Sukses

PSI Gugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi

Menurut Antoni, tiga pasal dalam UU MD3 itu sangatlah karet. PSI sebagai wakil rakyat merasa kebebasan dalam berdemokrasi telah diberangus.

Liputan6.com, Jakarta - Partai Solidartias Indonesia (PSI) menggugat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga pasal diuji materi (judicial review) oleh PSI, yakni Pasal 73, Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat 1.

"Kita memiliki jalur konsitusi ke gedung ini dan percaya hakim MK memiliki integritas," kata Sekretaris Jenderal PSI Rajajuli Antoni di Gedung MK, Jumat (23/2/2018).

Menurut Antoni, tiga pasal dalam UU MD3 tersebut sangatlah karet. PSI sebagai wakil rakyat merasa kebebasan dalam berdemokrasi telah diberangus.

"Pasal itu sangat karet, misalnya saya bilang di medsos bahwa DPR itu taman kanak-kanak, dan (misal) ada anggota dewan tersinggung dan mengajukan itu ke MKD, saya bisa ditangkap," ungkapnya khawatir.

Sebagai informasi, pengajuan uji materil PSI ini belum bisa segera ditindaklanjuti, lantaran revisi UU MD3 yang sudah disahkan DPR belum ditandatangani Presiden.

Kendati belum ditandatangani oleh presiden, UU ini akan tetap sah secara konstitusi dalam 30 hari ke depan setelah disahkan DPR pada 15 Februari 2018.

"Jadi dengan ini, presiden punya dua opsi, yakni tandatangani dan terbitkan Perppu, kalau pun tidak, kami ada di ujung sana untuk JR (judicial review)," ujar Antoni.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gugat 3 Pasal

Adapun Pasal 73 yang digugat, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa setiap orang yang menolak memenuhi panggilan anggota dewan, dan Polri wajib memenuhi permintaan tersebut.

Adapun, Pasal 122 huruf k mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapa pun, yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.

Sementara itu, Pasal 245 ayat 1 isinya dianggap memberi imunitas kepada anggota DPR secara tidak proporsional.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR terkait tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.