berbagai pihak lantaran Indonesia tengah memasuki fase darurat narkoba.

"Kebutuhan rehab itu perlu kepedulian semua instansi terkait, baik Kemenkes, BNN, dan pemda itu harus kerja sama. Misal bangunan sumbangan pemda, BNN pembina teknis, Kemenkes menyiapkan dokter dan psikolog," papar Benny. Langkah terobosan harus segera digagas sehingga semua pihak perlu turun tangan.

Indonesia Sasaran Empuk

Banyak faktor yang menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk target penyelundupan narkoba. Layaknya sebuah tanaman yang tumbuh subur karena didukung dengan konsumsi pupuk, air, maupun cahaya matahari yang baik.

Hal ini dikisahkan Benny saat dirinya menginterogasi bandar besar dari Iran yang kala itu menjadi buronan BNN.

"Saya tanya kenapa kamu target Indonesia? Dia jawab karena pasar potensial, harganya bagus dan hukumnya bisa dibeli," kisah Benny.

Dia pun menyesalkan betapa korupnya hukum pemberantasan narkoba di Indonesia sehingga ancaman hukuman mati jelas tak menjerakan siapa pun.

"Putusan mati bisa jadi 15 tahun, bisa jadi 12 tahun. Sekarang dengan adanya putusan MK grasi bisa berkali-kali PK bisa berkali-kali ya udah bandar terus aja ulur-ulur eksekusi dengan upaya itu," sesal Benny.

Bukan hanya menyoroti ancaman hukuman, Benny juga menyayangkan bagaimana lembaga pemasyarakatan (lapas) justru menjadi tempat pengendalian jaringan narkotika.

"Bagaimana mereka melakukan berbagai macam cara untuk pasarkan narkoba, di samping kondisi masyarakat kita (yang memprihatinkan). Ketika ada kemiskinan ada perekrut, kurir. Keluar dari lapas jadi ahli pengedar," ungkap Benny.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.